Happy reading
***
Tentang kehilangan yang berakhir mengiklaskan. Bukan 'kah, setiap pertemuan selalu ada perpisahan. Lalu, setelah perpisahan merasakan kehilangan dan perlahan merakit mengiklaskan.
Renjun membuang napas pelan, melirik sekilas benda bulat yang tergantung dekat pintu. Sudah ada sekitar tiga hari Haechan pergi tanpa pamit. Namun memang, sebelumnya Haechan sudah sering memberi tahu Renjun, bahwa ia akan pulang. Renjun nya saja yang selalu menghiraukan.
"Gue udah bikin rumah Chan, gue bahkan gambar banyak lebih lagi bunga matahari, biar lo enggak bosen. Tapi, lo beneran enggak mau keluar. Ke sini lagi gitu? Katanya lo mau ke pasar malam lagi," celoteh Renjun menuangkan beberapa cat dengan tidak niat.
Haechan benar-benar sudah kembali. Dan mungkin tidak akan pernah bisa kembali kemari. Ah, Renjun sedih akan hal itu. Malam itu angin berhembus sangat kencang, sampai berhasil menyibak selimut yang Renjun gunakan.
Rasa penasarannya kalah dengan rasa kantuk yang menyerang Renjun, pada akhirnya ia tidak tahu, bahwa malam itu, Haechan dijemput seseorang. Dan pergi meninggalkan Renjun. Saat pagi menyapa, suara khas Haechan tidak lagi menganggu Indra pendengarannya.
"Makasih loh gelangnya, ini lucu. Gue sampai takut, kalau nanti gelang ini hilang gimana, lo mau marahin gue enggak, Chan?"
"Chan."
Renjun mengusap wajahnya dengan kedua tangan, sehingga beberapa cat tertempel pada pipi, hidung juga alis. Renjun seperti orang yang kehilangan akal, selama tiga hari itu pula, Renjun mendekam terus di kamar, saat Nenek kemari pun, hendak pamit untuk pulang, Renjun hanya iya-iya saja.
Renjun, seperti tidak memiliki semangat hidup kembali.
Lagi, ini semua gara-gara Haechan! Renjun tidak mau tahu.
"Renjun, hallo!"
Renjun menatap lama lukisan Haechan yang menimbulkan suara, bahkan Haechan disana terlihat tengah berkedip padanya.
"Hah, aku diizinkan oleh Tuan Johnny untuk berbincang dengan mu, tapi tetap saja aku tidak bisa lagi keluar Renjun."
"Ngomong-ngomong rumahnya bagus. Makasih ya Renjun, oh iya, setiap kali kamu bicara, aku dengar loh."
Sial! Renjun malu, sendari tadi ia terang-terangan mengatakan bahwa dirinya rindu Haechan.
"Jangan terlalu sering mikirin aku! Dunia kita memang berbeda, 'kan?" lanjut Haechan.
Renjun menggelengkan kepala pelan, matanya berkaca-kaca ingin mengeluarkan air mata.
"Chan, lo kenapa pergi?!" pekik Renjun.
"Aku gak pergi Renjun, aku di sini. Sedari dulu 'kan, di sini. Jangan sedih lagi."
Renjun tak kuasa menahan air matanya, pemuda itu memeluk kanvas yang beberapa hari ini lukisannya sudah kembali dia garap. Bibirnya tersenyum kecil, setelah kepalanya mengingat memori yang telah keduanya buat.
"Terima kasih, Haechan."
Perlahan, Renjun berjalan ke arah balkon kamarnya, sambil tangannya masih memeluk lukisan Haechan. Aliran air mata pun tak kunjung berhenti.
Pemuda itu lantas berhenti, setelah sampai di balkon kamar. Kedua bola matanya memandang matahari yang begitu terang bersinar di langit. Renjun terlihat biasa saja, namun tak dipungkiri, jika hatinya merasa sakit yang amat dalam.
"Jika matahari menyinari dunia, maka aku akan menyinari, Renjun! Lukisanku adalah lukisan yang paling bersinar di kamar Renjun! Bahkan lukisan sapi gemuk Renjun kalah bagus," ucap Haechan sedikit menyombongkan diri.
Renjun terkekeh, lalu memandangi lukisannya.
"Sekali lagi terima kasih," gumam Renjun.
"Apa lo mau pergi?" tanya Renjun.
Renjun terus memandangi lukisannya, mengamati mata Haechan yang sekarang sudah berubah.
Renjun menggelengkan kepala, lalu mengelus lukisan Haechan.
"Gue tanya sekali lagi, lo mau pergi?"
"Haechan? "
"Chan? "
Diam, lukisan Haechan benar-benar diam. Tak ada lagi sahutan dari Haechan.
Renjun terus mengelus lukisannya, berharap Haechan yang sudah dia anggap sahabat mau kembali meresponnya.
"Haechan?! Lo mau pergi?!"
Mata itu, berhenti berkedip, mata cantik Haechan tak lagi bergerak. Renjun melihatnya, raut bahagianya seakan hanya boleh singgah sekejap.
Pemuda itu tak menyangka akan ditinggal pergi oleh sosok Haechan yang sudah dia anggap sahabatnya bahkan adiknya sendiri.
Renjun kehilangan.
Kali ini benar-benar kehilangan.
Tak akan ada lagi Haechan di kamarnya, Renjun akan sangat merindukannya.
'Aku gak pergi Renjun, aku di sini. Sedari dulu 'kan, di sini. Jangan sedih lagi.'
"Ya, setidaknya lo gak pergi dari kehidupan gue, Chan," ucap Renjun lirih.
Pada akhirnya, jalan merelekan memang jalan satu-satunya yang dapat Renjun lakukan.
Haechan butuh kebahagiaan, begitu pula dengan Renjun.
Masih banyak hal yang harus Renjun raih, masa depan pemuda itu masih panjang, dan masih banyak yang harus Renjun perjuangkan.
Tak ada gunanya terus berharap, jika Haechan akan kembali.
Renjun harus kembali pada kenyataan.
Haechan hanyalah sebuah lukisan.
Lukisan yang beruntung.
End
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic Boy✔️
Fiksi PenggemarHari itu di dalam kamar saat malam bulan langka, Renjun melukis sosok yang tiba-tiba terlintas di benaknya untuk sekedar membunuh rasa bosan. Renjun melukisnya dengan penuh ketelitian. Akan tetapi bagaimana jadinya ketika Renjun belum selesai meluk...