3rd diary: he came back

27 3 0
                                    

April 22nd 2022

PAGI-PAGI sekali di Sabtu cerah, Papa mengajakku ngobrol di teras rumah.

"Gimana hubunganmu sama Alex?"

Aku mengernyit. Walau tahu papa tidak pintar basa-basi, dicekoki pertanyaan blak-blakan seperti ini masih mengejutkanku. "Ya nggak gimana-gimana," sahutku, setengah menyengir untuk mencairkan suasana, "emang harus gimana?"

Tapi Papa tidak tampak bercanda sedikit pun. "Ya namanya menjalin hubungan, harus ada perkembangan. Sudah ada rencana kapan lamaran?"

Mendengar itu aku tersedak, walau tidak sedang menenggak apa-apa. "Pa! Aku masih awal dua puluh, Alex juga baru lulus tahun ini. Terlalu cepat untuk ngomongin itu."

Ia menghela napas. "Papa tahu." Jemarinya memainkan benang celana yang sudah panjang. Dari gerakannya, aku tahu ia sedang resah. "Justru itu, Alex sudah lulus dan kamu sudah bekerja. Papa nggak mau kalian buang-buang waktu menjalani hubungan yang tidak tentu arahnya kemana, tidak jelas tujuannya apa."

Di satu titik di pagi itu, aku termenung.

Terenyuh.

Aku tidak menyangka Papa memikirkan hal sejauh dan sedalam itu tentangku.

"Bukannya papa berniat memaksa atau ikut campur, tapi papa mau kamu dan dia punya visi yang sama. Karena jalani hubungan tanpa visi yang jelas itu nggak enak, bisa berujung pada kesia-siaan dan sakit hati yang seharusnya nggak perlu. Semua bisa diminimalisir kalau ada kejelasan di awal tentang masa depan hubungan kalian."

Aku masih tercengang di tempat kala tiba-tiba mama mengambil ahli konversasi, "Sudahlah, hubungan-hubungan mereka, kok Papa yang repot."

"Lho, nggak gitu, Ma. Papa ini memberi saran sebagai orang tua. Biar nanti ke depannya nggak susah. Coba bayangkan kalauー"

Setelahnya aku sudah tidak terlalu dengar. Lebih tepatnya, memilih untuk tidak mendengar. Mama memberi kode dengan matanya untuk aku segera menyingkir dari Papaーbarangkali tahu bahwa obrolan ini akan berlanjut jadi debat tak berujung bila kutanggapi serius. Dengan segera, kubawa cangkir berisi kopi panasku dan masuk ke kamar. Papa memanggil, tapi Mama lebih gesit mengalihkan perhatian dengan mengajak belanja ke minimarket.

Aku lega punya Mama yang suportif.

Tapi tak dapat dipungkiri, perkataan Papa jadi bak gong yang terus merhema dalam benak.

Pernikahan, ya.

Bukannya aku tak pernah memikirkan kata itu sedikit pun. Toh, dari dulu, memang itu tujuanku menjalin hubungan. Bukan untuk sekadar senang-senang, bukan sebagai ajang pamer supaya terlihat keren (apa yang keren dengan acarana dengan brondong?), bukan pula untuk sekadar mengikuti tren. Anak muda tanpa pacar, apa kata dunia? Oh, bagiku itu sama sekali tidak penting. Aku menjalin hubungan dengan harapan bisa mengenal Alex lebih dekat, agar kelak, bisa melanjutkan hubungan ini ke tahap yang lebih serius.

Namun, 'tahap yang serius' dalam benakku masih beberapa tahun lagi.

Bukan sekarang.

Bukan bulan ini.

Mungkin juga, bukan dalam tiga tahun ini.

Aku masih punya mimpi dan angan-angan. Aku masih ingin pergi mengeksplor dunia tanpa terbeban status atau komitmen. Aku masih ingin bekerja dan bekerja dan mencari pengalaman.

Lalu kesadaran itu menghantamku kuat-kuat:

Menikah. Mengikat komitmen dengan seseorang. Serumah berdua.

Membesarkan anak.

Kekhawatiran mendadak datang bak ombak tanpa dicegah-cegah, merembes masuk tanpa ampun. Aku menarik napas, mengembuskannya perlahan. Terus kuulangi sampai aku merasa lebih baik. Tak lama, ponselku bergetar. Pesan dari Kei.

Kei

Lg di Sby Barat, ada kerjaan.

Wanna lunch together? Jam 2 di McD Graha yuk

Lg pgn junk food

Aku sudah menyusun rencana penuh untuk fokus mengerjakan tulisanku. Tapi dengan pemikiran barusan, bagaimana bisa aku menolak ajakan makan siang yang terdengar mengasyikkan?

***

Dalam hitungan detik, aku sudah bisa menemukan Kei di antara pengunjung lain. Ia duduk di pojok, tengah mengunyah big mac sambil memainkan ponsel. Senyumku terangkat. "Udah makan duluan aja, nih," sapaku, yang kemudian dibalasnya dengan lambaian tangan.

"Laper banget habis meeting. Nih, ambil." Ia menyodorkan kentang goreng. "Asin, nggak suka."

Dengan senang hati aku menyomot kentang itu. Sedari dulu Kei memang dikenal cerewet soal kentang; tidak suka yang terlalu asin atau hambar, tidak suka yang potongannya terlalu tipis atau tebal, tidak suka yang terlalu pendek atau panjang. Bahkan dulu ada bercandaan bahwa selera Kei memilih kentang lebih ketat ketimbang memilih jodoh.

Kami bertukar cerita soal kesibukan masing-masing, kemudian aku pergi memesan float dan ayam. Di sela-sela makanku, Kei mengucapkan sesuatu yang membuatku nyaris tersedak.

"Aku dan Jeffry udah putus."

Segera kusesap float-ku.

Kei memandangku tanpa merasa bersalah, seolah kalimat barusan adalah gosip acak tentang perjalanan cinta orang lain alih-alih miliknya. Ia menaikkan bahu tak acuh. "Well, turns out kita nggak cocok. Jeffry lebih milih mamanya, sementara aku masih belum siap."

Aku mengerjapkan mata lambat.

"Aku nggak salahin dia, sih. Lagian menurutku, nggak ada yang salah. Emang nggak cocok aja, dia sudah siap, aku nggak. Ya udah dari pada dipaksa dan banyak berantemnya, lebih baik cut off di sini aja."

"Mau pesan burger lagi?"

Awalnya Kei menentang ide itu. Tapi setelah beberapa menit, ia pergi ke kasir dan memesan lagi.

Patah hati datang dalam berbagai wujud. Tidak selalu melalui air mata, kurasa. Kami makan dalam hening selama setengah jam yang nyaris terasa bagai selamanya. Kei sibuk mengunyah, sementara aku sibuk memikirkan kalimat penghiburan apa yang cocok baginya. Andai kami masih SMA, mudah untuk mengatakan basa-basi seperti, "Sabar, ya. Masih ada banyak cowok di dunia ini, kamu akan mendapat yang lebih baik". Tapi, kamu tidak bisa mengatakan itu pada sahabatmu yang baru putus dengan kekasihnya setelah menjalin hubungan bertahun-tahun.

Kei mencintai Jeffry, aku tahu itu.

Dari caranya menatap Jeffry, menceritakannya, dari tatapan matanya tiap Jeffry datang, semua sudah sangat jelas. Namun, kesiapan adalah keputusan tiap pribadi, bukan?

Saat kami hendak pulang, aku memberanikan diri berkata, "Keputusanmu sudah benar."

Kei sempat menatapku dengan kernyitan. Setengah kikuk aku melanjutkan, "Maksudku, memang tidak mudah patah hati dan sebagainya. Tapi setidaknya, kamu bisa berdiri untuk dirimu sendiri. Kamu tidak melakukan sesuatu hanya karena tuntutan orang. Karena menikah adalah keputusan besar."

Kei mengukir senyum. "Menikah adalah keputusan besar," ulangnya. "Thanks, tapi aku baik-baik saja. Lain kali main ke daerah Timur ya, ada restoran all you can eat enak di sana. Kamu harus traktir aku dan cerita soal date-mu dengan Alex. Duh, rasanya sudah lama sejak terakhir kita girl's date begini."

Aku tertawa. Kami berjalan menuju parkiran berdua saat tiba-tiba Kei menyentak tanganku. "Oh, aku baru ingat, Ra."

Apa?

"Aku rasa seharusnya peringatan tadi kuberikan padamu."

Peringatan, ia bilang.

"Nathan sudah pulang ke Surabaya. Dia ajak aku reunian."

Oh?

"Dan dia pengin kamu ikut." 

Aku nggak tahu gelenyar apa, tapi seharusnya itu tidak membuatku terkejut. []          

A Confession [Lee Chan - Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang