Chapter 08

2.2K 395 32
                                    

Ini pertama kalinya setelah dua tahun Malakai melangkah jauh ke luar dari kamarnya. Jujur saja dia merasa tidak cukup nyaman lantaran ada banyak orang yang akan melihatnya dengan kondisi seperti ini. Sementara selama ini dia selalu menutup diri dari dunia luar, karena tak ingin orang-orang tau kelemahannya.


"Eh Sus, itu Malakai, ya?"

"Loh iya itu Malakai. Dia mau ngapain keluar jam segini? Sendirian lagi."

"Ya ampun, ternyata ganteng banget ya. Aku beruntung dapet shift malam hari ini."

"Percuma ganteng kalau nggak punya mata. Lihat aja tuh jalannya aja harus pake tongkat, kasihan banget."

Seketika langkah Malakai terhenti.

"Jangan-jangan dia denger, kamu sih ngomong sembarangan."

"Ayo, kita pergi aja."

Malakai memang tidak bisa melihat, tapi telinganya cukup tajam. Bahkan, dia bisa mendengar langkah menjauh dari kedua suster itu. Marah karena dibilang tidak punya mata? Tidak. Dia hanya tidak suka embel-embel kasihan yang terucap setelahnya. Bila ingin menghinanya, maka hina saja, tidak perlu mengasihani.

"Ayo." Grizella datang. Tadi, dia pergi ke ruangan Bu Amanda, meminta izin lebih dulu. "Bu Amanda bolehin kamu ke luar, tapi di sekitar sini aja."

"Aku mau ke kamar aja." Malakai membalikkan badan, hendak kembali ke kamarnya.

"Loh, kenapa?" Grizella dengan cepat menghalangi. Dia berdiri di hadapan Malakai. Melihat ekspresi pria itu, dia tahu pasti telah terjadi sesuatu. "Tadi kamu mau, kenapa sekarang berubah pikiran?"

Malakai membuang tongkat yang dia pegang dengan kasar. "Kamu sengaja nyuruh aku pake tongkat sialan itu biar semua orang tau aku buta?" tanyanya marah.

Grizella memandang tongkat putih yang tergelatak di atas rumput. Benda itu dia ambil dari ruang penyimpanan untuk membantu Malakai berjalan.

"Sebenarnya tongkat itu cuma untuk alternatif aja, karena takut kamunya nggak nyaman kalau aku ..." Jantung Grizella berdegup kencang.

Malakai menunggu dengan kerutan di kening. Saat tiba-tiba ruang kosong di sela-sela jarinya terisi, kemarahannya tadi lenyap. Tangan Grizella terasa dingin, tapi efeknya menghangatkan hati.

"Nyaman nggak kalau jalannya kayak gini?" tanya Grizella gugup.

"Better," jawab Malakai.

Grizella pun tersenyum. Dia mencoba menata detak jantungnya yang kacau. Padahal hanya bergandengan tangan, tujuannya pun untuk membantu pria itu berjalan, tapi sialnya dia malah deg-degan.

Keduanya mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi rumput Jepang. Di sepanjang jalan itu, semua orang menyaksikan dengan ekspresi yang beraneka ragam. Tidak ada yang bisa melakukan hal seperti ini selain Grizella, karena kebanyakan perawat lain pasti takut pada Malakai. Wanita itu tampak dengan antusias bercerita tentang seperti apa kondisi di sekitar, membuat Malakai tak henti-hentinya tersenyum.

"Gimana, merasa lebih baik sekarang? Kita udah keliling cukup jauh," ujar Grizella.

"Kamu capek?" tanya Malakai.

"Nggak. Cuma takut kamu yang capek kalau jalan terlalu lama."

"Mata aku emang sakit, tapi kaki aku sekuat baja," ucap Malakai sombong.

"Oke ... Aku yang capek." Grizella pun mengakuinya, disertai kekeh geli.

Malakai ikut tertawa. "Kita duduk aja kalau gitu. Di sini ada kursi nggak?" Saat mendongak, lampu taman yang menyilaukan membuat mata Malakai sakit. Dia langsung menunduk sambil menutup matanya.

My Crush (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang