Happy Reading
Renjun menatap puas hasil lukisannya, setelah beberapa hari sibuk membuat sketsa dan seminggu lebih membuat lukisan, akhirnya Renjun dapat menyelesaikan lukisan besarnya.
Renjun juga berhasil memperbaiki lukisan besar yang dulu dia rasa gagal. Lukisan itu sekarang sudah menjadi lukisan yang menakjubkan bagi Renjun.
Banyak menghabiskan waktu di dalam kamar, nyatanya sukses membuat skil melukisnya meningkat. Tak ada lagi Renjun yang kesal melempari palet ke arah dinding.
Dalam melukis, kesabaran pemuda itu benar-benar di uji.
Sekarang Renjun tengah membereskan kamar yang tampak berantakan karena ulahnya. Membersihkan paletnya, lalu menyusun kembali cat ke tempatnya.
Diam-diam Renjun sedikit rindu dengan kegiatan yang sedang dia lakukan. Karena biasanya, bukan dia yang membersihkan kamar.
Melainkan, Haechan yang melakukannya.
Jika seseorang diperintah oleh Renjun, orang itu pasti akan malas dan berakhir memberi banyak alasan agar tak diperintah.
Berbeda dengan Haechan. Pemuda itu justru sangat senang dengan apa yang Renjun perintahkan. Meski perintah itu membuat Haechan harus berurusan dengan sampah sekali pun.
Renjun menghela napasnya, sudah seminggu ini Haechan tidak tidur lagi di kamarnya. Sedari seminggu yang lalu Haechan memutuskan untuk pindah ke kamar adiknya. Bahkan sekarang Haechan terlihat selalu mengekori ke mana pun Jeno pergi.
Haechan seperti tengah menjauhinya, dan Renjun tahu itu.
'Tok ... tok ... tok ....'
"Renjun?"
Pemuda yang tengah membersihkan kamarnya sendiri itu melirik pintu kamarnya. Satu kepala dengan surai sewarna madu menyembul dari pintu kamar Renjun yang terbuka.
Raut wajahnya begitu polos, matanya menatap Renjun penuh kebingungan.
"Apa?" sahut Renjun dengan nada kesal yang dibuat-buat.
Haechan yang tadi memanggil Renjun agak menatap Renjun takut. Dengan sedikit keberanian dia mulai melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar yang sudah seminggu ini tidak dia masuki.
Terlihat berantakan, dan semakin sempit dengan keberadaan dua lukisan besar yang tersandar di pintu balkon.
"Renjun lihat piyama milik Jeno tidak? Aku lupa menaruhnya di mana. Barangkali piyama itu tertinggal di sini," tanya Haechan.
Renjun yang ditanyai hanya mengedikkan bahunya. "Gue gak tahu. Gak lihat piyama tuh. Udah di bak cucian kali," jawab Renjun.
Haechan terdiam, dia terlihat sedang berpikir lalu mengangguk semangat. "Ah iya! Terima kasih, Renjun!" seru Haechan, pemuda itu segera pergi meninggalkan Renjun. Haechan pikir, Renjun pasti terganggu dengan kehadiran Haechan.
Renjun yang melihat tingkah Haechan mulai berdecak kesal. "Gue nyesel udah lukis lo, Haechan," gerutu Renjun, kesal.
Saat ingin melukis Haechan, Renjun terus memikirkan bunga matahari.
Bunga milik Bunda yang sudah mati karena tak ada yang menyiraminya. Awalnya bunga itu pemberian dari kakek penjual bunga yang lewat di depan Rumah. Kakek itu berkata jika Bunga itu akan membawa keberuntungan jika Bunda merawatnya dengan benar.
Sayangnya, Bunda tak berpengalaman merawat bunga. Bagaimana bisa sang Bunda melupakan bunga matahari itu selama sebuah lebih? Penghuni rumah tiba-tiba terkejut melihat penampakan bunga yang sudah mati.
Renjun selalu menyalahkan Bunda nya atas kematian bunga mata hari itu. Seharusnya sang Bunda memberikan bunga berwarna cantik itu kepadanya saja.
Renjun merasa berpengalaman dalam bidang merawat tanaman.
Karena kejadian itulah Renjun berpikiran untuk membuat lukisan yang bertemakan bunga matahari, tentunya dengan sedikit sentuhan lukisan bergambar seseorang yang tengah sedih namun tersenyum di dalamnya.
Karena perasaannya saat membuat sketsa lukisan itu tengah sedih, namun bibirnya terus tersenyum menutupi kesedihannya.
"Sejujurnya, cerahnya lukisan Haechan cuma buat nutupin kesedihan yang sebenarnya lagi dirasain sosok Haechan, gak ada Haechan yang ceria. Gue nglukis dia, cuma buat ngegambarin perasaan dia yang terluka," gumam Renjun, kepalanya melirik ke arah lukisan Haechan yang belum dia selesaikan namun sudah dipajang di dinding kamarnya.
"Gue harap lo bisa terus bahagia di sini. Maafin gue yang udah gambarin kesedihan penuh buat lo," lanjutnya seraya menundukkan kepala. Renjun, sedikit merasa menyesal.
***
Malam yang kelam, Haechan duduk sendiri di teras rumah dengan kedua kaki yang ia dekap. Matanya terpejam sejenak, ketika angin malam kian menerpa rambutnya yang tebal.
Haechan melihat bayangan seseorang dibelakang, ia tidak berniat untuk melihatnya, pandangan Haechan cukup terpaku pada langit malam yang bahkan lebih menarik perhatiannya.
"Kenapa belum tidur?"
Haechan tersentak, itu bukan suara Jeno rupanya. Ia pikir itu Jeno tadi, ternyata Renjun yang kini ikut duduk dibawah bersama dengannya sambil menyodorkan satu gelas teh kepada Haechan.
Haechan menerima gelas yang berisikan teh itu dari Renjun. Ia hanya menegang gelasnya saja tanpa berniat untuk meminumnya. Masih dengan tatapan yang sama tanpa berubah sedikitpun, ia menunggu Renjun untuk mengatakan hal berikutnya.
Lima belas menit mereka duduk bersama. Dalam keadaan hening tanpa suara, tidak ada lagi yang memulai percakapan, entah kenapa dan karena apa. Renjun dan Haechan sama-sama diam.
"Renjun, waktu ku di sini sebentar lagi. Jika aku nanti pergi Renjun bagaimana?" tanya Haechan tiba-tiba yang memuat Renjun menoleh.
Renjun nampak bergelut dalam pikirannya, selang beberapa detik ia tersenyum. Tersenyum sangat tipis bahkan Haechan tidak menyadari hal itu.
"Enggak papa Haechan. Maaf karena gue udah buat kesedihan dalam diri lo, kalau emang udah waktunya lo pulang, gue pribadi berusaha ikhlas. Lo juga perlu bahagia, walau bukan di dunia gue, tapi di dunia lo," balas Renjun kembali menatap langit yang semakin hitam.
Rasanya Renjun belum ingin Haechan kembali. Walau Haechan memang menyebalkan, dan selalu membuatnya risih, Renjun banyak belajar dari anak ini. Bagaimana ia harus bersikap sabar, bagaimana ia harus selalu bahagia, dan bagaimana mestinya ia harus belajar mengiklaskan.
"Chan," panggil Renjun.
"Iya Renjun." Haechan melirik Renjun sebentar, lalu menunduk, merapatkan kedua kakinya yang terasa dingin.
"Gue mau buat pengakuan," kata Renjun.
Haechan masih menunggu Renjun melanjutkan perkataannya.
"Gue selalu marah-marah. Maaf ya, lo jangan benci gue Chan. Karena gue benar-benar enggak mau lo pulang nanti masih menyimpan rasa tidak suka sama gue Chan."
"Jangan jauhi gue lagi. Malam ini lo tidur sama gue," lanjut Renjun. Haechan masih terdiam, mencerna kata-kata Renjun barusan.
"Tapi kata Renjun waktu di pesta ulang tahun adiknya Chenle Renjun risih sama aku," ujar Haechan. Kini giliran Renjun yang berpikir keras.
Mereka sama-sama membuat pengakuan sekarang. Lihatlah, Renjun yang jujur. Begitu pula Haechan yang sekarang jujur kepada Renjun.
"Bentar-bentar, kok lo--"
"Aku juga disana Renjun. Hantu yang kalian maksud itu aku, maaf Renjun." Haechan menundukkan kepala, ia takut Renjun kembali marah. Padahal baru saja Renjun meminta maaf.
"Benar-benar lo Chan! Gue mau ngamuk tapi baru aja gue minta maaf, marah nya gue kensel dulu deh. Ayo masuk, udah malam." Renjun menarik tangan Haechan meninggalkan malam yang sudah menjadi saksi bisu pembicara dua anak ini.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Magic Boy✔️
FanficHari itu di dalam kamar saat malam bulan langka, Renjun melukis sosok yang tiba-tiba terlintas di benaknya untuk sekedar membunuh rasa bosan. Renjun melukisnya dengan penuh ketelitian. Akan tetapi bagaimana jadinya ketika Renjun belum selesai meluk...