Happy reading
***
Insiden hilangnya lukisan Renjun, masih berlanjut sampai pagi ini. Renjun terus menghardik siapapun yang bertanya padanya, mau di rumah, ataupun di sekolah, mau saudaranya yang bertanya, ataupun teman-temannya.
Renjun, sedang dalam mode sensian. Sudah dua hari, tidak ada tanda-tanda datangnya lukisan Renjun, bahkan Jeno sudah berulang kali mengecek rumah Chenle dan Jisung, tidak ada apapun disana. Jeno jadi ikut-ikutan riweuh, kawan.
Seperti pagi hari ini, keluarga bermarga Choi itu, terlihat sudah memenuhi meja makan. Ada Bunda yang sedang mengambil beberapa makanan dari dapur, ada Ayah yang sedang membaca koran, ada si bungsu yang tengah mengaduk susu nya tidak niat. Ada juga dua anak kembar yang sama-sama diam, Mark dengan ponselnya, Renjun dengan wajah biasanya.
Ah iya, masih ada Nenek disini. Wanita tua itu sedang membantu Bunda memasak di dapur.
Menghela napas jengah, Renjun berdiri. Sehingga decitan kursi terdengar oleh semua. Renjun buru-buru mengambil tas nya, berlalu begitu saja meninggalkan Mark yang misuh-misuh.
"Njun, sarapan dulu! Ujian masih berlanjut, nanti otakmu tidak bisa bekerja!" teriak Ayah dari ruang makan. Sedangkan sang empu masih berjalan dengan santai menuju keluar rumah.
"Ck, anak itu. Anak siapa sih," gerutu Ayah, pada akhirnya pria itu ikut menyusul Renjun, diikuti Mark dibelakang.
"Anak konda, anak Ayah lah!" balas Mark pelan.
Sisa Jeno sendiri. Lalu tak lama setelahnya, Bunda kembali kesana, melihat meja makan yang tiba-tiba kosong, langsung saja melempar banyak pertanyaan.
Jeno menceritakan kronologi dengan rinci, dari awal sampai akhir, Bunda mengangguk-angguk sambil menyodorkan piring yang sudah berisikan makanan kepada Jeno.
"Bang Njun jadi emosian, Bund," lanjut Jeno.
Baru saja Bunda kembali ingin bersuara, Nenek lebih dulu datang. Duduk disebelah Jeno, sebelumnya wanita itu celingak-celinguk melihat keadaan.
Dari kemarin, wanita tua itu dibuat bingung dengan salah satu cucu nya yang sedang tidak baik. Saat bertanya pada Bunda, katanya Renjun kehilangan lukisan.
Tentu saja, yang menjadi heran bagi si Nenek adalah, itu hanya lukisan, Renjun bisa membuatnya ulang bukan? Ah, tetapi hal itu tidak berlaku untuk semua keluarga, apalagi Renjun.
"Memang, lukisan apa yang hilang? Kenapa kalian ini ribut sekali dari kemarin. Renjun bisa membuatnya ulang bukan?"
Jeno hampir saja tersedak mendengarnya, Bunda sedang mewanti-wanti Jeno, agar mulutnya tidak licin. Dan berakhir rahasia mereka diketahui Nenek.
Di depan teras, ada Ayah yang seperti sedang membujuk anak kecil untuk makan.
"Nanti Ayah cari, kamu jangan--"
"Eeeh, Mark. Kembaranmu kenapa itu?!" panik Ayah, seumur-umur ia baru melihat Renjun seperti itu. Atau bahkan, ia mengenal Renjun dengan sosok yang tegas dan jika berbicara tajam sekali. Plus galak juga.
"Tuh, Ayah sih ceramahin Renjun dari tadi. Dia tuh lagi sedih Ayah, ih. Tanggung jawab!"
"Huwaa, AYAH ENGGAK MAU TAHU, HARUS KETEMU!" teriak Renjun, hidungnya lebih merah dari pada tadi. Ini nih, Ayah jadi makin pusing saja. Enggak ada Jeno yang merengek minta dibelikan hewan, ada Renjun yang merengek meminta lukisan.
Katakan saja Renjun seperti anak kecil, jika Jeno melihatnya, pasti Renjun diejek habis-habisan. Namun, sepertinya tidak berlaku untuk sekarang. Renjun masih menjauhi Jeno, ia berpikir. Mungkin, jika saja anak itu tidak membawa siapapun ke kamar nya, ini tidak akan terjadi.
Walau, Renjun sudah diberi tahu. Bahwa bukan kedua teman Jeno yang mengambil, tetap saja Renjun kesal, marah, Renjun bete enggak mau tahu.
***
Kelas yang tadinya hening dan tenang, mulai ricuh. Kelas yang di huni Mark dan Renjun berubah menjadi tempat perdebatan antara Jaemin dan Renjun.
Kedua pemuda itu memperdebatkan sesuatu yang sebenarnya tak perlu di permasalahkan.
"Seragam gue udah kotor! Tanggung jawab lo!" teriak Renjun untuk ke sekian kalinya.
Jaemin yang sekarang menjadi lawan perdebatan Renjun, mulai terbawa emosi. Kakinya maju selangkah lebih dekat, "gak usah teriak gitu terus lah, gue gak sengaja. Lagian bukannya lo punya seragam lain di loker?!" pekik Jaemin seraya menunjuk Renjun.
Kedua bola mata Renjun membulat, tangannya mengepal hendak melayangkan pukulan pada sahabatnya. "Salah ya tetap salah! Lo gampang banget ngomongnya!" balas Renjun kesal.
Mark menghela napas jengah. Pemuda yang sedari tadi menonton pertunjukan gratis di kelasnya mulai berdiri dari duduknya, "udahlah. Masalah kopi tumpah aja sampek ribut gini. Jaemin udah minta maaf, Njun. Lagian bener, ada seragam cadangan di loker, 'kan?" tanya Mark.
Renjun melirik Mark tajam. Dengan perasaan marah, pemuda itu berjalan tergesa-gesa keluar kelas. Tak memperdulikan teriakan Mark dan panggilan dari Jaemin.
Siswa yang tadinya diam mendengarkan perdebatan keduanya pun mulai sibuk dengan bukunya masing-masing. Karena ujian hari ini masih berlanjut. Nilai rendah akan menjadi ancaman jika mereka tak belajar dengan sungguh-sungguh.
Sejujurnya semuanya berawal dari Jaemin yang datang ke kelas Renjun sambil membawa minuman rasa kopi kesukaannya. Jaemin hampir mati kebosanan jika dia terus berada di dalam kelasnya sendiri. Namun saat dia datang, Jaemin tak sengaja tersandung lalu menumpahkan isi botol dengan keadaan tutup yang terbuka ke arah Renjun yang tengah duduk di kursinya.
Renjun pun yang biasanya lebih sering memafkan sekarang justru berbeda. Pemuda itu berteriak marah pada Jaemin.
"Adek lo kenapa sih, Mark? Sensian, padahal gue gak sengaja tuh," celetuk Jaemin.
"Renjun memang lagi sensian, jadi jangan diganggu."
***
"Gue capek-capek ngebabu dia malah numpahin kopi ke sini? Ngajak ribut emang," gerutu Renjun. Sejak sang Bunda memutuskan untuk mengurangi pekerja di rumah atas perintah Neneknya, Renjun berubah menjadi anak yang semakin mandiri. Setiap dua hari sekali, Renjun akan mencuci seragamnya sendiri. Bahkan sekarang Renjun tak akan bisa bermalas-malasan di dalam kamar karena Nenek sering menyuruh Renjun untuk menyapu dan berkebun.
Melelahkan memang.
Pasal Jaemin, sebenarnya Renjun tak terlalu kesal pada Jaemin. Namun entah mengapa pagi ini pemuda bernama Renjun itu ingin sekali berteriak pada seseorang.
Renjun merapikan seragamnya yang sudah dia ganti, lalu memandangi wajahnya di cermin yang ada di kamar mandi.
"Lo di mana sih, Chan?" gumam Renjun.
Cukup lama Renjun terus memandangi cermin sambil bergumam.
Sampai bel masuk berbunyi, Renjun menghela napas berat dan meninggalkan kamar mandi seraya menenteng plastik berisi seragam kotornya.
Renjun berani bersumpah, hari ini dia taka akan bisa fokus mengikuti ujian. Atau bahkan untuk beberapa hari kedepan, sebelum Haechan ditemukan.
***
"Nenek waktu itu bukannya masuk kamar Bang Njun? Aku pas sama temen masih ada kok lukisannya," ucap Jeno.
Nenek yang merasa dituduh cucunya mengerutkan dahinya. "Nenek cuma ambil album. Nenek gak ambil lukisan, bahkan mata nenek gak fokus lihat lukisan yang banyak di kamar Renjun," jelas Nenek tak ingin lagi dituduh.
Jeno memincingkan matanya. "Bohong," gumam Jeno.
Nenek menghela napasnya lelah, dia ikut kesal dengan Jeno dan bingung akan menjelaskan bagaimana lagi bahwa dia memang benar tak mengambil.
"Terserah Jeno," ucap Nenek mengalah pada akhirnya.
Ayah dan Bunda yang hanya menyimak ikut menghela napas. Jika Jeno yang merengek mudah saja menurutinya. Namun jika Renjun, sekalinya merengek, untuk mengabulkannya pun susah. Ada saja masalah yang membuat rengekan Renjun tak terpenuhi.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/309201789-288-k363411.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic Boy✔️
FanfictionHari itu di dalam kamar saat malam bulan langka, Renjun melukis sosok yang tiba-tiba terlintas di benaknya untuk sekedar membunuh rasa bosan. Renjun melukisnya dengan penuh ketelitian. Akan tetapi bagaimana jadinya ketika Renjun belum selesai meluk...