Part 22🌙

539 81 3
                                    

Happy Reading







Tanggal merah yang selalu di buru para siswa sekolah, kini telah tiba, sekolah sepi tidak ada penghuni. Keluarga Choi terlihat lengkap, Ayah tidak masuk kerja, Bunda yang tidak ikut arisan dan anak-anaknya yang tampan primadona yang berada di rumah sekarang.

"Bunda minta uang!" teriak Jeno menuruni tangga, sedikit berlari diikuti Haechan dibelakangnya.

"Buat apa? Kalau buat beli robot-robotan Bunda enggak mau ya." Jeno mendengkus, ya memang dia suka mengoleksi itu tetapi sekarang bukan itu yang ingin ia beli.

Renjun yang baru saja keluar dari dapur melihat Jeno yang sedang meminta merengek, ia juga melihat Haechan yang hanya diam.

"Buat beli makan Azura Bunda," kata Jeno memang benar apa adanya.

"Mau traktir Haechan juga, semalam udah bantu ngerjain tugas," ucap Jeno dengan bangga sambil merangkul Haechan. Anak itu hanya tersenyum tipis saja.

Renjun sudah duduk di ruang tamu dengan satu piring berisikan puding coklat. Renjun mulai merasakan keanehannya hari ini, dari kemarin Haechan selalu bersama dengan Jeno. Sekarang mereka mau kemana lagi?

"Haechan mahluk langka, sekaligus baik hati," puji Jeno sesekali melirik ke arah Renjun yang mengabaikan perkataan Jeno.

"Yaudah, kalau gitu Bunda titip juga, enggak banyak kok sedikit. Sebentar Bunda ambil uang nya dulu sambil bikin daftar belanjaan," tutur Bunda yang sudah pergi dari ruang tamu.

Renjun melihat Jeno dan Haechan yang sedang mengobrol entah mengobrolkan apa, karena memang suara mereka yang kecil, bahkan terkesan sedang berbisik-bisik, tak jarang Haechan terkekeh begitu pula Jeno.

Entah Renjun iri, tidak suka, kepanasan atau apa. Itu tidak tahu, sudah dikatakan ego Renjun itu sudah mendarah daging.

"JENO GUE NITIP JUS SEMANGKA YANG DEPAN SUPERMARKET ITU, BUNDA BILANG LO MAU KESANA!" teriak Mark berlari menghampiri Jeno dengan napas ngos-ngosan.

"Gue mau ikut tapi belum mandi, jadi gue titip aja." memang sih, penampilan Mark seperti orang yang baru saja bangun tidur. Rambutnya merancung ke atas.

"Nghokey."

"Lo mau nitip sesuatu Bang Njun yang tampan mirip Huang Renjun en-si-ti, hm atau lo mau ikut?"

"Gak." Singkat padat dan jelas, bahkan dibumbui lirikan sinis dari Renjun.

"Yaudah sih enggak usah nyolot, dasar peot!"

Mark pusing melihat perdebatan antar saudara itu, ia memilih pergi ke atas saja setelah memberikan uang kepada Jeno. Tak lama setelahnya Bunda kembali kesana, memberikan kertas yang bertuliskan apa saja yang harus Jeno beli nanti.

"Ih katanya dikit, kok ini beranak?!" pekik Jeno heboh.

"Dikit kok itu astaga," balas bunda sambil memberikan selembar uang merah dan biru.

"Ini emang cukup Bund? Kalau kurang gimana?" tanya Jeno sambil menerima sodoran uang.

"Cukup Jeno, Bunda udah hitung tadi."

"Kalau kurang minta sama Haechan," ujar Bunda sambil tertawa.

"Iya juga, Chan bisa enggak lo kasih gue duit?"

"Aku bukan mesin uang Jeno, tidak bisa," jawab Haechan. Bunda masih terkekeh sementara Jeno menjerit tertahan.

Renjun memandang punggung Haechan dan Jeno yang sudah hilang dari pandangan sejak beberapa detik yang lalu, sambil memakan puding yang ia bawa tadi, pikirannya juga sedang di penuhi oleh beberapa faktor masalah lainnya.

Bagaimana pun, Renjun itu sudah remaja, sudah memasuki masa-masa yang sulit dan banyak sekali cobaan yang menimpanya. Sekarang ia sedang bingung sikapnya pada Haechan itu, salah atau benar.

"Akhir-akhir ini Bunda lihat Haechan lebih dekat dengan Jeno. Marahan kalian?" tanya Bunda sambil merapikan majalah yang berantakan di sofa ke meja.

"Enggak kok, Haechan sendiri yang lagi pengen bareng Jeno. Lagian bagus juga kalo Haechan gak ngintilin Renjun terus. Proyek lukisan Renjun bisa cepet selesai, Bund," jawab Renjun.

Irene tersenyum tipis seraya menggelengkan kepalanya pelan. "Loh gak takut kehilangan Haechan? Bunda seneng kalau Haechan rusuhin kamu. Kamunya jadi sering keluar kamar," sahutnya.

"Coba lihat dulu pas belum ada Haechan, mager banget kamu jalan. Di kamar terus sibuk sama cat. Coba keluar rumah, kayak Jeno itu. Artinya Haechan bawa dampak positif buat kamu," lanjut sangat Bunda yang kini sudah duduk di samping Renjun.

Tangan lentiknya di dekatkan ke surai lembut putra keduanya. "Jangan terlalu kasar sama Haechan. Bukannya kamu cerita kalau katanya Haechan keluar dari lukisan? Wajar Renjun kalau dia terus ngikutin kamu. Artinya dia tahu kalau kamu bisa dipercaya."

Renjun tak membalas ucapan Bunda nya. Bahkan sekarang matanya sudah menutup; menikmati usapan tangan Bunda nya di rambutnya, melupakan puding yang dia makan di meja.

"Jangan keenakan kamu, sana bangunin Mark. Bunda yakin dia gak bener-bener mandi," perintah sangat Bunda yang dibalas decakan sebal oleh Renjun.

"Renjun, gak baik decak-decak gitu," tegur sangat Bunda.

Renjun manatap mata sang Bunda dengan puppy eyesnya.

"Bunda, Injun capek. Injun boleh makan puding aja? Yang bangunin Mark ayah aja, Bunda," rengek Renjun.

Bunda menggeleng tegas. Tatapan mata yang tadinya teduh dan penuh kasih sayang berubah tajam. "Gak Mark, gak Renjun, heran bunda kenapa MAGERAN BANGET!"

Renjun memajukan bibir bawahnya, lantas berlari cepat meninggalkan Bunda nya di ruang tamu.

"Bunda mah gitu, galak," gumamnya.

***

Janjinya hanya ke supermarket lalu ke pet shop untuk membeli makanan Azura dan Bunny, namun sayangnya Jeno malah berakhir juga membawa Haechan ke kedai ice cream yang letaknya tak jauh dari pet shop.

Jeno banyak memesan ice cream, pemuda itu membelikan ice cream untuk penghuni rumahnya. Bahkan Azura sekali pun, Jeno belikan.

Entah otak Jeno terbuat dari apa. Jeno hanya selalu menganggap Azura sebagai putri kecilnya.

Sedangkan Haechan terus terdiam di buku menu, pemuda bersurai sewarna madu itu bingung akan memilih ice cream rasa apa.

"Yang matcha rasanya seperti apa, Jeno?" tanya Haechan.

Jeno yang tadinya menatap penuh binar ice cream di depannya menoleh pada Haechan.

"Gak tahu, gue gak pernah pesan itu," jawabnya.

Haechan menggaruk-garuk pelipisnya yang tak gatal. Dari gambar-gambar ice cream yang dia lihat, Haechan hanya tertarik pada pilihan ice cream rasa matcha dan stoberi.

"Kalau yang ini enak tidak?" tanya Haechan seraya menunjuk gambar ice cream dengan rasa durian.

Seketika Jeno ingin mual membaca namanya. "Lo suka durian? Gue terakhir makan mual-mual, mending jangan," ucap Jeno.

Haechan mengerucutkan bibirnya. Padahal dia sudah mulai terpesona dengan warna kuning yang cerah itu.

"Yasudah aku pesan yang ini saja," ucap Haechan pada akhirnya.

Jeno mengangguk lalu membuat pesanan satu ice cream rasa stoberi yang diinginkan Haechan.

Siang itu, mereka menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan diluar rumah.

Beruntung, Jeno membawa uang tambahan dari dompetnya.

"Dasar Bunda, masa kasih duit ke Jeno lima puluh ribu doang? Seratusnya buat beli bumbu dapur, kebalikannya kek," gumam Jeno merasa kesal dengan prinsip Bundanya yang harus hemat, dan tidak boleh boros.

***

Magic Boy✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang