April, 13th 2020
TAPI, kamu tidak usah khawatir.
Hubunganku dengan Selin sekarang baik-baik saja, bahkan jauh lebih baik dibanding SMA dulu. Kalau dipikir-pikir, lucu ya, bagaimana dulu kami menjadi kompetitif dan saling sikut (Selin dulu yang mulai) untuk 'memperebutkan'-mu, sekarang malah sama sekali tidak menggenggam sekeping informasi apapun tentangmu. Setelah kelulusan, semua berakhir begitu saja.
Aku bertemu dengannya, Selin maksudku, pekan lalu saat sedang mempersiapkan tur tanda tangan untuk buku terbaruku. Judulnya, Pieces of Love. Bercerita tentang muda-mudi yang jatuh cinta namun harus terpisah karena punya mimpi berbeda. Klise, aku tahu. Tapi banyak orang menyukainya. Dalam tujuh hari, telah terjual lima ribu eksemplar. Dan kini penerbitku berniat untuk meluncurkan versi hard cover spesial sekaligus rencana tur tanda tangan.
Selin adalah salah satu panitianya.
Mengejutkan? Sangat.
Dari semua orang yang kukenal, kenapa harus dia?
Aku tidak tahu Selin tertarik dengan dunia sastra. Walau memang, ia tidak langsung terjun dalam dunia 'sastra'. Ia bekerja di divisi marketing dalam penerbit yang kebetulan adalah penerbitku. Kami bertemu di salah satu cabang kantor penerbit, saat aku ada jadwal tanda tangan versi hardcover bukuku yang akan diluncurkan.
Kami berpas-pasan di toilet wanita lantai dasar. Aku tengah sibuk merapikan make up mata saat tiba-tiba mendengar sapaan, "Sora?"
Refleks, aku berbalik.
Berhadapan dengan seorang wanita bertubuh kecil, pinggang ramping, rambut coklat brunette dengan poni tipis-tipis. Hanya dengan menatap matanya, aku langsung teringat seseorang.
"Se-lin?"
"Bener Sora? Sora Natali SMA Pelangi Kasih? Heiii!" Ia menyapaku antusias, senyumnya melebar tatkala kedua tangannya menarikku dalam pelukan. "Ya ampun, random banget ketemu di sini. Gimana kabarmu?"
Aku, yang masih tertegun akibat pelukan dadakan tadi, langsung buru-buru menetralkan ekspresi. Butuh beberapa detik untuk aku mencerna semua informasi: oke, perempuan cantik yang kutemui di toilet ini ternyata adalah Selin, siswa yang dulu pernah menyikutku dengan sengaja di kantin, siswa yang dulu pernah mengirimku belasan DM dari akun anonim untuk menanyakan hubunganku dengan Nathan, siswa yang dulu saat LDKS SMA, pernah secara nekad dan blak-blakan menyatakan perasaannya pada Nathan.
Bagai mendapat tepukan di bahu, aku langsung terperanjat. Kulebarkan senyum saat kembali menatap lawan bicara. "Baik. Kamu sendiri?"
"Seperti yang kamu lihat," jawabnya, mengendikkan bahu. "Agak stres tapi overall oke."
Aku mengangguk-angguk, hanya sebagai kesopanan alih-alih setuju.
Menurutku, Selin tidak terlihat stres atau lelah. Malah, ia terlihat luar biasa memesona. Penampilannya berubah drastis dari yang terakhir kuingat di SMA. Kini, ia tampak lebih dewasa, elegan, dan ...
... bahagia.
"Kamu ke sini sama siapa? Teman? Pacar?"
Aku menggeleng sopan. "Sendirian."
"Oh." Ia mengernyit. "Jalan-jalan? Atau ..."
"Kerja," kataku.
"Kerja???" Selin sontak memelotot. "Eh, aku juga kerja di sini! Kok kita baru pertama ketemu? Padahal aku belum ada lima bulan, lho. Mana name tag-mu?" Ia menunjukkan name tag-nya dengan wajah terheran-heran. "Kamu anak intern? Atau, baru keterima?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Confession [Lee Chan - Jeon Wonwoo]
RomanceSelama ini, aku selalu memendam. Apapun yang aku rasakan, aku memilih untuk diam. Bungkam. Sengap. Tutup mulut dan menerima. Tidak suka? Siapa peduli. Terluka? Tahan saja dan tetap sunggingkan senyum sopan. Bahagia dan ingin tertawa? Tidak, tahan du...