35

219 21 3
                                    

New York dibasuh hujan tatkala seorang lelaki menulis surat untuk gadisnya. Di tengah malam surat itu terus ia tulis. Beberapa dari kalimatnya akan mengutuk isi kepala gadisnya yang jauh di sana.

Beberapa Minggu telah berlalu, menjadi masa lalu. Ia tahu gadisnya di sana menunggu. Namun, pilihannya adalah....

•••

Matahari mengangkat kepalanya dari sudut tanah. Sedikit demi sedikit. Pagi itu seperti dibumbui dengan kebahagiaan sekaligus kesedihan. Bagi Deras dan Hempas, sahabat seorang Kama Ardhana. Bahagia karena akan beranjak pergi, dan sedih karena meninggalkan satu-satunya sahabat yang sangat berarti bagi mereka.

"Yakin kau mau pulang sekarang, Der, Pas?" tanya Ard memastikan niat keduanya.

"Yakin. Karena kau pun tahu, Ard. Keluargaku sudah menunggu lama untuk ini," kata Deras.

"Kami sudah datang ke sini. Kami harap, kau dan keluarga bisa secepatnya datang ke rumah. Rumah kalian," sambung Hempas.

"Jaga diri kalian baik-baik di sana. Salam sama keluarga. Sehat-sehat selalu. Jangan sampai mati sebelum saya bisa datang ke sana, oke?" ucap Ard.

"Haha... Apa-apaan kau ini. Kami mati atau tidak mati, itu urusan Tuhan. Kalau kami mati pun, kau masih bisa datang ke makam kami. Jadi, jangan terlalu lama di negeri ini, pulang jugalah ke Belanda, katanya kau punya rumah di sana. Kasihan rumahmu di sana nggak ada yang mengisi." Deras menjabat tangan Ard.

"Rumah ini sama itu mau saya jual untuk nanti kami berangkat menyusul kalian. Nanti saya buat rumah yang besar di dekat rumah orang tua saya. Pokoknya tenang saja. Saya pasti tiba di sana dalam waktu dekat. Setelah misi ini selesai, saya dan keluarga pasti akan langsung berangkat," ucap Ard memantapkan jabatan.

Setelah berjabatan dengan Deras dan Hempas, Api keluar membawa sebuah amplop coklat berisikan surat.

"Aku boleh menitipkan surat ini?" tanya Api kepada Deras yang hendak membalikkan badannya.

"Untuk siapa?" tanyanya.

"Alamatnya sudah aku tulis di belakang surat. Jangan penasaran dengan isinya. Awas!" ucap Api dengan wajah seriusnya.

"Apa jangan-jangan itu bom?" Hempas berseloroh.

Semua orang tertawa terkecuali Api.

Melihat wajah Api yang begitu berharap surat ini sampai pada tujuannya dengan baik-baik saja, Deras mengiyakan dan memasukkan surat itu pada tasnya.

"Kami berangkat, ya, Ard!" ucap Hempas, disusul Deras, mereka melambaikan tangan, lalu memasuki mobil.

Mobil hitam itu pergi menjauh dari rumah Ard. Disusul Ard yang juga akan berangkat bertugas.

Garma dan Maria memang sedang keluar mencari bahan makanan. Jadi, Deras dan Hempas hanya menitip salam untuk terakhir kalinya kepada Ard, Ard pun menitipkannya kepada Api karena ia pun akan segera berangkat. Sebelum berangkat, Ard bertanya.

"Tadi itu, surat untuk siapa?"

"Untuk siapa pun, ayah enggak perlu tahu, kan? Lagipula, ayah kan mata-mata, kenapa harus nanya ke aku?" jawab Api yang sambil membaca buku, tatkala Ard masih memakai sepatunya.

"Pengin dengar dari kamu. Ayah tahu surat itu tujuannya sama Sena Xeenia. Anak dari teman dekat ayah dulu," ucap Ard lancang tanpa ekspresi.

Api terkejut. Mengagumi ayahnya seketika. Memang patut menjadi seorang mata-mata negara!

"Ayah berangkat sekarang. Bilang sama nenek kakek kamu. Jangan lupa makan dan jaga kesehatannya. Kamu juga. Jagain mereka berdua. Kalau sampai ada apa-apa, ayah yang akan bunuh kamu."

"Sebelum itu, aku yang akan meracuni ayah!"

Tatapan mereka tajam, namun bibir mereka tersenyum miring. Berjabatan tangan, lalu berpelukan.

"Jaga dirimu baik-baik di sini," ucap Ard lembut saat dalam pelukan.

"Ayah juga," balas Api.

Mobil Ard melaju lambat di trotoar jalanan. Sembari menikmati betapa bahagia perasaannya saat ini. Tak pernah ia sesemangat itu berangkat bekerja. Jika saja sejak dulu ia bertemu Api, mungkin hidupnya takkan sedingin itu. Tapi semua telah ia miliki sekarang. Saat ini, Ard hanya perlu menjalankan misi terakhirnya sebagai seorang mata-mata. Setelah itu, ia akan menjadi pensiunan.

•••

Seseorang mengetuk pintu rumah Hara tatkala Hara dan Sena sedang memasak. Terlihat juga Galda yang sedang berjaga bersama empat temannya di halaman depan rumah.

"Ada yang mengetuk pintu. Mama buka dulu, ya. Itu kamu iris cabainya. Jangan tipis-tipis," ucap Hara segera menuju pintu.

Saat dibuka, sedikit terkejut karena yang ia lihat adalah Deras, kawan baik Ard sejak SMA.

"Deras? Ada apa? Mau ngasih tau soal reuni? Saya udah tau itu, kok," kata Hara sembari mempersilakan Deras masuk.

"Saya ke sini buat antar surat," jawab Deras.

"Surat? Kau jadi pengantar surat sekarang? Hebat!"

"Hey! Bukan begitu. Ini surat dari anak Ard, di sini tertulis buat Sena Xeniaa. Itu anakmu?" tanya Deras menatap Hara.

"Api? Dia apa kabar? Bagaimana keadaannya? Di mana dia sekarang?" Hara melayangkan pertanyaan beruntun kepada Deras.

"Ceritanya panjang," balasnya.

"Pendekin," timpal Hara.

Deras menundukkan kepalanya. Seharusnya dia tidak berlama-lama di rumah Hara. Namun, sepertinya Hara sangat ingin tahu tentang Api dan apa yang terjadi padanya.

Pada akhirnya, Deras pun ikut makan malam bersama Hara dan Sena. Sambil menceritakan semua tentang Api dan Ard kepada anak dan ibu.

Bahkan Sena dibuat menangis karena pembawaan cerita Deras yang terperinci dan detail. Sebab, Api sempat menceritakan semuanya kepada Deras dan Hempas ketika mereka sedang bertiga.

Seusai menceritakan segalanya, Deras pun pamit pulang. Sedangkan Sena masuk ke kamarnya sembari membawa surat itu.

Sena duduk di kursi belajarnya. Menaruh sobekan kertas penuh catatan di atas mejanya.

Di dalam surat itu tertulis sebuah puisi,

Untuk Sena Xeenia...

Kamu adalah harta berharga yang aku miliki.

Kamu adalah hal terbaik yang tidak akan aku abaikan.

Kamu adalah manis-manisnya dunia yang akan selalu aku rasakan.

Kamu adalah api yang tidak akan pernah padam dalam hidupku.

Kamu adalah segalanya. Melebihi apa yang ada di tanah semesta.

Dan jika saja aku meninggalkanmu, ada dua alasan.

Pertama, aku telah memilih menjadi manusia terbodoh di muka bumi karena meninggalkan kamu demi seseorang.

Kedua, Tuhan telah memilih aku untuk bersatu dengan tanah seutuhnya.

Jika saja aku mengkhianatimu, tinggalkan aku. Sekalipun hatimu sulit untuk melepaskan.

Jika saja Tuhan memilihku, lepaskan aku. Sekalipun ragamu sulit untuk meninggalkan aku kedinginan di dalam tanah alam.

Aku mencintaimu.

Aku menyayangimu.

Tak usah ragu, percayalah, aku tahu kau pun tahu.

Di sini, aku akan baik-baik saja.

Di sini, aku akan tetap mencintaimu.

Aku akan pulang dua tahun lagi.

Jaga diri kamu baik-baik sampai aku bisa kembali berjalan di sebelahmu sambil memegang erat tanganmu dengan hangat.

Tertanda:
Api Gahara

TAMAT

SCRIBBLESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang