October 5th 2020
BIAR kuberitahu lebih banyak tentang Alex.
Nama lengkapnya Alexander Kristoff, biasa dipanggil Kris. Hanya, karena hari itu aku masih dianggap sebagai "orang asing", maka ia memberiku nama depannya saja, Alexーyang selanjutnya menjadi panggilan spesialku padanya, karena hanya aku satu-satunya orang terdekat yang memanggilnya dengan nama depan. Selama tiga bulan saling mengenal, aku menilai Alex sebagai pemuda yang irit bicara, dingin, dan tertutup. Tapi berbeda dengan kamu, Nathan, yang memang lebih suka merahasiakan segala sesuatu (sok misterius), Alex tertutup karena memang baginya membicarakan topik personal itu tidak perlu.
Sudah lebih dari delapan minggu kami dekat, tapi masih tak kunjung ada kejelasan akan hubungan kami ke depannya. Seringkali, kami hanya bertukar pesan sampai tengah malam―membicarakan apa saja, mulai dari kucing kompleks yang sedang mengandung sampai masalah kesehatan mental kaum milenial―kemudian pergi bersama untuk "kencan" pada akhir pekan (kuberi tanda kutip, karena baik aku dan Alex tidak pernah benar-benar menyebutnya kencan).
Tempat favorit kami adalah bioskop. Sangat old school, bukan? "Kencan" di bioskop, nonton berdua, tapi ya sudahlah. Alex dan aku sama-sama tidak gaul soal "ide-ide kencan unik", lagipula kami juga belum mencapai level pacaran. Jadi aku rasa, ini porsi yang pas.
Sesuai penampilannya, Alex adalah pribadi yang kaku, rajin, bertanggung jawab, tapi masih mudah terpengaruh ucapan orang.
Contoh, saat ia meminta saran padaku soal outfit untuk datang ke acara jumpa spesial untuk merayakan cetak ulang kelima bukuku (soal ini akan kujelaskan pada surat-surat selanjutnya, aku berjanji), dengan lugu Alex bertanya, "Pakai kemeja boleh?"
"Nggak! Harus jas formal!" jawabku setengah sarkas. "Ya bolehlah! Memang siapa yang mau melarang? Kemeja boleh, kaosan juga boleh, senyamannya kamu aja."
"Kalau yang lain pada rapi gimana?"
"Memang pakai kaos nggak bisa rapi?"
"Bukan gitu maksudku." Ia menghela napas sembari menyugar surai, gerakan khas saat sedang bingung atau gelisah. "Aku nggak mau jadi pusat perhatian gara-gara terlalu mencolok." Kemudian jeda cukup lama, Alex memainkan bibirnya sebentar. Suaranya jauh lebih pelan saat melanjutkan, "Tapi aku juga nggak mau tampil terlalu biasa di acara istimewa kamu."
Aku langsung merasa tersentuh. Sungguh, aku tidak tahu bocah 2 tahun lebih muda ini ternyata punya perasaan romantis juga. Padahal selama kita PDKT, Alex itu tipe cowok kaku yang bahkan diajak foto saja sulitnya minta ampun.
Oh ya, perkara umur. Terkaanku benar, Alex adalah mahasiswa angkatan 2019. Tahun ini ia berusia 21 tahun, tengah disibukkan dengan skripsi dan pekerjaan freelancer sebagai seorang web developer.
"Nggak apa-apa, Gantenggg," kataku gemas, mengacak-acak surainya. Ia mencebik sebal. Tapi aku tertawa karena ekspresinya saat kesal menggemaskan. "Kamu pakai apa aja tetap cakep di mataku, kok."
"Bohong."
"Lho, beneran!"
"Termasuk pakai singlet dan kolor?"
Aku tergelak, mengangguk mantap. "Ayo kapan-kapan berenang. Kamu pakai singlet dan kolor, aku jamin memori HP-ku bakal penuh sama foto-fotomu."
Ia tersenyum, mengacak-acak rambutku. "Dasar aneh."
Aku meninju ringan lengannya sebagai balasan. "Yang penting kamu suka."
Untuk itu, ia tidak membantah. Hanya tersenyum malu-malu hingga pipinya memerah. Esok harinya, Alex datang dengan setelan formal kemeja putih panjang yang lengannya digulung sesiku dan celana kain hitam. Ia membawa sekuntum mawar merah dengan tagline, "Congratulations"―sangat sangat old school. Rambutnya yang biasa dikedepankan kini disisir ke atas. Demi semesta, Alex terlihat dua kali lipat lebih tampan dari biasanya.
Namun, itu tidak membuatku senang.
Karena aku tahu, Alex benci kemeja roll sleeve.
Jadi setelah acara tanda tangan selesai, aku menghampirinya di kafe mall dan bertanya, "Kenapa nggak pakai kemeja biasa aja? Katanya nggak suka lengan panjang."
"Tapi kata Justin bagus. Katanya kelihatan rapi dan ganteng," jawabnya, memain-mainkan sedotan. "Lagipula ini kemeja mahal, bukan yang biasa aku beli waktu diskon. Jadi harusnya kainnya lebih nyaman."
Aku hanya bisa mengangkat alis. Jelas aku tahu ia berbohong.
Akhirnya ia mengaku, "Iya, iya. Sama sekali nggak nyaman."
Awalnya aku kesal, tapi setelah kupikir-pikir, sifatnya masih dapat dimaklumi. Dua puluh tahun, usia-usia mudah diombang-ambingkan arus. Jadi alih-alih mengomel, aku beralih memesan es cokelat. Hari itu kami minum dalam diam. Bahkan sampai Alex mengantarku ke rumah pun, kami tetap tak berbicara sepatah kata pun.
Dengar, aku tidak marah karena ia lebih memilih mendengarkan Justin dariku. Sama sekali tidak. Aku mengerti betapa penting persahabatan antarpria dan aku menghargai itu. Tapi yang membuatku tidak mengerti adalah sikap Alex yang begitu mudah diombang-ambingkan arus perkara "cewek". Semua tentangku harus meminta pendapat orang lain. Ini bukan sekali dua kali, Nathan, tapi sudah berkali-kali sejak PDKT dan selalu kutahan-tahan.
Dulu aku pernah melempar candaan dan kode halus kenapa ia tak kunjung meresmikan hubungan kita. Kamu tahu jawabannya?
"Orang-orang bilang, lebih baik PDKT setahun sebelum beneran pacaran. Setidaknya kalau nggak cocok, rasa sakit hatinya nggak berlebihan."
Aku yang saat itu sudah terlanjur kesal lantas membalas, "Terus, kalau aku keburu ditembak orang?"
"Ya itu berarti, kamu memang nggak ditakdirkan untukku."
"Kata siapa lagi itu? Justin?"
"Kata internet."
Basi.
Aku ingat aku mogok bicara tiga hari dengannya. Alex harus kerumahku setiap malam sambil membawakan beberapa porsi Terang Bulan supaya aku berhenti marah.
Tidak, bukan berarti aku tidak bisa sabar. Kalau saja Alex berterus terang ingin membawa hubungan ini pelan-pelan, aku pun tidak keberatan. Toh, masa pengenalan sekaligus pendekatan kami tak lebih dari tiga bulan, jadi aku rasa permintaannya untuk mengenal lebih dalam sebelum jadian adalah permintaan masuk akal.
Yang membuatku kesal adalah, fakta bahwa Alex sangat pengecut. Ia terlalu takut oleh penghakiman orang tanpa percaya instingnya sendiri. Ia lebih percaya pendapat orang dibanding pendapatnya sendiri.
Sikapnya yang seperti ini, Nathan, mengingatkanku padamu. Kamu dulu juga seplin-plan itu. Masih ingat masa-masa SMP saat kamu begitu gencar mendekati Jennet tapi malah berakhir ghosting? Yah, entah apa yang membuatmu ragu. Padahal, kukira kamu sudah jatuh cinta padanya setengah mati, bahkan membelikannya sekotak cokelat untuk hari Valentine. Tapi, malah mundur di masa-masa klimaks.
Aku tidak tahu alasanmu, sampai sekarang pun kamu tak pernah memberitahu. Tapi yang kudengar dari rumor, kamu tidak mau bertengkar dengan Dodo karena ternyata, ia juga memiliki perasaan khusus bagi Jennet. Entah apa yang membuatmu ragu, karena Jennet sudah jelas menyukaimu. Tapi kamu malah memilih untuk mundur. Sikap yang entah harus kukategorikan sebagai plin-plan, tidak tegas, atau penuh pertimbangan. Entahlah.
Selain dari itu, Alex tidak ada mirip-miripnya denganmu. Mungkin ini mengapa selama PDKT dengan Alex, aku sudah cukup jarang menulismu surat. Surat ini saja kutulis karena aku sedang bertengkar lagi dengan Alex. Padahal besok ia akan mengantarku ke pusat perbelanjaan untuk membeli baju. Aku butuh dress baru untuk pergi ke pernikahan sepupuku (iya, sepupu yang dulu pernah kuceritakan pernah mendapat puluhan juta karena bergabung dalam agen asuransi).
Baru pertama kali aku belanja baju dengan Alex. Biasanya, aku lebih suka belanja sendiri. Tapi kemarin Alex menawarkan, jadi apa salahnya, bukan? Semoga ini bisa menjadi pertanda bahwa ada jalan baru untuk aku dan Alex.
Itupun, kalau kami benar-benar "ditakdirkan" bersama―seperti kata Alex tadi.
―yang sedang sibuk setengah mati,
barangkali akan lebih jarang menuliskanmu surat,
Sora. []
KAMU SEDANG MEMBACA
A Confession [Lee Chan - Jeon Wonwoo]
RomanceSelama ini, aku selalu memendam. Apapun yang aku rasakan, aku memilih untuk diam. Bungkam. Sengap. Tutup mulut dan menerima. Tidak suka? Siapa peduli. Terluka? Tahan saja dan tetap sunggingkan senyum sopan. Bahagia dan ingin tertawa? Tidak, tahan du...