Malamnya ...
Malakai duduk di dekat jendela, tidak bisa tidur lantaran mengkhawatirkan keadaan Grizella. Dia bingung harus bagaimana, bahkan tempat bertanya pun tidak ada. Semua yang datang ke kamarnya hanya mengantar makan atau obat, setelah itu pergi tanpa mau diajak bicara. Dia pun sadar apa yang dilakukannya kali ini sudah melewati batas, pasti kini semua orang sangat membencinya.
"Kamu pun pasti nggak akan mau ke sini lagi," gumamnya antara lega dan merasa kehilangan.
Tok. Tok. Tok.
Malakai langsung menoleh ke pintu, mengira Grizella yang datang. Namun rasa senangnya berganti kecewa saat bukan suara Grizella yang terdengar, melainkan Bu Amanda.
"Masih belum minum obat, Kai?" Bu Amanda mendesah melihat obat yang seharusnya Malakai minum sejak siang masih utuh di wadah kecil itu.
"Gimana keadaannya?" tanya Malakai mengesampingkan rasa gengsi karena sudah tidak tahan menunggu berita.
"Grizella memiliki trauma masa kecil yang berhubungan dengan gelap. Saat itu di rumahnya tiba-tiba mati lampu, dia mendengar suara letusan senjata api dan teriakan orang tuanya. Tidak lama setelah lampu menyala, Grizella melihat orang tuanya tergeletak tidak bernyawa dengan luka tembak di kepala."
Malakai benar-benar terkejut dengan fakta masa lalu Grizella yang sangat menyedihkan ini. Tidak terbayangkan bagaimana seandainya dia yang ada di posisi itu, pasti sulit untuk bangkit seperti yang wanita itu lakukan saat ini. Bila dia mengetahui fakta ini lebih awal, dia pasti tidak akan mengisengi Grizella seperti tadi. Mungkin juga dia akan bersikap lebih baik pada wanita itu. Tapi bukankah penyesalannya ini sudah tidak berguna? Grizella pasti tidak akan mau bertemu dengannya lagi.
"Ibu menyerah, Malakai." Bu Amanda mendesah kecewa. "Mulai sekarang kamu bebas melakukan apa saja yang kamu mau. Ibu tidak akan mengirim Suster yang baru lagi untuk kamu."
Malakai harusnya senang, karena ini memang keinginannya sejak dulu. Dia tidak ingin siapapun mengurusnya secara khusus, karena membuatnya makin terlihat menyedihkan. Namun saat semua itu terwujud, hatinya tak bahagia.
"Kamu sebaiknya tidur, sudah malam. Mulai besok dan seterusnya, Ibu yang akan mengantarkan kebutuhan kamu di sini." Bu Amanda menepuk pundak Malakai dengan lembut.
Malakai diam saja, tetap bertahan dengan keras kepalanya yang seakan tidak membutuhkan siapapun. Meski jauh di dalam hatinya ... ucapan Bu Amanda tadi sangat menyayat. Bila wanita sabar sekelas Bu Amanda saja menyerah, itu artinya dia memang tidak layak diterima oleh siapapun.
"Emang lebih baik seperti ini. Biarkan semua orang membenci lo, dengan begitu nggak akan ada yang mengasihani Lo." Malakai tersenyum, menghibur diri sendiri.
***
Grizella membuka matanya perlahan, merasa sedikit pusing saat mencoba bangun. Dia memperhatikan keadaan sekitar, pandangannya terbatas pada tirai yang mengelilingi ranjang. Sesaat kemudian, tirai itu ditarik seseorang dari luar.
"Kamu sudah bangun?" tanya dokter Erkan dengan senyum ramah.
"Saya udah tidur berapa lama, dok?" tanya Grizella lebih sopan.
Dokter Erkan melihat arlojinya. "Bila dihitung, mungkin sekitar tiga puluh enam jam," beritahunya.
Mata Grizella terbelalak. "Malakai!" ucapnya teringat pria itu. Dia berniat turun dari ranjang, tapi dokter Erkan menahannya.
"Mulai sekarang kamu nggak perlu merawat Malakai lagi," beritahu dokter Erkan.
"Kenapa?" tanya Grizella kaget.
"Setelah Malakai hampir mencelakai kamu, Bu Amanda memutuskan tidak akan mengirim perawat pribadi lagi untuk Malakai."
Grizella menggeleng, merasa ini tidak harus terjadi. Dia langsung turun dari ranjang, melepas infusnya begitu saja.
"Apa yang kamu lakukan?" dokter Erkan kaget dan menahan kepergian Grizella. "Kamu belum sepenuhnya pulih, masih harus beristirahat."
"Saya harus menemui Bu Amanda." Grizella bersikeras ingin menemui Bu Amanda, dokter Erkan tidak bisa lagi mencegah tekadnya itu.
Dengan langkah lemah, Grizella yang tidak memakai alas kaki berjalan ke ruangan Bu Amanda. Dia mengetuk pintu, menunggu sampai mendengar suara Bu Amanda mengizinkannya masuk.
"Grizella, kamu kenapa ke sini?" Bu Amanda yang terkejut melihat Grizella pun langsung mendekat dan memapahnya untuk duduk.
"Saya mau bicara, Bu."
"Apa nggak bisa menunggu sampai kamu lebih sehat?" tanya Bu Amanda khawatir.
Grizella tidak sengaja melihat di layar komputer rekaman kamera pengawas di kamar Malakai. Di sana pria itu terlihat sedang mondar-mandir di balik pintu kamar, seperti ingin ke luar tapi ragu. Hatinya mengatakan kalau Malakai sedang menunggunya.
"Ada apa Grizella?" Bu Amanda mengalihkan perhatian Grizella dari layar komputernya.
"Saya tetap ingin menjadi perawat pribadi Malakai, Bu." Grizella tidak main-main, dia serius memutuskan ini.
"Nggak bisa, Griz. Terlalu berbahaya. Apa yang dia lakukan pada kamu, itu sudah cukup menjadikan alasan untuk saya menghentikan perawatan Malakai di sini."
"Tapi saya baik-baik aja, Bu. Malakai mungkin salah, tapi saya yakin dia pasti menyesal. Jangan karena hal sepele ini, kita malah ..."
"Ini bukan hal sepele. Bukan hanya kamu yang pernah menjadi korbannya, tapi sudah terlalu banyak. Ibu nggak mau ambil resiko lagi." Bu Amanda memutar ulang rekaman di mana Malakai mengunci Grizella di kamar mandi. "Selama ini saya nggak pernah mendengarkan omongan dari semua dokter yang mengatakan kalau Malakai itu mengalami gangguan jiwa. Tapi setelah melihat ini, saya nggak bisa membantahnya. Hanya orang yang terganggu kejiwaannya yang bisa tersenyum saat melihat orang lain ketakutan."
Grizella menontonnya. Di sana Malakai memang terlihat menikmati kejahatannya itu, tersenyum senang di detik-detik dirinya menderita karena ketakutan. Tapi bukankah setelah itu, justru Malakai sendiri yang menyelamatkannya? Melihat pria itu pontang-panting menggendongnya hingga menabrak meja dan lain sebagainya, hatinya sungguh terenyuh.
"Dia nggak gila, Bu. Ibu sendiri yang pernah bilang ke saya," ucap Grizella dengan tatapan serius.
"Ibu tetap nggak mau ambil risiko. Ibu akan menghubungi orang tuanya agar Malakai dikirim ke rumah sakit yang lebih menunjang pengobatan mentalnya."
Grizella menggeleng. "Berikan saya satu kesempatan untuk membuktikan kalau Malakai bisa berubah, Bu. Dia nggak sakit secara mental, dia hanya membutuhkan teman," mohonnya.
"Tapi Griz ..."
"Saya mohon, Bu."
Bu Amanda menatap Grizella lekat. "Apa yang membuat kamu sangat yakin dia bisa berubah?" tanyanya.
Grizella memegang mouse, memutar ulang rekaman video tadi. Saat tiba di detik Malakai menggendongnya ke luar, dia memperlambat video itu dan memperbesar area wajahnya. "Saya bisa melihat kalau Malakai masih punya hati, Bu," ucapnya mengarahkan kursor ke wajah Malakai.
Bu Amanda memperhatikannya lebih seksama. Dia baru menyadari apa yang Grizella katakan, kalau saat itu ekspresi Malakai memang layaknya manusia normal yang mencemaskan Grizella. Bahkan, nekat melangkah ke luar menghadapi cahaya yang selama ini selalu dihindarinya.
"Saya nggak pernah melihat Malakai peduli pada seseorang, seperti dia peduli sama kamu."
***
Cieeee Malakai mulai bikin Grizella baper nih ☺️☺️
Bakalan sama-sama kecantol gak nih?
Pengen nyoba kasih challenge ah, kalau komen tembus 500 bakal double update. Siapa berani?
Skuy 🔥🔥🔥
KAMU SEDANG MEMBACA
My Crush (TAMAT)
RomanceMalakai memiliki gangguan penglihatan sejak tragedi kecelakaan yang menewaskan Mamanya. Lebih sialnya lagi, Papanya menikah lagi dengan Ibu tiri yang jahat. Dia mencoba berontak, tapi malah dianggap depresi sehingga dikirim ke panti rehabilitasi. Di...