[To: soragrac56@gmail.com]
Subject: Surat Kedua
PADA akhirnya, aku ingkar janji juga.
Awalnya, aku tidak mau berjanji. Sejujurnya aku benci mengucap janji. Karena kita tidak tahu apa-apa tentang masa depan. Aku bahkan tidak tahu apa aku masih akan hidup untuk dua puluh empat jam ke depan, siapa aku berani-beraninya membuat janji untuk selamanya?
Kita bagai dua anak muda yang naif dan tidak tahu apa-apa kala mengikrarkan janji itu. Atau mungkin, kita memang adalah salah satunya.
Aku tidak menyalahkanmu, Sora.
Tapi ada banyak hal yang tidak bisa kuceritakan, yang membuatku akhirnya mengingkari itu.
Sekarang pukul tiga subuh. Dan layar ponselku menunjukkan tangkapan layar dari pesan lama kita dulu.
Aku melihat foto-fotomu dengan teman kuliah yang baru. Kamu terlihat ... berbeda sekaligus sama. Asing dan begitu familiar. Aku tidak suka menulis dan tidak pandai dalam merangkai kata, tapi percayalah saat kubilang kau terlihat jauh luar biasa.
Dulu kita pernah bercanda, bahwa Surabaya akan menjadi tempat untuk kita menghabiskan masa muda dan mengenangnya di hari tua. Saat itu, aku benar-benar berpikir itu akan menjadi nyata. Aku benar-benar mengira Surabaya adalah tempatku menghabiskan hari-hari kelak.
Tapi saat kita sudah benar-benar menginginkan sesuatu, hidup kembali mengacak dadu. Kini, aku malah menginjakkan kaki di kota besar dan asing (tidak sepenuhnya benar, nanti akan kuceritakan tentang ini ya). Seperti menghirup sesuatu yang familiar tapi juga asing. Aku benci aroma ini: aroma rumah.
Ada banyak hal yang ternyata harus diselesaikan di sini. Aku ingin memberitahumu secara langsung, tapi mustahil untuk bertatap muka denganmu sekarang. Karena itu, aku akan menuliskan semuanya lewat e-mail yang tidak terkirim.
Ceritanya panjang, ruwet, membosankan.
Intinya satu: Papa butuh aku.
Mama butuh aku.
Dan aku butuh uang.
Jadilah kami pindah ke Jakarta, untuk kembali memulai semua dari awal. Aku berhenti kuliah, aku membantu Papa menjalankan usaha jualan bahan bekas, demi mengumpulkan modal untuk memulai bisnis F&B baru. Terasa sulit, karena sekarang aku selalu tidur subuh-subuh, setelah memilah bahan yang bagus untuk dijual besok. Komputer gaming-ku dijual, ponsel lamaku digadaikan, konsol game-ku pun harus dijual. Semua untuk membayar hutang-hutang Papa di masa lalu.
Aku ingin cerita, Ra.
Tapi aku tidak bisa.
Bagaimana bisa aku menunjukkan sisi lemahku padamu?
Bagaimana bisa aku menunjukkan sisi buruk pada orang yang kusuka?
Dulu, kamu tahu aku akan kuliah di salah satu universitas swasta terbesar di Surabaya. Setidaknya, aku akan menjadi mahasiswa jurusan bisnis manajemen yang akan belajar dan membuka usaha sendiri. ingat mimpi kita? Kamu menjadi penulis, aku menjadi pengusaha.
Di semester dua kuliah, mimpimu menjadi kenyataan, mimpiku hancur berantakan. Aku drop out, keluar secara mendadak, bahkan di luar kemauanku. Semua temanku risau menanyakanku, tapi apa yang bisa kukatakan? Orangtuaku bangkrut mendadak dan aku harus kembali ke kota asal untuk bekerja?
Aku malu.
Aku tidak sanggup.
Yang pada temanku saja aku tidak bisa mengatakan itu, bagaimana bisa aku menceritakannya pada gadis yang kusuka? Pada seseorang yang ingin sekali kuberitahu semua hal indah di dunia?
Aku terdengar menyedihkan, tapi itu kenyataannya.
Saved it as a draft?
Yes.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Confession [Lee Chan - Jeon Wonwoo]
RomanceSelama ini, aku selalu memendam. Apapun yang aku rasakan, aku memilih untuk diam. Bungkam. Sengap. Tutup mulut dan menerima. Tidak suka? Siapa peduli. Terluka? Tahan saja dan tetap sunggingkan senyum sopan. Bahagia dan ingin tertawa? Tidak, tahan du...