Part 20🌙

561 80 1
                                    

Happy Reading







Lima belas menit berlalu, tepatnya setelah sekolah bubar pukul setengah satu tadi. Renjun dan yang lain sudah berada di dalam mobil, dengan satu tujuan yaitu pulang ke rumah. Sejak kejadian pagi tadi, tidak ada yang bersuara sedikitpun sekarang.

Renjun yang duduk didepan bersama Mark hanya terlihat wajah datarnya saja. Jeno yang sibuk dengan ponselnya, sekali-kali mencuri pandang pada Haechan yang hanya diam. Pandangannya hanya sibuk pada jendela.

"Ekhem!"

Jeno berusaha memecahkan keheningan, namun usahanya sia-sia saja. Mereka masih kompak diam, jika begini Jeno tidak bisa. Ia bukan terpikal orang yang bisa diam seperti ini, Jeno aktif. Ya begitu.

"Ekhem, ekhem!" Jeno semakin meninggikan suaranya.

"Berisik lo! Keselek meteor hah!" semprot Renjun yang pada akhirnya berbicara.

"Ayo lah, kenapa kalian diam-diam aja. Enggak bisa gue tuh enggak bisa kaya gini! Enggak bisa," kata Jeno sedramatis mungkin. Setelahnya keheningan kembali menyapa.

'Aku mau pulang.'

'Aku mau pulang.'

Haechan terus bergumam dalam hati, entah pulang dalam artian mana yang Haechan maksud. Ia tidak berani sedikitpun sekarang memandang Renjun. Jeno yang terus mengoceh pada dirinya pun ia anggap angin lalu.

Jeno suka sekali curhat dengan Haechan. Apalagi jika curhat mengenai anaknya Azura si anjing kecil itu yang semakin hari semakin mengada-ada saja tingkahnya.

Haechan selalu mendengarkan sampai akhir, Haechan juga selalu menyahut setiap kali Jeno bertanya, Haechan adalah teman curhat Jeno yang paling setia.

"Echan, mau tahu enggak tinggi Azura berapa sekarang?" tanya Jeno. Anak itu tidak berhenti terus berceloteh sekalipun itu tidak Haechan tanggapi.

"Haechan. Nanti malam kita main game lagi mau?"

"Haechan," panggil Jeno kembali.

Jeno tentu tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi tadi di sekolah. Menurutnya itu tidak apa-apa, Jeno juga pernah di tinggal sendiri di rumah, memang rasanya tidak enak. Selain bosan, lama-lama diam terus itu sumpek juga, apalagi Jeno anak aktif.

Jeno suka melihat Haechan berpenampilan memakai seragam sekolah. Wajahnya terlihat tampan, seperti murid yang banyak di idolakan para kaum hawa.

***

Brak!

Pintu dibuka lumayan keras oleh Renjun secara tidak sengaja. Sisa-sisa amarah nya masih ada, walau Mark sudah sering kali memenangkan dirinya. Sudah ada Bunda yang tengah menonton televisi sambil memotong bawang di ruang tamu sedikit kaget mendengar pintu rumah yang terbuka sedikit keras.

Baru saja ia ingin menyapa anak-anaknya yang baru pulang, namun urung karena melihat masing-masing wajah mereka yang tidak seperti biasa.

"Jangan tanya Jeno Bunda. Tanya langsung sama mereka," ujar Jeno ketika Bunda hendak bertanya. Sedangkan Haechan tidak masuk ke dalam, ia memilih duduk di depan teras rumah. Memandangi cuaca yang sepertinya akan turun hujan.

"Bunda enggak lihat Haechan, hilang lagi 'kah itu anak?"

Jeno menggeleng, lalu dagu nya menunjuk ke luar dengan keadaan pintu yang masih terbuka. Setelah itu, Jeno melangkahkan kakinya menuju kamar. Meninggalkan Bunda dengan banyaknya pertanyaan yang timbul.

Wajah Haechan yang selalu cerah tidak secerah sekarang, ia tidak menangis. Tetapi kedua matanya terlihat berkaca-kaca, seperti sudah tidak sanggup untuk menampung air yang akan keluar dari kedua manik coklatnya.

Hal yang sering Haechan takuti dari dulu, ia berpikir mungkin Renjun ingin Haechan pergi. Pergi dalam maksud artian kembali pada dunianya. Haechan memikirkan bagaimana hari kedepannya nanti setelah ini.

Haechan tidak tahu itu ...

***

Haechan berubah, dia jauh lebih pendiam dari biasanya. Bahkan yang biasanya dia lebih suka mengikuti Renjun, sekarang pemuda itu lebih suka bermain dengan Azura di kamar Jeno.

Saat di meja makan pun Haechan tak lagi cerewet seperti dulu; contohnya banyak bertanya tentang makanan apa yang sedang dia makan. Anak itu tiba-tiba tak banyak bertanya seperti biasanya.

Semua yang melihat perubahan Haechan merasa heran. Tidak dengan Renjun, pemuda itu justru santai-santai saja. Bahkan sepertinya Renjun sangat menikmati perubahan Haechan yang lebih pendiam. Kegiatan melukis di kanvas besar Renjun jadi tak terganggu.

"Bagaimana rasanya, Haechan?" tanya Bunda. Hari ini Bunda memasak makanan yang belum pernah Haechan makan.

Haechan melirik ke arah Bunda sekilas, lalu menangguk dan melanjutkan acara makannya tanpa tenaga.

"Ah, gak cocok di lidah Haechan? Kanapa lesu begitu?" tanya Bunda sambil menampakkan raut kecewa dibuat-buatnya.

"Tidak Bunda, rasanya enak meski aku tak tahu ini apa. Lidahku hanya, sakit saja akhir-akhir ini," jawab Haechan.

Kedua mata Bunda sedikit menyipit, lalu pada akhirnya dia menghembuskan napasnya. "Nanti setelah makan pergi ke belakang yah, coba minta sama Bibi ada obat untuk sakit lidah tidak," perintah Bunda yang diangguki Haechan.

Sejujurnya Haechan sedikit merasa bersalah pada Bunda.

Haechan tentu tidak jujur. Dia membual. Membuat Bunda seakan-akan percaya dengan ucapannya.

Padahal, Haechan hanya sedang menjalankan misinya saja.

Misi untuk menjauhi Renjun secara perlahan-lahan.

***

"Jeno hari ini mau ke mana?" tanya Haechan. Tadinya dia sedang menciumi Azura di kasur Jeno. Namun setelah Haechan melihat Jeno yang sudah rapi dan baru keluar dari kamar mandi mulai bertanya.

Jeno melirik ke arah Haechan, lalu merebut paksa Azura dari pelukan Haechan. "Gue mau ke rumah Jisung. Mau ikut gak lo? Mumpung masih sore, pas malem kan gak boleh pergi sembarangan. Emang dasar Bunda posesif," sahut Jeno seraya mencibir sikap Bunda nya yang terlalu over protective.

Haechan terdiam sejenak, lalu mengangguk semangat. "Boleh, boleh! Aku bosan di sini sendiri."

Jeno tersenyum. Kedua tangan berototnya sudah lincah mengambil baju-baju berwarna cerah ke hadapan Haechan. "Pake, itu baju lama gue. Kalo keluar rumah tuh jangan pakai piyama, Haechan. Sekali-kali cosplay jadi Lele, biar aura sultannya keluar," ucap Jeno yang diangguki Haechan.

Pemuda manis itu berlari cepat ke arah kamar mandi yang berada di kamar Jeno. Haechan sudah tak sabar keluar rumah dan berbaur dengan teman-teman Jeno.

"HAECHAN! BURUAN!"

Haechan buru-buru keluar dari kamar mandi, pemuda itu sedikit merasa bersalah karena Haechan pikir dia terlalu lama berganti baju.

Sedangkan Jeno terus menatap Haechan dari mata kaki sampai kepalanya, berusaha menilai penampilan Haechan kali ini, cocok atau tidak dipandang. Tidak mungkin Jeno membawa Haechan pergi jika penampilannya saja tak beda jauh dengan gelandangan.

"Nah! Besok besok pake ginian aja ya, Chan! Jangan pake piyama lama gue, njir," celetuk Jeno. Haechan mengangguk saja.

Dengan cepat tangannya mendorong punggung Jeno keluar dari kamar.

Jeno yang masih menggendong Azura berdecak kesal.

"Bentar, Chan. Gue mau peluk Azura terus masukin si Zura ke kandangnya dulu," ucap Jeno kesal.

Haechan meringis, lalu mengangguk pelan.

"Jangan terlalu llama, nanti Azura tertekan punya majikan seperti kamu, Jeno," sahut Haechan.

Jeno memutar bola matanya malas. Dengan gerakan cepat dia memeluk Azura dan menaruh Azura di rumah sementaranya yang terletak di pojok kamar Jeno.

"Yang anteng ya anak baik," pamit Jeno pada Azura. Azura hanya menggonggong menyahuti Jeno. Sepertinya anjing itu kelelahan karena sedari pagi terus berlarian ke sana ke mari.

"Ayo," ajak Jeno pada akhirnya.

***

Magic Boy✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang