1st Diary: assumptions

19 3 0
                                    

March 23rd 2021


BINTANG dua. Lagi.

Enam kali. Sudah enam kali bintang dua menghiasi laman ulasan bukuku yang rilis akhir Februari kemarin. Belum ada tiga bulan, ribuan eksemplar sudah terjual. Para blogger dan book reviewer mengunggah foto kaver lengkap dengan ulasan mereka.

Hanya satu yang tak kusangka.

Buku ini kembali dengan jauh lebih banyak kritikan dibanding karya-karyaku yang lain.

Biar kutulis beberapa yang nyelekit hati:


Nayla wrote: Nggak seperti tulisan kak Clarissa yang biasa. Yang ini tone-nya lebih light, lebih ringan, tapi konfliknya juga lebih dangkal. Karakternya datar, konflik nggak jelas, lengkap dengan ending yang terkesan terburu-buru. I love Clarissa Kim's books, but for this one, it's a no-no for me.


Bahkan, akun jessisreading gak segan-segan memberi satu bintang dan menulis: Her worst book.


Buku terburukku, katanya. Yang realitanya adalah buku terlama yang kugarap karena risetnya.

Tapi sekarang juga mengalungi predikat "Buku Terburuk Clarissa Kim".

Seharian ini, mood nulisku berantakan. Aku punya tiga datelines upload konten YouTube dan Instagram, tapi semua berakhir dengan penjadwalan ulang. Akun Instagram dan Twitter-ku ramai bukan karena komentar positif—memang ada beberapa yang masih dengan baik hati melontarkan pujian untuk karya terbaruku yang (kata mereka) adalah hasil "eksperimen" karena keluar dari zona nyamanku biasanya—tapi sisanya adalah cercaan, hujatan, serta ungkapan kekecewaan.

Dan seolah itu belum cukup buruk, tadi pagi aku dan Alex bertengkar.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, hubungan kami agak renggang seminggu terakhir. Alex dengan kesibukan kerjanya dan aku dengan kesibukan menulisku. Ya, walau pekerjaan Alex sebagai software developer tidak mengharuskan kehadirannya 24/7 di kantor, ia masih punya bisnis online sampingan yang dikerjakan dengan teman-temannya. Bisnis itu blow up dengan cepat, dan kini mereka agak kepayahan mengerjakan orderan.

Aku bangga dan ikut berbahagia untuk keberhasilannya, tapi gara-gara itu kita jadi jarang ketemu. Ah, kalau dipikir-pikir, selama sebulan terakhir, kencan kita bisa dihitung jari.

Jujur, aku kesal. Kesal dengan diriku sendiri, kesal dengan Alex, kesal dengan pekerjaanku. Sudah lama aku tidak menulis diary seperti remaja labil, tapi biarlah di sini aku menumpahkan semuanya. Biar nanti, kalau Alex pura-pura sok cool dan menganggap pertengkaran kita tak pernah ada, aku punya bukti konkrit yang mencatat lengkap kronologi kejadian. Ha! Satu kosong untukku, camkan itu, Alex!

Dimulai dari pagi yang cerah, ketika Alex mampir ke rumahku membawakan sarapan.

Ia tahu aku bukan tipe cewek yang terbiasa makan pagi. Ditambah dengan jadwal yang semakin padat dan kesibukan tiada akhir, makan adalah hal terakhir yang kupedulikan sekarang.

Maka pagi ini sebelum berangkat ke kantor, Alex menyempatkan diri meneleponku, "Ke luar bentar, yuk. Aku di depan, nih, bawain kamu smoothie bowl."

Aku, yang saat itu baru bangun dan masih dalam keadaan acak-acakan, lantas membelalak. "Di depan? Di rumahku maksudnya?"

"Ya masa rumah tetangga." Ia terkekeh geli. "Buruan, ya. Aku tunggu sekarang."

A Confession [Lee Chan - Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang