Chapter 11

2K 358 25
                                    

Tap tap ⭐
Happy Reading!

***

Oktober 2011

Sudah dua minggu sejak permasalahannya dengan Javier. Laki-laki itu benar-benar kembali seperti sedia kala. Dingin, tak tersentuh dan menatapnya dengan tajam. Tetapi memang seperti itulah perangai Javier Agler. Harusnya Karina biasa aja. Harusnya Karina tak memusingkan hal itu. Tapi kenyataannya, dia sedikit sedih. Ya, hanya sedikit. Anehnya, tak ada keperluan atau kepentingan yang mengharuskan mereka berdua berinteraksi.

Situasi yang sama pun terjadi antara ia dan Arga. Walaupun terkesan egois, namun Arga benar-benar menjaga jarak dengannya. Dan Karina bersyukur sekaligus tidak enak pada lelaki itu. Bersyukur karena dia mematuhi keinginan Karina, tetapi Karina sendiri juga tidak enak karena sudah bersikap seperti itu.

Dan yang paling membuatnya heran adalah Sagara. Setelah Sagara mengantarnya pulang dan mendengarkankan ceritanya, lelaki itu tak pernah tampak di hadapan Karina lagi. Karina hanya beberapa kali melihatnya di kantin. Entah ini hanya perasaannya atau memang benar, tapi Karina merasa jika Sagara berusaha untuk tidak menyapa dan berpapasan dengannya. Mau tak mau, Karina kepikiran. Apakah ia memiliki salah pada adik kelasnya itu?

Mengingat ia sudah kelas dua belas, seharusnya Karina fokus belajar saja. Tetapi kenapa masalah di luar pendidikannya lebih rumit dibanding saat ia kelas sebelas dulu? Karina menarik nafas panjang.

Melati meliriknya. Karina sudah menceritakan semua keresahannya akhir-akhir ini pada gadis itu. Melati mendengarkannya dengan seksama dan tak jarang ia mencoba memberi saran padanya. Melati juga menyemangatinya. Karina sungguh beruntung karena memiliki teman seperti gadis manis itu.

"Sabtu besok jalan yuk?" ajak gadis itu.

Karina tersenyum. "Boleh."

***

"Saga!"

Karina dapat menangkap reaksi Sagara yang terkejut ketika mendengar panggilannya. Karina menghampiri lelaki itu.

"Eh Kak," balasnya dengan cengiran canggung.

Karina menatap Sagara lamat-lamat sebelum, "gue ada salah ya sama lo?"

Manik Sagara membola. Namun dengan cepat ia menutupinya dengan senyuman manis.

"Engga kok Kak,"

"Ah gitu, gue takut aja kalo punya salah sama lo ...." Sebenarnya Karina masih ragu akan jawaban Sagara.

"Nggak ada Kak, santai." Sagara terkekeh kaku.

"Syukur deh ...." Karina berujar lirih.

"Eh Kak gue duluan ya, abis ini mau ke LAB soalnya." pamit Sagara.

"Iya Ga,"

Secepat kilat lelaki itu berlalu dari hadapan Karina. Karina menatap nanar punggung Sagara yang semakin menjauh.

***

November 2011

Waktu berjalan begitu cepat bagi Karina. Bulan depan sudah memasuki bulan terakhir di tahun 2011. Padahal di awal tahun ajaran baru kemarin ia berpikir bahwa waktu akan berjalan dengan lambat mengingat teman sekelasnya yang membuatnya tidak nyaman. Tetapi nyatanya setelah berjalan beberapa bulan, mereka tak semenyebalkan itu. Kecuali Shania dan gengnya tentunya.

Yang semakin berat adalah bebannya sebagai siswa kelas dua belas. Pembelajarannya semakin berat. Bahkan bulan depan akan diadakan Tryout pertama sebelum dilaksanakannya UAS semester ganjil.

Dan hari ini sepertinya sangat sial bagi Karina. Ia lupa membawa modul mapel Bahasa Inggris. Masalahnya adalah, guru Bahasa Inggrisnya sangat galak. Beliau masih muda dan sepertinya  belum lama lulus kuliah.

Rumor yang beredar tentang guru itu adalah betapa sensitifnya beliau kepada siswa perempuan. Selama guru itu mengajar di kelasnya dari beberapa minggu lagu, Karina cukup mempercayai rumor itu. Maka dari itu, ia sangat panik ketika modulnya ketinggalan. Karina pasti akan menjadi santapan guru muda itu.

"Gue apes banget deh Mel ...." Karina bergumam lesu.

"Asal nggak bilang Rin, Miss Dina pasti nggak nyadar kok. Kita duduk di pinggir." Melati mencoba menenangkannya.

"Matanya tuh tajem, kita juga nggak di belakang. Pasti keliatan kalo modulnya cuma satu di meja." balasnya lesu.

Melati menatapnya prihatin.

"Rin–"

"Good morning." ucapan Melati terpotong oleh kedatangan guru muda itu.

"GOOD MORNING MISS!!"

"Dibuka modulnya. Hari ini kita mulai berlajar bab baru ya karena bab lalu sudah selesai kita bahas." ucap Bu Dina dengan tenang terkesan datar.

"Siap, Miss!"

"Sebelum itu," Mata tajam guru muda itu mengedar ke segala penjuru kelas. "Yang tidak membawa modul, berdiri." lanjutnya dengan tegas.

Karina sudah berkeringat dingin. Bahkan perutnya terasa mulas. Dengan perlahan, ia berdiri. Matanya memejam. Dirinya seperti sedang berada di pinggir jurang. Terasa mencekam dan Karina ketakutan.

"Kenapa bisa nggak bawa?" sentak Bu Dina.

"Maaf Miss," cicit Karina.

"Saya tanya kenapa, bukan nyuruh kamu minta maaf!!" sentak Bu Dina keras.

Hening. Tidak ada yang berani bersuara. Tetapi Karina berani bersumpah jika ia mendengar cekikikan dari Shania.

"Ketinggalan Miss," jawabnya.

"Kamu sama sekali nggak menghargai saya ya sebagai guru kamu? Mentang-mentang saya masih muda gitu terus kamu sepelein? Kamu udah kelas 12, tahun depan ada ujian. Bisa-bisanya masih punya habit ketinggalan? Shame on you!"

Karina semakin tertunduk.

"KELUAR!"

Dengan berat hati, Karina melangkah menuju pintu. Tiba-tiba, decitan bangku memasuki gendang telinganya.

"Kamu mau kemana Javier??"

"Saya juga tidak membawa modul, Miss."

Bu Dina tercengang. Seorang Javier? Si anak teladan?

"Jangan bohong kamu. Kenapa dari tadi kamu nggak berdiri?"

"Saya mau berdiri, tapi Miss Dina sudah memarahi Karina lebih dulu."

Bu Dina memejamkan matanya. Seketika lidahnya yang tajam seperti hilang di telan bumi.

"Are you serious, Mr. Agler? Saya sampai nggak bisa berkata-kata. Jujur, anak teladan seperti kamu sudah mengecewakan saya."

"I'm sorry, Miss." Balas Javier dengan tenang.

Sebetulnya, tak hanya guru muda itu yang terkejut. Seisi kelas pun demikian tak terkecuali Karina yang terpaku di tempat. Anak pintar dan rajin seperti Javier tak membawa modul? Sungguh mengejutkan.

Bu Dina menghela nafas panjang. "Duduk."

"Excuse me?"

"Sit down, Javier. Kamu juga." Bu Dina menatap tajam pada Karina yang masih bingung dengan apa yang terjadi. "Kembali ke bangku kamu, jangan diulangi lagi. Ini peringatan terakhir saya. Berlaku untuk yang lain juga."

Karina masih memproses apa yang baru saja terjadi bahkan ketika ia sudah duduk di bangkunya. Bukankah secara tidak langsung, Javier telah menolongnya? Entah mengapa, Karina ingin menangis.

Karina menoleh ke arah Javier. Lelaki itu ... bagaimana ya Karina menjelaskannya?

Yang jelas, Javier adalah orang yang paling susah untuk Karina tebak.

-TBC-

Hai haiiiii🤗
Makin kesini makin kesana ya ceritanya 😭😭
Makasih ya yang udah baca🥺
Jangan lupa streaming Girls!!!!

Tolong vote + komen ya, biar aku makin semangat🥰
Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

The Reason✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang