16

295 29 4
                                    

"Luna! Aku beli es krim dua. Ini rasa vanilla buat kamu, cokelat buat aku," ucap Api kecil sambil berjalan memegang dua es krim di tangannya.

"Aku lagi gak mau es krim!" balas Luna cepat saat dirinya sedang bermain ayunan.

"Kenapa? Aku beli dua juga kan buat kamu, Luna," kata Api sembari duduk di ayunan pinggirnya.

"Aku denger, kamu mau pindah dari Jakarta. Pokoknya aku gak mau kamu pergi. Nanti siapa yang bakal ngejaga aku dari anak-anak jail?"

Api terdiam. Api kecil yang masih berumur lima tahun itu sudah bisa menghargai perasaan wanita.

"Hah? Kata siapa? Aku nggak ada rencana kalau aku mau pindah kota."

Luna menghentikan ayunannya, berdiri tegak sambil bercekak pinggang.

"Kamu ini pembohong, Api. Aku nggak percaya!" Luna mengeluarkan ekspresi wajah yang marah.

Lelaki kecil itu terus berpikir agar ia mendapatkan alasan yang tepat agar Luna tidak menyangka benar tentang kepergiannya.

"Aku janji. Aku enggak bakal pergi. Aku kan pangerannya kamu. Mana mungkin aku ninggalin kamu sendirian. Aku gak akan biarin diri aku bersikap bodoh kayak begitu."

"Janji yah?"

"Iya, janji," balas Api memberikan es krim yang dibelikannya untuk Luna.

Mereka berdua pun duduk di bangku taman itu. Sambil memakan es krim, obrolan mereka terus menjalar dan berakar. Sampai es krim habis, sampai mereka berdua merasa bosan dan pergi berjalan kaki hingga ke rumah masing-masing.

Api bersama sepasang suami-istri yang merawatnya sejak bayi, berkumpul di ruang tamu. Sejak umur segitu, Api sudah tahu bahwa mereka bukanlah orang tua kandungnya. Karena seseorang telah memberitahu Api kecil bahwa orang tua sebenarnya tidak pernah menemuinya semenjak ia dilahirkan. Ketika ia menyadarinya, Api berubah menjadi lebih diam, terkecuali pada Luna.

"Api. Dengar baik-baik. Bapak percaya Api bukan anak kecil biasa, otak dan cara berpikir Api melebihi anak kecil pada umumnya. Jadi, Bapak mau ngasih tau kalau Bapak sama Ibu mau pindah ke luar kota. Karena Bapak dipindah tugaskan untuk menjadi pasukan angkatan udara di sana," ucap seorang lelaki kekar dengan wajah yang berkharisma bernama Jima Alaskar.

"Udah berapa kali Api bilang. Kalau kalian mau pergi, silakan pergi dari sini. Api bisa hidup sendiri. Api nggak butuh orang tua. Api punya buku-buku yang Bapak kasih, mereka bisa kasih tau Api segalanya yang ada di dunia ini," balas Api dengan gerakan tangannya yang berekspresi.

"Nak... Apa alasan kamu enggak mau pindah dari sini? Justru kami nggak mau kamu sendirian. Kami sayang sama Api—" ucap wanita itu terpotong.

"Stop! J-Jangan buat Api nangis lagi. Api juga sayang sama kalian. Tapi, Api enggak mau ninggalin Luna. Dia temen Api satu-satunya yang bisa mengisi kekosongan hati Api. Dibanding kalian, Luna lebih banyak menghabiskan waktu sama Api. Untuk itu, Api nggak mau pergi dari sini!" tentang Api meneteskan air matanya.

Seorang wanita yang berprofesi sebagai dokter yang bernama Bunga Mawar itu duduk di samping Api dan memeluk anak kecil itu. Ia mengerti, sejak kecil, Api lebih membutuhkan pelukan Bundanya daripada pelukannya.

Jima yang berbadan kekar pun bisa menangis karena merasa bahwa seluruh kalimat yang diucapkan Api itu benar. Api tidak butuh dirinya, tapi Api butuh satu orang yang selalu bisa menerangi hari-harinya.

"Nak, kalau Ibu biarin kamu sendirian di rumah sebesar ini, nanti siapa yang masakin makanan buat kamu? Siapa yang mau cuci baju kamu? Siapa yang mau bangunin kamu dari tidur? Siapa yang antar kamu ke sekolah? Siapa yang akan membersihkan rumah? Siapa yang melakukan semua pekerjaan di rumah ini? Apa kamu tega membiarkan Luna mengerjakannya? Apa kamu kuat melakukan itu semua? Ibu rasa, tenaga kamu belum cukup untuk menjadi kuat. Jadi, Ibu mohon... sekali lagi. Tolong ikut Ibu sama Bapak ke luar kota," ucap Bunga sambil memeluknya.

SCRIBBLESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang