Bab 53

64.1K 4.8K 753
                                    

*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*****


Apa ada kiamat kecil yang lebih buruk ketimbang menyaksikan masa kejayaannya runtuh di depan mata? Hanya dalam satu kedipan, semua hancur lebur. Dilantari oleh kelakuan anak-anak yang ia banjiri dengan limpahan uang merah bergambar Soekarno-Hatta.

Untuk sebagian orang yang gila hormat dan haus pujian, itu menjadi titik jatuh. Mereka yang bersembunyi di balik topeng 'dermawan', begitu topeng itu tersingkap, mengelak pun percuma. Lidah manusia begitu tajam, penuh manipulatif. Tapi nyatanya hal yang terlihat oleh mata jauh lebih mudah dipercaya ketimbang bualan kentut semata.

Kursi melayang cepat menghantam dinding, menimbulkan suara yang memekikkan telinga.

"Apa tidak bisa kamu hanya diam?! Kenapa terus membuat ulah yang semakin mencoreng nama baik keluarga?!" murka Seno dengan wajah merah padam. Rahangnya semakin mengeras ketika mendapati wajah santai putrinya.

Terlihat lembaran kertas putih berserakan di lantai. Lemari penyimpanan dokumen yang teronggok mengenaskan. Pecahan kaca tersebar hampir di seluruh ruangan. Dari sini kita dapat menyimpulkan, menghancurkan barang adalah kebiasaan buruk Seno yang menurun langsung para Aretha.

"Wanita sialan itu membuatku marah. Harusnya dia langsung pergi ke neraka. Tempat itu lebih cocok untuk seonggok sampah sepertinya."

"Papa hanya minta kamu untuk mengontrol emosi! Lebih tenang! Kelakuan kamu itu seperti sengaja menyiram minyak tanah di atas bara api.." geramnya. Mengepalkan kedua tangan erat saat hasrat ingin mencekik sang putri begitu kuat.

"Papa pikir aku perduli? Udah terlanjur juga 'kan?"

Jawaban santai yang diucapkan Aretha semakin membuat dada pria paruh baya itu bergemuruh hebat.
Saat ini, masa depan keluarganya tengah dipertaruhkan. Lalu apa katanya tadi? Tidak perduli?

"Kenapa harus dibuat pusing, sih? Sama seperti biasa, lakukan saja seperti sebelum-sebelumnya. Seperti saat kalian membereskan sisa-sisa mainanku," sambung wanita dengan perban yang melilit kepalanya.

Seno menepis kasar tangan Sea yang berada di lengannya.

Tatapan tajam terkunci pada Aretha yang sedang meniup-niup kuku panjangnya. "Papa benar-benar sudah muak dengan semua kelakuanmu!" Seno mengangkat kedua tangan, kepalanya menggeleng pelan.

"Muak? Yakin, udah nggak sayang aku?" Kerutan samar terlukis di kening wanita dengan piyama bermotif Hello Kitty itu.

"Bertindak impulsif, nggak bisa ngontrol emosi. Dangkal, nggak mikir akibat dari apa yang lo perbuat. Aretha.. gue sama Papa nggak bisa terus-terusan beresin kekacauan yang lo ciptakan. Kita punya masalah masing-masing. Jadi gue mohon.. tolong bersikap selayaknya orang waras," sela Bara setelah cukup lama terdiam.

Dua Garis Merah | DEOLINDA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang