Mantra Dari Dewandaru

834 38 0
                                    


Bab 12 : Mantra dari Dewandaru

"Aku ingin bicara," pintanya memaksa. Erat tangan Ansel memegangi tangan Aruna. Lebih tepatnya mencengkram. Pemuda berkulit putih itu tak terima dengan sikap Aruna yang berubah terhadap dirinya.

"Lepasin tanganku, Ansel!" Aruna meringis. Sedikitpun tak ingin menatap pemuda itu.  Ada rasa kecewa yang entah atas dasar apa dirinya kecewa terhadap Ansel.

"Aruna, aku ingin bicara sama kamu," pintanya lagi. Melihat Aruna yang dingin padanya, membuat Ansel semakin kesal. Kenapa gadis itu berubah terhadapnya?
Tak seperti biasanya. Ada seseorang kah?

"Bicara aja," Aruna kurang menanggapi. Memalingkan wajahnya ke arah lain. Meskipun sadar bahwa ia tak seharusnya marah terhadap Ansel.

Marah karena apa?
Marah atas dasar apa?
Bukankah status keduanya hanya sebagai teman?

"Bukan disini," pinta Ansel tegas dan mendominasi. Ini jarang terjadi, karena Ansel adalah pria yang lembut dan cukup dewasa. Namun, melihat Aruna yang menurutnya berubah, membuat ia jengkel setengah napas.

"Disini aja! Gak enak jika ditempat spesial! Takut pacar kamu mikir yang enggak-enggak!" tolaknya lagi. Intinya Aruna ingin menjauhinya. Tepatnya tahu diri untuk tak mengganggu hubungan orang lain. Tak ingin menjadi orang ketiga.

Ansel menghela napas panjang, "Aruna, aku ngerasa kamu berubah," keluh Ansel dengan nada suaranya yang menurun. Berharap gadis itu tak lari dari hadapannya. Barangkali, gadis bermata jernih itu bisa luluh hatinya untuk Ansel.

Aruna terdiam dengan pendapat pemuda tersebut. Itu jelas benar adanya. Tak perlu dirinya menyangkal. Justru mungkin ini saatnya bagi Aruna memperjelas sekat hubungan antara keduanya. Baik Aruna atau Ansel, harus sama-sama menata jarak.

"Aku pikir, seseorang berubah itu, bukan hal yang buruk, termasuk mungkin diriku," ungkapnya lembut.

"Enggak, maksud aku tuh, bukan tentang gaya dan penampilan kamu yang berubah, tapi lebih ke ... " Ansel tak melanjutkan ucapannya.

Haruskah dirinya jujur tentang rasa tak nyamannya tanpa senyum Aruna? Sepertinya, gengsi.

"Ke ... Apa?" tanya Aruna sedikit penasaran.

"Aku ngerasa kamu berubah drastis," jawab Ansel kebingungan. Mulutnya kelu untuk jujur tentang perasaannya.

"Jika pun emang aku berubah, apa aku ngerugiin kamu?" ucapan Aruna menohok. Gadis itu kecewa atas jawaban Ansel. Padahal ia berharap alasan lain dari pemuda itu.

Dan sesungguhnya, tanpa dipertanyakan pun, Aruna sadar bahwa dirinya memang berubah.
Tapi, berubah ke arah yang lebih baik bukankah itu bagus? Terlebih, keadaan Ansel pun telah berubah.

"Maksudku, aku ngerasa kamu jauhin aku," pada akhirnya Ansel berani mengungkapkan isi hatinya. Meski tak seratus persen.

"Kalau iya, kenapa?" Tanya Aruna terang-terangan. Menantang jawaban lain. Barangkali gadis itu mendapatkan jawaban jelas dari Ansel tentang isi hati pria itu.

"Apa alasannya?"

Tanya Ansel, mungkin dirinya baru menyadari dan merasa kehilangan. Atau menyesal?

"Karena aku sedang belajar tahu diri. Belajar sadar diri bahwa ketika kamu memilih seseorang untuk dijadikan sebagai kekasih, aku harus bisa bersikap menjaga diri.
Bersikap menghargai wanita lain yang mungkin saja bisa cemburu jika kita terlalu dekat seperti dulu," jelasnya panjang lebar. Mengungkapkan apa yang ada dihatinya. Tentang hati yang pernah diberi harapan namun itu palsu.

"Itu gak masuk akal. Kita teman dekat. Dan Sonia tahu itu sejak awal," sanggahnya. Ansel sendiri kebingungan untuk isi hatinya saat ini.

Ia senang berpacaran dengan Sonia. Namun, disaat yang bersamaan, hatinya terasa hampa tanpa kehadiran seorang Aruna. Apa dia serakah?

"Ya, kita emang dekat. Tapi itu dulu. Sebelum kamu punya seseorang, sekarang kamu sudah menegaskan sama aku bahwa kamu itu sudah memiliki kekasih yang bernama Sonia dan aku sebagai wanita berusaha memposisikan diri untuk tidak terlibat diantara kalian, tidak membuat Sonia cemburu. Apa aku salah?" Aruna mengungkapkan isi pikirannya membuat. Ansel terdiam sejenak.

"Apa kamu cemburu?" tanya Ansel menyelidik. Matanya tajam menatap sang gadis didepannya.

"Bukan gitu Ansel! Aku cuma berusaha untuk jaga perasaan orang aja!" sangkal Aruna dengan suaranya yang meninggi beberapa oktaf. Tak ingin membuat keadaan keruh. Bukankah ia ingin menjaga perasaan wanita lain?

"Aku pikir kamu cemburu," ungkap Ansel hampa. Secara tak langsung mengungkapkan harapannya. Baginya terasa aneh saat ternyata Aruna tak memiliki perasaan lebih padanya.

"Enggak lah, aku senang ngelihat kamu senang Ansel," jawab Aruna menoleh ke arah lain.

Dan, matanya membulat penuh saat Aruna menangkap sosok yang telah bersandar pada tiang bangunan sekolah, dengan bola matanya sendiri.

Pria yang menggulung lengan kemejanya sampai sikut, bersandar santai dengan kedua tangan menyilang, menatap tajam pada Aruna, hingga membuat gadis itu menelan ludah dan salah tingkah. Tertangkap basah?

Kenapa harus salah tingkah dan merasa bersalah? Bukankah Aruna tak melakukan salah apapun?

"Aruna, kok lama banget sih ke kamar mandinya?" Durespati menghampirinya. Berlaga menunggu gadis itu. Padahal untuk melerai keadaan

Kali ini, Aruna begitu senang dihampirinya. Merasa ada alasan yang kuat untuk mengakhiri perbincangan un faedahnya dengan Ansel. Yes! Batinnya bersorak.

"Ini juga udahan kok," balasnya tersenyum manis seraya mengedipkan satu matanya, isyarat berterima kasih atas kedatangan Durespati. Gadis ratusan tahun itu dapat diandalkan juga.

"Ansel, aku ... " ucapan Aruna terpotong saat Ansel mencegatnya dengan meraih tangan Aruna.

"Aruna, kita belum selesai bicara," sepertinya Ansel tak rela ditinggalkan begitu saja oleh gadis itu. Aruna terkejut, pun Durespati.

Apalagi kejadian tersebut dilihat langsung oleh Dewandaru. Sang guru baru itu pun menatap tajam pada tangan Ansel yang menahan tangan Aruna. Matanya menyala terang. Bibirnya bergerak-gerak kecil membaca mantra.

Ansel pun meringis kesakitan, membuat Aruna terkejut kebingungan.

"Akhhhh," pekiknya mengeratkan rahangnya. Pemuda itu memegangi lehernya. Merintih kesakitan.

"Ansel, kamu kenapa?" tanyanya cemas.

Perhatian dari Aruna untuk Ansel, sukses membuat Dewandaru cemburu hingga semakin kencang membaca mantra hingga membuat Ansel semakin kesakitan. Bahkan keringat kecil mulai keluar dari keningnya.

Ini aneh.

Jangan-jangan ....

Perasaan gadis itu mulai tak enak.

Aruna menoleh ke arah lain untuk meminta pertolongan. Namun yang dilihatnya adalah sosok Dewandaru, dirinya tercengang kala melihat mata Dewandaru yang merah menyala, detik itu juga Aruna mulai menyadari bahwa tangan Ansel yang tiba-tiba sakit pasti ulah pria itu.

"Dewandaru ... " gumamnya lirih. Gadis itu tahu bahwa sosok Dewandaru mampu melakukan hal yang tak terduga. Bahkan tak masuk logika. Terlebih kini, pria itu memperlihatkan rasa cemburunya. Seperti yang terjadi pada pamannya, Dudung tempo hari. Mudah bagi pangeran beda dunia itu berbuat sesuatu. Apalagi Dewandaru terlihat begitu cemburu.

Apa yang harus dilakukan Aruna untuk menghentikan rasa sakit yang saat ini dirasakan oleh Ansel? Bahkan meskipun Ansel bukan lagi prioritasnya, tapi Aruna sungguh tak ingin melihat Ansel kesakitan.

Bersambung ...
Stamplat-Garut perbatasan, 1 Desember 2021







Dinikahi Siluman UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang