2nd diary: weight of expectations

28 3 0
                                    

April 13th 2022

SEPERTINYA aku mulai ketagihan nulis diary.

Beda dengan cerita pada orang yang harus diberi "batas", di sini aku bisa menumpahkan isi hatiku dengan leluasa, semua detil dengan bebas tanpa takut akan penghakiman orang.

Hari ini, Kei mengajakku meet up di salah satu restoran all you can eat terkenal di Surabaya Timur. Kebetulan, aku sedang ada kunjungan meet up dengan penulis lain pagi iniーdi daerah timur juga, jadi siangnya kusempatkan untuk mampir ke restoran yang Kei sebut.

Banyak hal berubah sejak terakhir aku bertemu Kei. Kini rambutnya sudah dicat peek a boo lavender, lengkap dengan irisan poni tipis ala-ala Korea. Gaya riasannya pun lebih berani, dengan warna mencolok dan glitter yang menyala di sudut mata. Ia tampak manis dengan blouse warna ungu muda serta rok putih miniーhal yang sedikit mengejutkan sebab dari kami berempat dulu, Kei yang paling anti dengan rok mini.

Kami sempat berpelukan, memekik tertahan karena sudah bertahun-tahun tak berjumpa, basa-basi lalu bercerita tentang kabar dan kesibukan masing-masing. Kei sudah pindah kerja di salah satu pabrik makanan dan minuman terkenal di daerah Timur, jadi ia lebih sering nongkrong di PCM alih-alih PTC sepertiku dulu.

"Ya gitu-gitu aja, nggak ada yang berubah banyak. Jeffry dan aku masih sama-sama mau fokus meniti karir dulu," begitu jawabnya saat aku menanyakan kabar hubungannya dengan Jeffry.

Mereka pacaran sejak lulus kuliah, kenal karena dicomblangkan teman. Kalau tidak salah teman Kei hendak pergi kencan sepulang kelas. Karena tidak enak harus meninggalkan Kei sendirian di kampus, ia pun mengajak Kei ikut. Lalu entah keajaiban macam apa, ternyata pacar teman Kei juga membawa temanーya Si Jeffry itu. Ketika Kei menceritakan hal ini padaku, aku hanya tertawa geli dan berkata, "Pertemuan yang udah direncanakan itu! Temanmu emang sengaja mau jodohin kalian kali", yang langsung disambut dengan anggukkan setuju. Kei bukan tipe perempuan melankolis yang percaya tentang takdir dan cintaーia juga tidak masalah dengan perjodohan atau mak comblang. Toh mereka berdua akhirnya "klik" dan jadian.

"Kalau kamu sendiri gimana? Masih sama berondong itu? Siapa namanya, aku lupa."

Aku memutar bola mata, tapi menampilkan senyum kecil. "Alex," sahutku.

"Ohhh iya iya." Kei bergerak cepat membolak-balikkan daging panggangan kami. Ini satu hal yang aku notis darinya di pertemuan tadi: ia juga jadi lebih tanggap dan cekatan. "Gimana? Udah tahu kapan mau nikah?"

"Belum," jawabku, tidak lagi kaget dengan pertanyaan blak-blakan Kei. "Alex baru diterima kerja dan sibuk banget, aku juga ada proyek baru, jadi ya ..."

Kei mengangguk-angguk mengerti. "Tapi mama papa gimana? Setuju-setuju aja?"

"Maksudnya?"

"Ya, 'kan biasanya orang tua agak sensitif soal usia nikah, apalagi anak perempuan." Ia menyuap dagingnya dengan dengkusan pelan. "Kalau orangtua kamu nggak masalah ya bagus."

Saat itu baru kuendus ada yang salah.

"Orangtuamu ngebet kamu cepat nikah?"

Dan saat itulah ekspresinya berubah. Seolah senyum dan keceriaan yang tadi ia tampilkan hanyalah topeng wajah. Kei mendesah, wajahnya tampak lelah. "Ya gitu, deh. Orangtuaku, sih, nggak masalah, tapi mama papa Jeffry udah mulai desak dia untuk cepetan nikah. Ya kamu tahu sendiri Jeffry udah di awal tiga puluh, udah 'waktunya'."

Kei menyuap seiris daging lagi, memberi jeda untuk kami makan dalam diam. "Kita sempat ngomongin ini berdua. Jeffry setuju sama mamanya, dia pikir usia dia juga sudah matang untuk berkeluarga."

Air mukanya berubah. "Tapi masalahnya di aku, Ra." Ia tersenyum tipis. "Aku masih belum siap."

Keheningan mulai merayap.

Kei memainkan sendoknya. "Menikah itu soal tanggung jawab. Setelah nikah, orang-orang pasti expect untuk punya anak. Besarin anak juga tanggung jawabnya besar. Kita bukan cuma ganti 'status' jadi orangtua, tapi kita juga mendidik seorang anakーsatu jiwa, satu nyawa, nggak bisa sembarangan. Aku ceritain semua ke Jeffry dan dia ngerti. Cuman ya ... gitu. Dia harus hadapin mamanya, jadi kita milih untuk nggak ketemu dulu."

Kei menggelengkan kepala seolah itu bukan masalah besar, tapi dari ekspresinya aku tahu ini sama sekali bukan "bukan masalah besar". Mereka sudah berkencan bertahun-tahun, jadi tentu menghadapi restu dan perbedaan pendapat adalah masalah yang "cukup besar".

Setelahnya Kei mengalihkan pembicaraan pada koleksi dessert di menu. Ia memesan es krim dan dua cupcake warna pastel untuk kita makan bersama. Kei kembali ke dirinya yang semula; yang riang, hangat, dan banyak bicara. Ia banyak melempar lelucon dan berbagai macam komentar tentang rasa makanan dan dekorasi restoran, tapi pikiranku masih stuck di konversasi kami tadi.

Aku merenungkan ucapannya setelah pulang. Menikah adalah soal tanggung jawab. Benar. Membesarkan anak pun adalah tanggung jawab.

Lucu sekali, karena kemarin aku baru saja bertemu Selin di mal dan dia tampak bahagia dengan keluarga kecilnya. Oh, aku belum cerita, ya. Selin adalah salah satu teman SMP-ku yang ternyata kini bekerja di penerbit yang sama dengan penerbit bukuku. Ia sudah menikah akhir tahun laluーpernikahan yang sederhana di gereja dengan mengundang keluarga dan orang terdekat. Entah bagaimana, ia berhasil mengatasi seluruh ketakutannya tentang komitmen dan pernikahan. Malah, ia tampak lebih bahagia.

Kemarin, secara tidak sengaja aku bertemu Selin dan suaminya di food court mal. Kami mengobrol dan baru kutahu Selin tengah megandung. Sudah tiga bulan. Waktu berlalu sangat cepat. Walau perutnya sedikit buncit, Selin, anehnya, terlihat segar dan berseri-seri.

Di satu sisi aku bertemu teman yang sudah menikah dan bahagia dengan pernikahan kecilnya, di sisi lain aku bertemu teman yang belum siap memulai keluarga.

Aku menceritakan hal ini pada Alex malamnya.

"Ya menurut aku sah-sah aja, sih," respon Alex melalui telepon. Terdengar suara menguap dan baru kusadari jam sudah pukul satu pagi. "Menikah itu harus siap mental dan emosional, kalau dipaksa malah jadi beban. Untuk apa?"

"Apalagi kalau punya anak," imbuhku setuju. "Tanggung jawabnya pasti makin besar, kalau dipaksa malah jadi tertekan dan nggak maksimal, akhirnya imbasnya juga ke si anak."

"Yap."

Kami kemudian mengakhiri telepon itu karena besok Alex masih harus pergi ke kantor pagi-pagi. Aku juga harus melanjutkan pekerjaanku. Pukul dua pagi saat aku menulis diary ini. Pukul dua pagi dan aku masih belum bisa mengenyahkan memori tadi dari benak. Semakin dewasa, semakin banyak tanggung jawab yang dibebankan. Itu hal yang lumrah, tapi soal ekspetasi orang ... bukankah seharusnya kita sendiri yang menentukan kapan waktu terbaik untuk diri kita sendiri?

Karena bagaimanapun, kelak hidup adalah pertangungjawaban masing-masing insan. Hidup bukanlah episode dalam video game yang bisa diulang ketika ada kesalahan. Kelak setelah menikah dan punya anak, siap-tak siap, mau-tak mau, ia akan menjadi orangtua. Orangtua macam apa ia kelak tergantung kesiapannya. Dan orang lain tidak bisa berbuat apa-apa tentang itu. Tidak sedikit pun. []

A Confession [Lee Chan - Jeon Wonwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang