December 27th 2020
REUNI dengan keluarga adalah salah satu tradisi mutlak pada malam Natal.
Tapi, tahun ini berbeda.
Sebab mayoritas sepupuku sudah berumah tangga,
dan aku sudah punya pacar.
Seharusnya tidak aneh, seharusnya semua berjalan dengan damai dan hangat. Hanya acara makan-makan biasa, dikelilingi obrolan hangat di atas meja dan basa-basi sederhana, doa bersama, lalu selesai. Pulang dengan hati kenyang dan senyum lebar.
Namun kenyataannya tidak demikian.
Oh, Nathan. Kenapa saat aku begitu menanti-nantikan (bahkan mempersiapkan diri semanis dan sebaik mungkin) untuk sesuatu, di situlah ekspetasiku langsung patah oleh realitas?
Baiklah, begini kronologinya. Liburan Natal kemarin, aku dan Alex sepakat untuk mengunjungi keluarga kami masing-masing. Berbeda dengan keluarga besar Alex yang hangat dan begitu merangkul kebersamaan tapi masih menghargai privasi individu, keluarga besarku lebih ... kolot. Asing, hobi interogasi, dan suka menilai orang berdasarkan status sosial. Yah, tipe-tipe keluarga Chindo yang ketat (untungnya tidak super ketat), tapi masih memberi pilihan bebas pada anak atau keponakannya walau akhirnya ikut menghakimi pilihan mereka. Aku adalah salah satu korbannya.
Aku sempat mendiskusikan ini dengan Alex sebelum dinner dimulai. Kutekankan bahwa, walau awalnya terlihat baik dan ramah, keluarga besarku (terutama dari pihak Mama) punya lidah tajam dan cukup blak-blakan dalam berbicara. Ia malah tertawa santai, sama sekali nggak termakan omonganku dan malah berkata santai, "Nggak apa-apa, aku cowok bermental baja, kok."
"Iya, sih. Tapi tetap aja bikin makan hati," gerutuku, "nggak bisa, ya, kita di rumah Zuzu aja sampai malam?"ーZuzu adalah panggilanku untuk paman Alex yang paling tua, paling humoris, paling hangat dan paling bijak menurutku. "Atau, dinner kemana gitu? Serius deh, ikut perkumpulan keluarga besar bukannya bikin malam Natal berkah, malah bikin puyeng."
Alex tertawa sembari memutar setir. Sejenak tatapannya mengarah padaku. "Kamu udah berapa tahun skip acara kumpul keluarga?"
Aku mencoba mengingat-ingat. "Dua tahun, mungkin? Tapi terakhir udah ketemu di acara nikahan Margareth kemarin."
"Tapi, nggak sempat ngobrol banyak, 'kan? Semua pada sibuk sendiri," ucap Alex.
Aku mencebik, masih merasa tak rela kita harus pergi.
"Nggak apa-apa, Sora." Alex mendaratkan satu tangannya pada tanganku. "Kamu juga bilang sendiri Giugiu-mu sempat puji kamu di acara nikahan Margareth kemarin. Not so bad, 'kan?" Tapi melihatku yang masih menggigiti bibir gelisah, Alex berkata, "Kita mampir dan makan sebentar, nanti kalau kamu benar-benar nggak nyaman, kita bisa pamit duluan."
Aku menoleh dengan mata berbinar. "Janji?"
Ia mengangguk mantap. "Janji."
Untuk sedetik itu, biar kuberitahu Nathan, aku merasa tenang. Semua akan baik-baik saja, aku punya Alex, aku tidak sendirianーsatu fakta yang sukses mengusir jauh-jauh kekhawatiranku.
Ini hal yang kutemukan dalam diri Alex, persis dengan apa yang kutemukan dalammu dulu. Mungkin, aku wanita yang mudah jatuh cinta pada segala perlakuan manis dan lembut pria (tapi kurasa semua gadis pun akan luluh bila diberi perhatian terus-menerus). Alex memiliki bahasa cinta berupa tindakan pelayanan atau aksi nyata. Ia memang jarang memujiku "cantik" atau kalimat cheesy seperti I love you atau aku sayang kamu, tapi tindakannya selalu mengatakan bahwa ia cinta. Saat kami harus berjalan di tepi jalan setelah tempat parkir restoran kami penuh, Alex sengaja bertukar posisi denganku, membuatku berjalan di dalam sementara dia di luarーberhadapan dengan kendaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Confession [Lee Chan - Jeon Wonwoo]
RomanceSelama ini, aku selalu memendam. Apapun yang aku rasakan, aku memilih untuk diam. Bungkam. Sengap. Tutup mulut dan menerima. Tidak suka? Siapa peduli. Terluka? Tahan saja dan tetap sunggingkan senyum sopan. Bahagia dan ingin tertawa? Tidak, tahan du...