March 24th 2020
TERHITUNG lima belas belas hari sejak terakhir aku menulis, jadi maaf kalau pada surat ini struktur kalimatku acak adul dan membingungkan. Itu pelanggaran bagi orang yang pekerjaannya sehari-hari adalah membaca, menulis, dan mengedit tulisan. Tapi, ah sudahlah, siapa yang peduli aturan kalau nantinya surat ini akan terkumpul dalam laciku hingga usang?
Akhir-akhir ini, Jonathan, aku sering merasa lelah.
Capek. Penat. Letih. Tidak bersemangat.
Menulis, yang dulu kukira bisa menjadi penyembuh segala luka, akhir-akhir ini tampak seperti rutinitas menjemukan yang penuh tuntutan.
Dulu, Nathan, aku pernah berkata padamu bahwa aku suka menulis. Cinta, malah, dan rela menghabiskan seluruh akhir hayatku menulis. Namun usiaku belum sampai kepala 3 (melewati mid-life crisis saja belum), dan kini aku sudah dikepung oleh sesuatu bernama writer's block. Agak sulit menjelaskannya dengan kalimat, tapi intinya, aku kehabisan ide. Tidak bisa menulis, tidak bisa produktif, tidak tahu harus berbuat apa selain bangun-makan-nonton-tidur-bangun lagi.
Tapi anehnya, sekarang aku masih bisa menulis surat untukmu.
Menulis untukmu, entah mengapa, tidak semelelahkan itu.
Mungkin, benar kata Mama. Sesuatu sesulit apapun bila dilakukan dengan tulus dan penuh cinta tidak akan terasa sebagai beban.
Dulu, saat masih duduk di bangku SMA, aku menghabiskan masa mudaku untuk selalu menulis. Aku berpikir bahwa menulis adalah belahan jiwakuーtidak mungkin aku bisa hidup tanpa menulis atau tulisan. Saat jam pelajaran berlangsung aku menulis, saat istirahat aku menulis, bahkan saat kita hang out ke mal dan main basket di Timezone, aku pun masih menyempatkan waktu untuk membuka aplikasi note dalam ponsel dan menulis. Aku menulis apapun: isi hati, puisi, prosa, quotes-quotes cringy ala anak muda. Apapun untuk mengekspresikan diri, kulakukan itu.
Kini, aku rasa diriku di masa muda menuntut balas dendam. Balas dendam untuk setiap jam yang dulu seharusnya bisa kugunakan untuk ngobrol denganmu, main denganmu, menghabiskan waktu denganmu, tapi malah kusia-siakan dengan melakukan hobiku sendiri.
Haha, aku egois, ya.
Sekarang, karma menamparku kuat-kuat. Aku merasa terbeban dengan pekerjaanku. Menulis 1.500 kata setiap hari dan mulai mual, belum lagi kewajiban untuk membuat konten animasi puitis dan inspiratif di media sosial, lalu konsultasi dengan penerbit untuk buku yang rencana terbit bulan depan, revisi naskah, update konten blog, revisi naskah lagi, revisi blog lagi, memikirkan ilustrasi baru untuk buku terbaruku, menulis review buku, dan masih di sela-sela kesibukan itu, aku masih punya waktu untuk menyimpan kekhawatiran mengenai jumlah pembacaku.
Apa nantinya buku ini akan jadi best-seller?
Bagaimana kalau review-nya malah lebih buruk?
Bagaimana kalau pengikutku berkurang?
Bagaimana kalau jumlah views-nya jatuh di bawah rata-rata?
Bagaimana kalau orang-orang kecewa dengan bukuku?
Lucu, ya, Nathan. Bagaimana sesuatu yang awalnya dimulai dari cinta kemudian berubah menjadi kekhawatiran. Ketakutan. Rasa gusar dan gelisah yang membuatku tidak bisa tidur tiap malam dan berakhir menenggak pil-pil agar bisa tidur.
Kalau kamu di sini, kamu pasti marah dan malu padaku. Tidak apa-apa, Nathan, aku juga marah dan malu pada diriku sendiri.
Oh, ngomong-ngomong, aku belum memberitahumu, ya. Aku sudah bekerja menjadi penulis dan pembuat konten tetap. Well, tidak berhubungan dengan jurusan kuliahku, sih―siapa sangka anak lulusan ekonomi malah berakhir menjadi ahli 'imajinator'―apa kata ini betulan ada? Entahlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Confession [Lee Chan - Jeon Wonwoo]
Storie d'amoreSelama ini, aku selalu memendam. Apapun yang aku rasakan, aku memilih untuk diam. Bungkam. Sengap. Tutup mulut dan menerima. Tidak suka? Siapa peduli. Terluka? Tahan saja dan tetap sunggingkan senyum sopan. Bahagia dan ingin tertawa? Tidak, tahan du...