24

141 17 1
                                    

Jalur membawa Api menuju rumah kecil yang terletak di suatu kampung. Itu adalah rumah Langit. Sederhana, dengan dua orang di dalamnya. Langit dan Ibunya yang selalu tertidur di kasur menahan rasa perih di setiap detik dirasakannya. Ambisi seorang anak hanya ingin melihat ibu tetap hidup, seperti Langit. Langit bukan jatuh dari pohon berharga; ia hanya sungai keruh yang menolak dilempari batu. Dengan demikian, Langit pun ingin ibunya tetap ada dalam tatapannya. Dengan caranya yang egois, ia percaya bahwa dirinya bisa menjadi orang kaya. Bahwa apa yang sedang dijalaninya saat ini adalah benar. Dan, Ibu, hanya percaya pada anugerahnya, Langit.

"Lama banget lo, dari mana aja?" Langit bertanya, lantas membukakan pintu. Sembari masuk, Api mengajak Langit berjabatan.

"Ganti baju," jawab Api lantaran duduk di kursi kayu yang berdebu, namun Api tak peduli itu. Api, makhluk hidup yang bergerak dalam pikiran selalu percaya bahwa apa yang dimiliki orang lain selalu mempunyai nilai atas perjuangannya.

"Tunggu sebentar." Langit menahan Api agar tak pergi dari ruang tamu kecilnya. Ia pergi ke dapur, mencari apa yang tersisa, yang utama adalah air minum. Lalu, ia berpikir. Mungkin kalau serbuk yang dimaksud sudah datang, ini adalah waktu yang tepat buat melancarkan aksi. Sayangnya belum dikirim!

Dihidangkannya air minum dan kue khas lebaran. Opak yang alot, goreng pisang yang lesu, biji ketapang sekeras batu, dan camilan lain yang tak mungkin disantap Api. Namun, tradisi menjamu di negeri ini sudah melekat. Seperti apa pun, bentuk apa pun, makanan bersifat apa pun, akan disuguhkan agar pandangan tak terlalu kecut. Bukan memaksakan, tapi Langit memang tak ingin terlihat kosong.

"Lo belajar sama siapa bisa sepintar tadi?" Api bertanya seraya meletakkan ponsel, mengabaikannya untuk mengobrol.

"Menurut banyak peneliti, orang malas sebenarnya adalah orang genius. Bukan gue nggak mau hadir ke sekolah setiap hari, tapi sejujurnya pelajaran dari mereka itu membosankan. Makanya gue memilih daring." Langit menggaruk punggung hidungnya.

"Jawaban dari pertanyaan lo, adalah tanda tanya yang juga orang lain pikirin. Gue jawab, semua ini karena mendiang bapak gue. Dari kecil gue dididik. Masukan kata, kalimat, bahasa, teori, dunia, sejarah, fisika, dan banyak lagi. Dia bukan guru, ilmuwan, profesor, dokter, atau manusia pangkat. Dia cuma pria miskin yang punya kehebatan di otaknya. Dia selalu mau gue jadi anak baik. Bagi gue, hidup baik itu membosankan, jemu. Kita manusia, sepantasnya menertawakan adrenalin hidup," bebernya.

Api membuka bungkus rokok, menjentikkan korek, api menyala dan membakar sebatang rokok.

"Lo sendiri kenapa bisa jadi orang kaya? Gue mau tau caranya dong. Biar gue mundur dari lingkaran bajingan. Gue capek, tapi cuma berkat ini gue, ibu gue, bisa hidup." Langit menumpang rokok. Karena rokoknya dan rokok Api berbeda harga dan rasa.

"Gue gak pernah peduli sama angka di rekening gue. Lagian gue gak kerja. Bokap yang selalu kirim, dan itu bukan hasil kerja keras gue. Gue juga nggak tau caranya dapetin duit itu gimana. Mungkin lo bisa tanya temen lo itu, yang namanya Indra," jawab Api sambil menuangkan air minum ke dalam gelas.

"Gue sama dia udah bubar. Perdamaian hari itu udah nggak ada lagi." Langit mengepulkan asap rokok, tebal.

"Kenapa?" Api berbasa-basi.

"Konflik yang nggak perlu lo tau."

Obrolan mengakar kuat. Hingga berwarna matahari senja di sela pepohonan. Sampai sebuah obrolan perkenalan selesai ditumpahkan, Api bergerak pergi. Tidak ada hal yang menarik dari Langit. Tidak ada pelajaran yang bisa ia petik. Tapi, Api masih penasaran pada kepintarannya. Tidak mungkin Langit bisa begitu pintar sejak ia lahir ke bumi. Tidak mungkin seorang bayi bisa langsung melompat dari tempat tidurnya. Semua pasti ada sebabnya, atau setidaknya benturan kepala seperti di dalam film-film. Mungkin Api akan menyelidikinya kemudian hari, jika ada waktu.

•••

"Saya punya tugas buat kamu, Gald." Suara itu sangat tidak asing bagi Galda. Perkiraan Galda pun sangat tepat, orang yang meneleponnya adalah Ard!

"Om? Apa kabar, Om Ard? Saya selalu menunggu kabar dari Om, nih. Udah lama banget kita nggak bar-kabar." Galda mengalihkan obrolan inti untuk sejenak.

"Baik, Gald. Tapi saya tidak suka basa-basi." Ard adalah manusia yang tahu arti dan tujuan dari sebuah kalimat yang terucap. Ia pun paham pada niat Galda yang masih ingin berlama-lama mengobrol dengannya.

"Baik. Tugas apa, Om? Kalau saya bisa pasti saya bantu."

"Tapi kamu harus bisa. Bagaimana pun caranya."

"Baik, Om!"

Misi yang diberikan Ard kepada Galda tidak mudah. Yaitu menjauhkan siapa pun yang berusaha mendekati Api. Pengecualian, sahabat dan wanitanya. Ard bilang, utamakan untuk bermain secara hati-hati dan tetap berkepala dingin. Jika Galda sudah tahu siapa orang itu, ia harus segera mencuci otak Api agar tidak mendekati orang itu lagi.

"Apa? Api Gahara itu anak Om? Serius? Saya nggak percaya. Sumpah, saya nggak percaya!" Galda sangat-sangat terkejut ketika mendengar penjelasan dari Ard mengenai misi dan anaknya, Api. Dengan begini, Galda lebih percaya kepada Api bahwa ia bisa menjaga Sena. Karena Api adalah anak dari Kama Ardhana.

Telepon dimatikan. Obrolan sudah berhenti. Kini, giliran pembicaraan hati Galda.

Kenapa Om Ard masih butuh gue? Kan, anaknya juga pandai bertarung dan pantas jadi raja jalanan? Apa karena orang itu pakai cara manis buat memancing Ard masuk ke dalam jebakannya?

Tapi, dikasih kepercayaan sama orang kayak Om Ard, itu benar-benar menyenangkan. Apa pun itu, gue bakal melakukannya dengan baik.

Pantesan muka si Api mirip Om Ard. Ternyata anaknya.

Tapi tunggu...

Siapa dalang dibalik layar?

Buru-buru Galda menelepon nomor yang baru saja meneleponnya. Namun, dengan sangat cepat, nomor itu sudah tidak aktif lagi. Jadi, Galda tidak bisa mempertanyakan perihal apa yang ia pikirkan.

Siapa pun orang itu, siapa pun orang suruhannya. Gue bakal jadi tangan kanan Om Ard yang bakal selalu ada di samping Api buat berjaga-jaga. Kalau begini caranya, gue harus balik lagi ke SMA Padma. Karena hanya cara itu yang bisa bikin gue tau tentang Api.

Mungkin gue ingkar janji sama Sena. Tapi, tujuan gue sekarang berbeda. Gue harus ambil langkah yang berani!

Galda beranjak dari markasnya. Meninggalkan anggota-anggotanya untuk pergi ke rumah Api. Ia akan memulainya malam ini juga. Karena apa-apa yang ditunda, akan menjadi kesempatan yang takkan ditemui untuk kedua kalinya.

•••

Setibanya Api di rumah, ia melihat Reiga dan Nasa yang sedang duduk di ayunan halamannya. Lantas Reiga panik, buru-buru berlari menuju Api. Disusul Nasa yang ingin menghentikan langkah Reiga agar tidak terburu-buru memberitahu informasi yang ia dapat dari Yuna.

"Poy!" Reiga berteriak ketika jaraknya dekat dengan Api.

Api membuka helm, menaruhnya, lalu berdiri menanti Reiga berhenti di depannya.

Napas Reiga masih ngos-ngosan. Saat itu, ia langsung menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan dalam sekali. Nasa menepuk pundak Reiga. Ia menatap Rei, seolah memberi isyarat untuk tidak mengatakan informasi.

"Ada apa?" jawab Api cepat.

Nasa masih mencoba menggelengkan kepalanya agar Reiga tak mengatakan apa pun. Namun, bukan Reiga namanya jika ia tidak bocor.

Api menggaruk pipinya, rambutnya, menarik napas, memasang wajah datar, mengelus tangan beruratnya, lalu menatap Reiga begitu serius. Reiga pun menanggapi tatapan itu dengan mata serius juga.

"Gue tanya sekali lagi, ada apa? Lo jangan halangi Rei buat ngomong, Nas."

Nasa seketika tak bisa berkutik.

"Sena diculik!"

SCRIBBLESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang