prologue: prom night

222 13 2
                                    

SATU hal yang kupelajari dari pesta pelepasan SMA: wanita merupakan makhluk paling repot sedunia.

Oke, hiperbola. Tapi, tidak bisa dikatakan salah juga. Aku ingat hari itu, aku terbangun pukul delapan pagi. Keramas tiga puluh menit (jangan hakimi aku untuk ini, percayalah ini waktu tercepat yang bisa kuusahakan), perawatan tubuh empat puluh lima menit (biasa, body scrub, lotion, nail art, waxing), skin care dua puluh menit (belum terhitung waktu yang dihabiskan untuk mengenakan sheet mask, kudengar itu bisa menghidrasi wajah dan mencegah make up terlihat cakey), make up lima puluh menit (tentunya disambi gibah), hairdo tiga puluh menit (sudah tidak bisa protes, yang ini memang lama dan butuh ketelatenan).

Mengulang daftar itu saja sudah membuatku terkikik geli. Ah, masa-masa SMA. Hari-hari dimana aku sok bisa menggunakan eyeliner walau belepotan, atau sengaja mengenakan eyeshadow kadaluarsa karena hanya itu satu-satunya yang kupunya.

Kenangan konyol masa muda.

"Bodoh amat mau belepotan, lagian di sana juga nggak kelihatan banget." Itu sahut Reina, beberapa jam sebelum acara dimulai. Kuingat saat itu Kei baru merutuk sebab eyeliner mata kanannya tercoreng. Tidak simetris, jelek, tidak rapi. Ia sampai rela menghapus semua riasan mata kanan hanya karena satu coretan eyeliner itu.

"Yeee, itu mah suka-suka kamu. Aku mau ketemu Sean, jelas nggak boleh belepotan."

"Ih," Reina mencebik, "dasar bucin."

Kei menjulurkan lidah.

Rei balas mengejek.

Aku terkekeh tapi tidak berkata apa-apa, lanjut mengoles eyeshadow bling-bling pada mata. Sempurna. Mataku didesain layaknya mata orang-orang keturunan Tionghoa: sipit, tanpa eyelid, terlihat sayu dan kadang 'malas'ーkau tahu, tipe-tipe mata yang butuh usaha ekstra untuk dirias.

"Katanya Jonathan udah balik dari Jakarta," kata Reina memecah keheningan. Aku bisa merasakan tatapannya pada punggungku saat ia melanjutkan, "dia fix bakal hadir nanti."

Ada desir aneh yang membuat dadaku berdentum lebih cepat dari biasanya, tapi memilih untuk berdeham tak acuh. "Pelepasan pasti hadir, dong. Sekali seumur hidup, udah ikut urunan lagi," sahutku.

Kudengar Kei tergelak. "Jonathan pasti ikut, udah kapok dimarahin Sora gara-gara birthday night."

Aku dan Reina ikut tertawa. Itu candaan kelas IPA, saat Jonathan tiba-tiba saja berhalangan hadir pada malam perayaan ulang tahunku. Acaranya tidak mewah, sih. Hanya makan-makan sekaligus hang out di mal. Tapi tetap saja, aku sudah berekspetasi teman sekelasku akan datang semua. Lebih parah lagi, ia baru mengatakan itu dua puluh empat jam sebelum hari-H, yang membuat kami sekelasーterutama aku sang penyelenggara acaraーlangsung kebakaran jenggot. Kami berdebat tiga puluh menit di grup, berakhir dengan aku yang marah dan Jonathan yang berkali-kali meminta maaf.

Sebenarnya kalau direka ulang sekarang, peristiwa itu bisa dikatakan lucu. Sebab aku tidak benar-benar marah (tapi, ketikanku hari itu cukup formal dan tegas seolah-olah sedang marah betulan), dan aku yakin Jonathan juga tidak sungguh-sungguh dalam kata "maaf"-nya. Mungkin, ia memang tidak setertarik itu dengan perayaan ulang tahunku.

Mungkin, tak sepertiku yang menghabiskan berminggu-minggu mempersiapkan pesta, Jonathan justru menganggap perayaan itu hanya kegiatan buang-buang waktu.

Mungkin memang hanya aku yang terlalu berharap.

Namun itu sudah seminggu yang lalu. Rasanya waktu berlabuh begitu cepat. Kini dalam hitungan jam, aku akan bertemu dengannya dalam setelan jas dan gaun dalam acara formal terakhir sekolah.

A Confession [Lee Chan - Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang