Chapter 14

1.5K 299 17
                                    

Hari ini, Malakai akan mulai menjalani perawatan di rumah sakit. Dia akan melakukan berbagai macam tes untuk mempersiapkan kondisinya menjelang operasi besok. Semua telah Papinya urus, termasuk menyiapkan kamar VVIP dengan fasilitas bak hotel berbintang. Tapi sayangnya, tidak ada satu pun dari keluarga Malakai yang datang.

"Malakai," sapa seorang pria berjas putih.

"Om Rendra," sapa balik Malakai.

Om Rendra merupakan kakak tertua dari Papinya Malakai, seorang dokter bedah yang kebetulan juga pemilik dari rumah sakit ini. "Kamu sendirian aja?" tanyanya.

"Nggak Om. Tadi ada pacar saya, tapi sekarang dia lagi di ke luar sebentar beli sesuatu," beritahu Malakai.

"Wanita yang seharian ini menemani, itu ternyata pacar kamu?" goda Om Rendra.

"Hehehe, iya Om. Dia juga sebenarnya Suster pribadi aku di panti rehab Bu Amanda," beritahu Malakai.

"Oh, pantas dia terlihat profesional. Baguslah kalau begitu, artinya dia bisa diandalkan untuk menjaga kamu selama di sini."

"Papi nggak dateng, Om?" Malakai tidak terlihat sedih, melainkan sedang menyindir.

"Emm, tadi pagi Papi kamu telepon, dia harus berangkat ke Singapore karena ada pekerjaan penting. Tapi Papi kamu janji saat operasi nanti, dia pasti akan datang."

Malakai tersenyum sinis. "Janji Papi nggak perlu dianggap serius, Om. Aku udah biasa kok dibohongi," ujarnya.

Om Rendra menatap Malakai iba. Dia menepuk pundak keponakannya itu. "Kamu harus ingat Kai, terlepas dari apapun permasalahan di antara kalian, kamu tetap anaknya yang sah. Jangan sampai hak kamu diambil alih semuanya oleh orang-orang yang rakus," ucapnya menasihati.

"Nggak akan aku biarin Om, karena ada hak Mami juga di sana. Aku akan pertahankan apa yang harus dipertahankan," ucap Malakai serius.

"Bagus. Memang itu yang harus kamu lakukan. Om juga nggak rela semua yang dibangun susah payah oleh Mas Malven dan Mbak Kaira, hancur di tangan orang yang salah." Om Rendra yang saat itu juga menentang keputusan Malven menikahi Raisya, tidak bisa berbuat apa-apa karena adiknya itu sangat keras kepala.

"Makasih Om, karena selalu berdiri di pihak Mami," ucap Malakai tulus.

"Sama-sama Malakai. Mami kamu itu wanita yang baik, sayang pada semua keluarga. Sudah pasti kami semua juga sangat menyayanginya. Makanya saat Papi kamu menikah lagi, banyak pihak keluarga yang kecewa. Tapi kamu tau sendiri watak Papi kamu itu seperti apa, susah melarangnya kalau sudah berkehendak."

"Om bener." Malakai mengangguk.

"Satu-satunya harapan kami semua untuk menyelamatkan aset keluarga, hanya ada di kamu sekarang. Makanya Om seneng banget dengan keputusan kamu ini."

"Om tenang aja, aku bisa diandalkan." Malakai menjanjikan.

"Om percaya." Rendra menepuk pundak Malakai.

"Ya sudah kalau begitu kamu istirahat yang banyak. Kondisi kamu harus prima selama menjalani tes, karena operasi yang akan kamu jalani bukan operasi sederhana."

"Siap, Om."

"Om permisi dulu, ya. Kalau kamu butuh sesuatu, tau, kan, harus apa?"

"Tekan bel," kekeh Malakai.

Om Rendra mengusap puncak kepala Malakai, lalu pergi meninggalkan kamar itu.

Tak lama setelah Om Rendra pergi, Grizella datang membawa plastik dari supermarket berisi berbagai macam kebutuhannya. Dia akan menginap di sini sementara tidak ada yang menjaga Malakai.

"Kai, tadi aku lihat dokter Rendra keluar dari sini. Nggak ada masalah, kan?" tanya Grizella. Dia khawatir karena ini sudah larut malam, bukan lagi jam kunjungan dokter kecuali ada keadaan darurat.

"Nggak, tadi Om Rendra cuma dateng buat ngecek doang," jawab Malakai.

"Oh iya, kok manggilnya Om sih?" Grizella sudah penasaran sejak pagi, tapi belum ada kesempatan bertanya lantaran Malakai seharian di ruang pemeriksaan.

"Om Rendra itu Kakak pertama Papi," beritahu Malakai.

"Ya ampun, ternyata Om kamu. Aku beneran nggak tau."

"Tadi harusnya kamu datang lebih awal, biar bisa aku kenalin ke Om Rendra."

"Emang nggak papa?"

"Om Rendra berbeda dari Papi. Kamu pasti diterima dengan baik." Malakai tersenyum.

"Syukurlah kalau gitu. Aku deg-degan jadinya," kekeh Grizella.

Malakai memegang tangan Grizella. "Sekalipun seisi dunia menentang kita, aku akan tetap memilih kamu. Selama itu juga, tolong bertahan," mohonnya.

Grizella menatap lekat Malakai. "Aku takut nggak bisa menepati janji Kai," lirihnya.

"Kenapa? Kamu berniat ninggalin aku?" tanya Malakai cemas.

"No ..." Grizella menggeleng sembari memegang pipi Malakai. "Aku cuma takut kalah sama keadaan." Tiba-tiba air matanya jatuh.

"We will fight together."

Grizella memeluk Malakai. "Kalau nanti aku nggak ada, kamu cukup tutup mata dan bayangkan aku di samping kamu. Aku nggak ke mana-mana, dekat di hati kamu."

"Kamu kenapa?" Malakai yang sangat peka, bisa merasakan perubahan yang Grizella tunjukkan.

Grizella menghapus air matanya. Dia menggeleng. "Aku cuma lagi keinget Bu Farida, soalnya beliau lagi dirawat di rumah sakit juga sekarang."

"Kalau gitu kamu ke sana aja. Aku nggak papa sendirian. Lagian ada Om Rendra, banyak dokter jaga dan para suster di sini."

"Bu Farida udah ada yang jagain. Aku udah janji mau nginep di sini malam ini," tolak Grizella.

"Tapi kalau kamu tenang ninggalin Bu Farida, nggak papa kalau mau tidur di sana dulu. Kamu ke sini lagi besok, karena besok aku butuh kamu."

"Nggak mau. Mau di sini sama kamu." Grizella kembali memeluk Malakai. Dia bagai sedang menyerahkan semua energinya pada pria itu, hingga bersandar di dadanya seperti ini sangatlah nyaman.

"Kalau lagi gini, kamu kayak bayi tau nggak. Ngegemesin banget." Malakai memeluk Grizella erat, lalu mencium puncak kepalanya.

Grizella terkekeh.

"By the way, kamu punya permintaan nggak sebelum operasi besok?" tanya Grizella.

"Kamu takut aku meninggal di meja operasi, jadi kamu mau ngabulin apapun yang aku minta malam ini?"

"Jangan ngomong sembarangan deh!" Grizella melepas pelukan dan marah. "You will be fine."

"Hahaha. Aku becanda, Griz. Serius amat nanggepinnya," cibir Malakai.

"Nggak lucu."

"Maaf." Malakai menyatukan pipi Grizella hingga bibir wanita itu mengerucut ke depan. Dia beri kecupan beberapa kali, sebelum mengisapnya dalam dan lama.

"Oke, aku akan minta sesuatu," ujar Malakai setelahnya.

"Apa?"

"Ajak aku keluar sekarang. Aku mau menikmati detik-detik terakhir kegelapan ini sebelum akhirnya bisa melihat dunia dengan normal lagi."

"Tapi emang kita boleh pergi?"

"Diem-diem. Kita ke rooftop yang ada di rumah sakit ini."

"Tapi bukannya tempat kayak gitu nggak boleh sembarangan didatengin, ya?" Grizella tidak yakin bisa membawa Malakai ke sana, bahkan dia tidak tahu bagaimana caranya ke sana.

"Dulu waktu kecil pas nemenin Mami check up, aku diem-diem selalu kabur ke rooftop." Malakai terkekeh.

Grizella hanya bisa menganga.

"Let's go there."

***

Silakan baca kelanjutan cerita ini di aplikasi Karyakarsa ya. Di sana sudah update sampai tamat, juga ada yang berbentuk PDF.

My Crush (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang