23 | Pulang

900 214 21
                                    

Alhamdulillah.

Akhirnya aplikasi beasiswa untuk kenotariatanku sudah terkirim. Semoga saja ini rezekiku mendapatkan beasiswa kuliah. Agar aku bisa fokus menekuni ilmu baruku.

"Wis dikirim Mil, maturnuwun yo infonya.." pesanku pada Camil via aplikasi hijau.

"Nggih jeng, semoga rezekimu ya.." sahut Camil yang sedang sama-sama online.

Aku bersyukur tiada henti saat ini. Semoga saja lancar urusanku. Impianku menjadi notaris tercapai.

"Mbul, Ibumu sakit. Digawa ke rumah sakit.."

Netraku melotot tak percaya. Gegas aku menekan tombol panggilan dan dijawab Camil dengan cepat.

"Mil, jawab! Kondisinya piye?"

Camil terjeda tak menjawab.

"Mil, ayo dong info. Aku koq jadi gak tenang lho iki.."

"Hipotensi parah. Pulang dulu sebentarlah Mbul, ndak kangen opo?"

"Aku baru mulai kerja di tempat baru. Piye izine.. ndak enak aku .."

Terdengar Camil menarik nafas panjang.

"Bilang aja orangtua sakit. Yo mosok ndak pengertian. Dzalim itu mbul. Pulang sehari aja. Sesok mulih maning.."

Aku berpikir keras membayangkan saran Camil.

"Mungkin Ibu kangen sama kamu Mbul, yo kamu ndak pernah pisah lama tho sama ibumu. Makanya beliau sakit-sakitan. Cah ragil kayak kamu itu kan kesayangan orang tua.. jangan mempertahankan ego, biar gimana mereka orang tua lho yo. Wis tho, kamu kalau mau pulang kabari. Aku jemput nanti di stasiun.."

Hiks, Ibu. Aku juga kangen tapi bagaimana? Perjodohan itu apa masih ada?

"Sek aku izin dulu sama bosku. Semoga beliau pengertian yo Mil. Ya wis aku tak hubungi dia dulu. Makasih Mil.. tak tutup ya.. assalaamu'alaikum.."

Tanpa mendengar jawaban Camil, aku gegas mencari tiket online menuju kampung halamanku. Sekalian juga aku berniat mengganti bajuku untuk kembali menuju kafe. Jam kerjaku masih 3 jam lagi dan semoga aku berhasil merayu Dinan untuk menggantikanku malam ini.

Ibu, aku datang yo bu.. sehat-sehat.

🌷

Aku memeluk Camil erat. 5 bulan kami tak bertemu langsung, membuat rasa rinduku tak terbendung. Camil, sahabatku dan mantan tetanggaku sejak kecil yang selalu membersamaiku.

"Ibu piye Mil?" Tanyaku tak sabar.

"Langsung rumah sakit apa rumah dulu nih?"

"Rumah sakit ae. Ndak sabar ketemu Ibu Mil.."

Camil mengangguk lalu mengajakku menuju parkiran dimana mobilnya berada. Tas ransel milikku yang tersampir di bahuku, ku simpan di jok belakang.

"Ke rumahku dulu aja ya Mbul, mandi biar seger. Wajah kamu kusut gitu ndak enak diliat. Kamu nangis tho?"

Aku mengangguk kecil.

"Manut Mil.."

Camil mengangguk lalu membawaku pergi menuju rumah orang tuanya.

"Beres mandi, kamu boleh langsung ke rumah sakit. Nanti tak anter. Kalo sudah kemaleman begini, kasian sebenarnya yang jaga keganggu tidurnya Ibu"

"Ndak pa pa. Aku cuma pengen langsung ketemu Ibu. Wis gak usah ke rumahmu, langsung rumah sakit aja ya. Nanti aku bersih-bersih di toilet ruang rawat ibu aja"

"Yo wis"

Camil membawaku ke rumah sakit dimana ibuku dirawat. Ada rasa sedih merayapi ketika aku melihat jalan-jalan yang ku lewati. Aku amat merindukan kota ini, amat sangat rindu. Tapi apa daya, berkorban untuk mimpi dan cita-citaku lebih utama dibanding hidup nyaman seperti sebelumnya.

The Crazy ObossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang