Happy Reading
Malam yang benar-benar panjang bagi seorang Renjun.
Renjun benar-benar terjaga sampai pagi, ia mungkin tidak akan sekolah hari ini. Lihatlah sekarang keadaannya, kedua kantung matanya yang hitam. Bibirnya yang kering, wajahnya yang lesu. Nampak sekali seperti orang depresi ketika diputuskan oleh pasangan.
Sayangnya ini semua bukan karena pasangan, melainkan karena ....
"HAECHAN ANJING!" umpat Renjun melempar kasar bantal miliknya ke sembarang arah.
Matahari sudah muncul, sinarnya sudah masuk pada celah-celah pentiliasi kamar Renjun. Bahkan menyorot langsung pada wajahnya.
Pintu kamar terbuka, Bunda sudah berdiri dengan pakaian semalam. Nampak Bunda juga belum bersih-bersih badan, wanita itu memang biasa membangunkan anak-anaknya di pagi hari lebih dulu.
"Astaga Renjun! Kamu enggak tidur apa semalam." Bunda sedikit berlari, memastikan penglihatannya benar atau tidak melihat wajah putranya yang primadona ini berubah seperti gembel.
Kamar Renjun bukan seperti kamar. Berantakannya sudah jangan di tanyakan lagi, gulungan kertas yang belum ia bereskan karena biasanya kamar Renjun selalu bersih dan rapih oleh Haechan.
"Bunda bikinin surat keterangan sakit, Renjun enggak mau berangkat sekolah hari ini," kata Renjun menatap wajah Bunda sebentar. Kepalanya pening bukan main, ia kekurangan tidur. Ralat, ia tidak tidur dari semalam sampai pagi hari ini.
"Iya nanti Bunda bikin. Sekarang kamu tidur, Bunda tidak mau tahu. Ayo cepat baringkan tubuhmu Renjun, Bunda bereskan dulu kamar mu ini. Bisa tambah ada penyakit nanti," ujar Bunda yang sudah menyelimuti tubuh Renjun sebatas dada.
Renjun tipe anak yang pemikir. Apapun itu ia selalu berpikir sangat diluar batas kemampuan, dan lihat sekarang. Selain itu pula, Renjun bergengsi sangat tinggi sekali. Tidak ingin mengungkapkan rasa simpati atau apapun itu secara langsung. Membuat orang kadang salah paham.
Kamar Renjun sudah rapi dan bersih kembali berkat Bunda. Wanita yang sudah menginjak umur tiga puluh tujuh itu tengah menuruni setiap anak tangga dengan membawa satu amplop putih yang sudah ia siapkan.
"Mark kasih nanti sama guru kamu," tutur Bunda sambil menaruh amplop itu dihadapan Mark yang tengah meneguk satu gelas susu.
"Eh, eh. Surat apa nih? Bunda mau kasih warisan ya, kasih warisan kok ke guru. Ke aku dong Bund," ujar Mark membuat tangan Jeno gatal sekali untuk memukulnya.
"Bunda serius. Renjun enggak sekolah hari ini, Mark kamu jangan ikut-ikutan sakit nanti awas aja," timpal Bunda yang tengah membuat bubur.
Karena memang selalu seperti itu, jika bukan Renjun yang sakit lebih dulu. Mark yang akan lebih dulu, dan itu selalu bersama-sama. Bunda jadi selalu was-was jika sudah seperti ini. Anak-anak itu jika sedang kurang enak badan selalu saja serba salah.
"Ish, Jeno lo berangkat sendiri deh. Bund, hehe." Mark tercengir sambil menggaruk tengkuknya. Berharap Bunda mengerti.
Namun sepertinya Mark salah besar meminta hal seperti itu kepada Bunda.
"Enggak ada Mark! Sana berangkat, jangan kasih contoh yang enggak benar buat adek mu itu, adek mu sudah setengah laknat gara-gara kalian juga!"
Jika sudah begini Mark bisa apa. Ayah nya hanya diam tidak ikut menimpali, laki-laki itu tidak ingin membuat masalah dengan sang istri.
"Ayah kok santai-santai aja sih, bantu dong. Bunda repot nih enggak lihat apa," semprot Bunda yang pada akhirnya ikut terkena omelan juga.
Mark dan Jeno yang sampai di ambang pintu cekikan bersama. Mendengar Bunda yang mengegur Ayah yang sendari tadi hanya diam, pikirnya ia ikut menimpali salah, diam saja salah. Sudahlah, perempuan selalu benar.
"Mark, buru sarapan terus berangkat. Jeno juga, kalo kamu mau di anter ayah harus cepat," ucap sang kepala keluarga pada akhirnya.
Setelah mendapat perintah dari sang kepala keluarga, Mark dan Jeno lantas memakan makanannya cepat. Lebih tepatnya hanya Jeno yang cepat, dia hanya takut ayahnya pergi terlebih dahulu ke kantor tanpa mau mengantarnya ke sekolah.
Jeno terlalu malas berangkat sekolah dengan Mark.
"Nanti sepulang sekolah jangan lupa bantu Bunda sama Renjun cari Haechan. Bunda ikutan khawatir sampai sekarang Haechan belum pulang," perintah sangat Bunda.
***
Jika Renjun terlihat seperti tengah depresi, maka pagi ini Haechan terlihat seperti orang gila. Sedari tadi senyuman lebarnya terus menghiasi wajahnya.
Haechan tampak senang, sesekali pemuda itu bergumam riang, melupakan fakta jika semalam Haechan sempat kecewa dengan Renjun.
Pemuda itu berdiri dari duduknya, kepalanya menoleh ke sana dan kemari memandangi pemandangan di sekitarnya. Suasananya cukup sejuk, Haechan menyukainya.
Dia ingin berlama-lama di bukit. Namun setelah dia mengingat Renjun, Haechan menggelengkan kepalanya tegas.
"Harus pulang ke Renjun, Renjun pasti mencariku," celetuk Haechan.
Akan tetapi, setelah kepalanya mendongak, menatap ke atas pohon yang sudah menjadi tempat huniannya semalam, Haechan membuka mulutnya.
Haechan melongo, tubuhnya seolah kaku tak bisa digerakkan.
Haechan pikir, semalam dia tak melihat siapa pun. Haechan tak pernah tahu jika di bukit ada seseorang lagi selain dirinya.
Pemuda itu terus menelan ludahnya, setelah melihat ada sosok yang pernah dia lihat kembali dia lihat.
"Ah, Haechan. Bagaimana kabarmu?" tanya seseorang itu.
Kedua bola mata Haechan mendelik, begitu telinganya mendengar suara seseorang itu.
Seseorang yang sempat mendatanginya beberapa hari yang lalu.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Haechan.
Seseorang itu mengedikkan bahunya, lalu memiringkan kepalanya memandangi Haechan dari atas.
"Kamu punya keinginan untuk pulang ke Renjun, 'kan?" tanya sosok itu. Perlahan-lahan tubuhnya mulai menyamar, lalu tiba-tiba sosok itu sudah ada di depan Haechan. Haechan terkejut, dia bahkan sudah memekik pelan.
"Ya, ya aku memang akan pulang," jawab Haechan.
"Bagus, aku tak perlu susah-susah untuk membujukmu. Ya, terkadang lukisan yang patah hati terbilang susah untuk dibujuk kembali ke pelukis nya," celetuknya seraya berdecak kesal.
"Dan itu sangat merepotkan. Aku harus turun tangan begitu mendapat sinyal jika ada lukisan yang patah hati. Aku harus menghiburnya, dan membujuknya pulang. Ah, merepotkan," lanjut sosok itu.
Dahi Haechan mengerut, otaknya mencoba mencerna kata-kata dari seseorang yang dulu sempat mengaku datang dari dunia magic.
"Sebenarnya kamu siapa?" tanya Haechan refleks, lalu Haechan memukul bibirnya yang terbiasa bertanya ketika bertemu hal baru.
Sosok itu tersenyum sangat manis, dia menyodorkan tangan kanannya. "Aku Johnny. Atau lebih tepatnya, panggil aku Tuan Johnny," ucap Johnny.
Haechan mengangguk pelan. "Lalu, kamu siapa? Apa, kamu yang membuatku ada di sini? Maksudku, di bumi bersama Renjun?" tanya Haechan lagi. Kali ini Haechan tak memukul bibirnya lagi.
"Aku? Menciptakanmu? Wah, terdengar sangat mustahil. Aku hanya di utus oleh seseorang untuk mengurusi para lukisan yang beruntung di malam bulan langka," sahut Johnny.
"Malam bulan langka?" gumam Haechan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic Boy✔️
Fiksi PenggemarHari itu di dalam kamar saat malam bulan langka, Renjun melukis sosok yang tiba-tiba terlintas di benaknya untuk sekedar membunuh rasa bosan. Renjun melukisnya dengan penuh ketelitian. Akan tetapi bagaimana jadinya ketika Renjun belum selesai meluk...