2nd letter: first we met

58 11 2
                                    

February 9th 2020


SAAT nanti kamu membaca ini (walau tidak mungkin karena ini surat tanpa nama yang tidak akan pernah kukirimkan), kamu pasti berpikir aku pengangguran karena terlalu banyak menulis surat. Tak perlu hiraukan aku dan hobiku, Nathan. Pekerjaanku memang bertumpuk, ditambah datelines dan meeting nyaris setiap hari. Tapi pekerjaanku berputar soal menulis dan membuat konten, jadi anggap saja hari-hari yang kukumpulkan untuk menulis surat merupakan salah satu usahaku untuk menghasilkan karya sekaligus bernostalgia. Seperti mematikan dua burung dalam sekali lempar.

Semalam, aku kembali memimpikanmu

Mimpi yang terasa bagai nostalgia. Bukan dalam wujud dewasa, melainkan bocah. Tepatnya di TK Semesta. Aku sedang duduk sendirian di jungkat-jungkit ketika kamu datang. Jungkat-jungkitnya jadi bergerak miring, kini kamu memimpin sementara tempat dudukku terangkat naik.

"Main jungkat-jungkin nggak bisa sendirian," katamu, menyengir menampilkan deretan gigi depan yang ompong. "Aku boleh duduk sini, 'kan?"

Aku tidak membalas. Rupa-rupanya, dalam mimpiku pun aku adalah seorang anak perempuan kecil yang pemalu dan tidak terlalu suka orang asing. Apalagi, orang asing aneh yang sok akrab dan berpura-pura ramah sepertimu.

Jadi aku langsung turun dari jungkat-jungkit dan pergi.

Adegan berganti. Lucunya, dalam mimpi semua tampak begitu jelas sekaligus buram. Monokrom tapi juga bewarna.

Kini, kita berada di kelas; ruang dengan bangku warna-warni dan tembok penuh poster ejaan dan gambar-gambar binatang. Ada Ms. Amel dan anak-anak TK lain tanpa wajah. Aku tidak mengingat mereka dalam mimpiku (atau mungkin, wajah mereka sengaja tidak dimunculkan dalam mimpiku), sebab fokus utamanya adalah kamu.

Kamulah tokoh utama dalam setiap mimpiku, Nathan.

Kita sedang bermain sambung lagu hari itu. Peraturannya cukup sederhana (karena ini kelas TK, bukan kompetisi menyanyi), Ms. Amel akan menyanyikan satu lagu sebagai pembuka, kemudian menunjuk satu orang untuk menyanyi di depan. Tidak harus sama lagunya, tidak harus dimulai dengan kata terakhir dari lagu sebelumnya seperti "sambung lagu" betulan, asal mau dan berani tampil di depan. Setelah itu, anak tersebut boleh menunjuk temannya untuk maju, begitu seterusnya sampai selesai.

Ms. Amel bernyanyi, lalu beliau menunjukmu.

"Jonathan."

Ah, jadi itu namamu.

Kamu, Nathan, menyanyikan salah satu lagu anak yang tak kuingat apa. Agaknya mimpiku memang menyensor lagu itu karena bukan detil penting.

Adegan pentingnya dimulai dari sini.

Ketika kamu selesai bernyanyi dan harus menunjuk orang lain.

Tak kusangka-sangka, kamu menunjukku. Bukan hanya menunjuk, kamu menyebut namaku keras-keras, "Sora!"

Aku tidak pernah memberi tahu namaku sebelumnya, bagaimana kamu bisa tahu?

Dengan sedikit enggan, aku maju dan bernyanyi. Suaraku lirih dan nadaku bertabrakan (jelas, karena aku gugup setengah mati), lalu aku hendak menunjuk orang lain saat aku sadar bahwa aku tidak mengenal siapa-siapa. Aku tidak punya teman, aku tidak punya kenalan, aku anak pemalu yang diajak ngobrol saja susahnya minta ampun. Wajah dan nama anak-anak di sana tampak asing dalam ingatanku.

Saat aku bingung dan berkeringat (mungkin akan langsung meledak dalam tangisan lima menit berikutnya), kamuーyang saat itu duduk di bangku paling depanーtiba-tiba saja berbisik sambil mengodeku dengan gerakan tangan, "Aku mau, aku mau!"

Aku mengernyit. Apa-apaan ...?

Di saat yang bersamaan, Ms. Amel mulai kehilangan kesabarannya saat berkata, "Tunjuk saja satu temanmu, Sora. Apa sulitnya menyebut nama?" Kemudian tatapan anak-anak lain yang penuh penghakiman membuatku semakin terdesak.

Akhirnya aku menyebut namamu untuk pertama kali, "Jonathan."

"Siapa?" Ms. Amel bertanya.

"Jonathan," ulangku, lebih keras.

Kamu tersenyum, lalu maju dan menyanyikan lagu yang entah apa aku tak tahu. Ms. Amel bilang, tak masalah bila kita menunjuk orang yang samaーsyukurlah, jadi Jonathan bisa kembali maju dan bernyanyi meski tadi sudah pernah maju. Namun ketidakjelasan peraturan malah membuatku masuk dalam jebakanmu.

Karena setelah itu, kamu memilihku lagi.

Aku maju untuk kedua kali. Menyanyi lagu yang sama dengan nada berantakan yang sama. Tapi kali ini, suaraku lebih lantang dan keras.

Bermodal dendam, aku memilihmu lagi.

Kamu maju ke depan dan bernyanyi.

Lalu memilihku lagi.

Begitu seterusnya, sampai Ms. Amel sendiri yang harus menyadarkan kita dengan berkata, "Masa dua orang terus yang maju? Ayo tunjuk yang lain."

Barulah saat giliranmu yang terakhir, kamu menyebut nama anak lainーyang sayangnya tidak kuingat siapa.

Mimpi selesai. Aku terbangun oleh alarm ponsel.

Meski mimpi bisa terbentuk dengan abstrak, aku percaya yang tadi bukanlah sembarang mimpi. Mimpi itu diambil dari realitas, bagian dari salah satu kenangan terindahku tentangmu.

Itulah pertemuan pertama kita, yang kemudian menghantarkan kita pada sebutanmu, Nathan si usil yang pendek dan tengil, juga julukan yang kamu berikan untukku: Sora si cuek dan perfeksionis.

Orang bilang, masa lalu ada sebagai bagian dari pelajaran. Terlalu erat berpegang pada kenangan masa lalu hanya akan menyakiti diri sendiri. Itu benar. Tapi, kamu tahu, kenangan-kenangan seperti ini yang membuatku sulit beranjak dari masa lalu. Meski benci, aku tipikal orang yang berpegang erat pada kenangan, cerita, dan sejarah: pada pertemuan pertama kita, konversasi pertama, kedekatan pertama, yang kemudian memimpin kita pada rangkaian perjalanan magis lain bernama 'persahabatan'. Sebenci-bencinya aku pada kenangan, aku tetap menghargai satu per satu lembar memori dalam hati.

Apa kamu juga melakukan hal yang sama, Nathan?

Akan sangat menyenangkan bila kamu juga memimpikan pertemuan pertama kita. Jadi aku tidak perlu menjadi satu-satunya orang menyedihkan yang terperangkap di kamar subuh-subuh, terbangun pukul empat karena alarm sialan (maaf, ini terakhir kali aku merutuk, janji). Seharusnya aku menyetel pukul delapan pagi, bukannya subuh-subuh saat langit masih gelap begini.

Aku ingin kembali tidur, tapi yang kepalaku putar hanya kenangan tentangmu. Ah ... lebih baik aku segera membuat kopi dan mulai bekerja. Ada beberapa draf yang harus kurevisi dan diserahkan malam nanti, aku tidak mau pekerjaanku terbengkalai hanya karena mimpi. Sampai sini dulu surat kali ini.



ーyang bangun sangat pagi

dan merasa sangat kacau,

Sora. []            

 []            

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
A Confession [Lee Chan - Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang