9th letter: my first date

34 3 0
                                    

November 17th 2020

INI mungkin terdengar lucu, tapi Nathan, tebak apa yang kulakukan dengan Alex pada kencan resmi pertama kami sebagai sepasang kekasih.

Tidak, bukan romantic dinner (Alex kolot, mana mungkin dia mempersiapkan makan malam romantis dengan lilin dan orkestra klasik). Bukan juga bookstore date dan aku juga tidak menginginkannya. Alex bukan tipikal pemuda yang suka membaca novel, terakhir ia meminjam buku persiapan UN-ku untuk adiknya yang sedang mempersiapkan ujian. Dan adiknya super perfeksionis, jadi ia mendesak kakaknya untuk mendapat buku latihan soal edisi 5 tahun terakhir.

Bukan juga movie date, karena akhir-akhir ini industri perfilman sedang payah-payahnya.

Aku dan Alex membuat kue. Baking date (apakah istilah ini benar-benar ada atau hanya buatanku saja? Entahlah), untuk adiknya yang sebentar lagi berusia 19. Alex yang super random ini tiba-tiba menyarankan lewat pesan teks, "Mau masak bareng, nggak?"

Aku langsung mengernyit membaca itu. Kubalas, "Nggak salah, nih? Kamu tahu aku nggak bisa masak."

Lagi katanya, "Bukan masak makanan berat, sih. Aku mau buat cupcake untuk ultahnya Karin."

Aku masih menimbang-nimbang jawaban saat pesan selanjutnya masuk, "Sekalian memperluas ide kencan kita. Kencan pertama sebagai pasangan harus spesial, dong!"

Aku jadi tersenyum lebar dan tidak mampu berkata tidak. Weekend kemarin, ia mampir ke rumah. Kami memutuskan untuk jalan sebentar ke minimarket ujung jalan, membeli bahan-bahan umum untuk membuat kue: tepung, cokelat batang, gula halus, ekstra vanilla. Biar kuakui Nathan, walau aku tidak bisa dan tidak suka memasak, aku punya pengetahuan sedikit banyak tentang kue.

Dulu saat masih PDKT dengan Alex, aku membawakannya sekotak cupcake berbagai rasa. Ia memakannya sampai habis (favoritnya rasa matcha dengan toping cokelat batang). Terkadang aku masih suka tertawa sendiri mengingat betapa kekanak-kanakkannya pacarku yang sekarang. Ia kagum hanya dengan melihat putih telur yang di-mixer sampai tidak bisa tumpah walau mangkok sudah dibalik di atas kepala.

Sayangnya, acara baking hari itu berakhir dengan kekacauan (dalam arti positif, menurutku). Alex bermain-main dengan tepung, krim cokelat, mencoleknya dan mengoleskannya pada pipiku. Aku, yang awalnya sedang fokus membuat krim, lantas tak terima dan segera mencari celah untuk balas dendam. Saat aku hendak mencolek dahinya, Alex mengelak dan tidak sengaja menyenggol mangkok isi tepung.

Dan, boom. Semua berantakan. Dapur kotor nggak karuan.

Kami jadi bagai sepasang bocah lugu ketika saling memandang satu sama lain dan Alex berkata, "Maaf ...."

Tak sampai dua detik, tawaku pecah.

Wajah melasnya sangat menggemaskan. Dan benar-benar kocak.

Kami kemudian membereskan kekacauan kami dengan gelak tawa dan saling melempar ejekan. Alex tidak membantu banyak dalam proses pembuatan kue (serius, dia benar-benar payah dalam memasak atau membuat kue), jadi ia berinisiatif untuk mencuci piring dan membuang sampah.

Lalu, tibalah saatnya pada bagian favoritku sepanjang hari: deep talk.

Kamu pasti tahu aku menyukai obrolan topik yang dalam dan menyentuh. Alex, di sisi lain, sebisa mungkin selalu berusaha menghindari itu. Entah karena malu, belum siap, atau memang cringe dengan topik-topik bertema hidup.

Tapi hari ini, ia begitu santai dan terbuka. Saat itu ia yang memulai setelah menyuap sesendok cupcake rasa cokelat. "Aku ngomong gini bukan karena bias, tapi serius, cupcake kamu cupcake terenak yang pernah aku makan."

A Confession [Lee Chan - Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang