Chapter 2

2.7K 432 32
                                    

Tap tap ⭐
Happy Reading!

***

Sudah lewat satu minggu sejak ajaran baru dimulai. Dan sudah satu minggu pula Karina menjadi bagian dari 12 IPA 1. Walaupun belum punya teman dekat yang banyak, namun Karina cukup lega jika beberapa gadis di kelasnya bersikap ramah padanya.

Senin kali ini tidak ada kata terlambat. Karina berangkat sangat awal. Alasannya? Tidak ada sebenarnya. Mungkin karena ini tahun terakhirnya di sekolah jadi Karina ingin lebih rajin saja.

Karina sudah berada di ambang pintu kelasnya. Kelasnya kosong tidak ada siswa sama sekali. Tentu saja, jam baru menunjukkan pukul 06.15 WIB. Ibu, ayah dan adiknya cukup terheran melihat perubahan yang cukup baik darinya. Karena sejak kelas 10 pun, Karina tak pernah berangkat di bawah jam setengah tujuh pagi.

"Bisa minggir nggak?"

Sebuah suara menyentaknya dari lamunan. Ia berjengit kaget lantas berbalik. Irisnya membola ketika bersirobok dengan iris tajam dan dingin itu.

Lawan bicaranya berdecak. "Lo denger gue ngomong nggak sih? Minggir!"

Dengan cepat, Karina menggeser tubuhnya ke samping. Waktu serasa melambat ketika tubuh lelaki itu berjalan melewatinya. Parfum beraroma sandalwood milik lelaki itu masuk ke indra penciuman Karina. Karina membeku sesaat.

Saat sadar dari kebodohannya, ia segera melangkah menuju bangkunya—bersama Melati. Diam-diam Karina melirik lelaki itu. What the? Bel masuk belum berbunyi dan dia sudah membaca buku? Karina tidak habis pikir. Apa nggak bosen dan muak belajar terus?

Javier Agler.

Nama lelaki itu. Salah satu siswa jenius di angkatannya. Ia beberapa kali mengikuti Olimpiade. Selain pintar, Javier sangat tampan. Bagaimana tidak? Terdapat darah Jerman yang mengalir di tubuhnya. Neneknya adalah orang Jerman asli. Maka dari itu, Javier dipanggil 'bule' oleh anak-anak lain.

Sadar jika diperhatikan, lelaki itu menoleh—menatap Karina. Karina gelagapan, ia langsung mengalihkan tatapannya. Javier hanya mendengkus dan kembali fokus pada buku bacaannya.

Sejujurnya Karina penasaran, kenapa Javier selalu memberikan tatapan tak suka padanya? Apa ia punya salah pada lelaki itu? Sebelumnya mereka tidak pernah sekelas apalagi saling mengenal. Karina bingung memikirkannya.

"Karin! Ngelamunin apa?" Melati menepuk bahunya.

"Eh udah dateng?"

"Sampe nggak sadar, ngelamunin apa sih?"

"Nggak papa hehe,"

"Eh siap-siap bentar lagi upacara!" ucap Melati.

"Eh iya!" Karina segera membuka tasnya untuk mengambil topi.

Seketika wajahnya pucat. Tangannya dengan gusar mengobrak-abrik tas sekolahnya. Dan Melati menangkap kegelisahan Karina.

"Kenapa Rin?"

"Topi ... topi gue kayaknya ketinggalan deh Mel. Gimana ini???" Karina panik.

"Tenang dulu, mungkin ketutupan buku?"

"Udah gue cek nggak ada ... di laci juga enggak. Bentar ... kayaknya belum sempet gue masukin tas deh, masih di meja kamar!" Karina rasanya ingin menangis.

"Rin ...." Melati merasa iba.

Karina tidak akan merasa setakut ini jika hukuman melanggar atribut itu tidak berat. Sudah banyak contoh siswa-siswi yang melanggar dan hukuman yang diberikan adalah lari mengelilingi lapangan sebanyak lima kali. Masalahnya, Karina benci lari. Bisa-bisa ia pingsan nanti.

The Reason✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang