23

165 18 2
                                    

"Kamu mau ke mana?" tanya Api pada Sena yang berdiri di depannya.

"Yuna sama Gea ngajak aku main ke Taman Halo. Aku mau ikut mereka. Suntuk kalau di rumah terus," jawab Sena. "Aku ke mereka dulu, ya!" tuturnya lalu pergi.

"Hati-hati, ya! Kalau ada apa-apa langsung telepon aku."

Sena melambaikan tangannya seraya menjauh dari Api menuju tempat dua temannya berdiri.

Tak lama setelah Api membiarkan Sena, dua sahabatnya muncul di pinggir kiri dan kanan. Mereka cengengesan sambil melihat Api. Meski beberapa kali Api menanyakan "Kenapa" pada mereka berdua, tapi Reiga dan Nasa tetap cengengesan.

"Gue tanya kenapa, kenapa? Jangan ketawa terus!" sentak Api menatap keduanya dengan begitu tajam.

"Gue masih heran sampai sekarang, kenapa lo deket banget sama cewek itu. Api yang gue tau itu cuma suka sama satu cewek yang selalu lo ceritain namanya Luna. Tapi kenapa lo malah suka sama cewek itu?" tanya Reiga yang masih cengengesan.

"Iya, Poy. Gue aja gak nyangka sama lo. Apalagi akhir-akhir ini lo selalu nolak kalau kita mau ke rumah lo. Apa jangan-jangan lo jatuh cinta sama dia, ya?" ledek Nasa.

"Bukannya gue suka sama cewek itu. Kalau bukan karena adanya tujuan, nggak bakal gue deketin Sena. Buat apa, gak bermanfaat," kilah Api yang tak ingin Nasa dan Reiga tahu tentang hubungannya dengan Sena. Karena ia adalah satu dari banyak lelaki yang memilih untuk memprivasi sebuah hubungan dengan satu prinsip, yang hening-hening itu biasanya langgeng.

"Widiihhh.... tujuan apa tuh?" tanya Reiga.

Nasa menjitak Rei, "Lo tau jawabannya, tapi masih lo tanya. Bodoh!"

"Nggak usah tau urusan gue!" balas Api berbarengan dengan Nasa dan Reiga yang menirukan jawabannya.

Api melirik dua temannya dengan mata kesal, ia pun masuk ke mobil dan segera bersiap untuk bertemu dengan Langit.

"Woi! Mau ke mana lo? Lo gak mau ajak kita nih?" teriak Reiga pada Api yang hendak masuk mobil.

"Gue ada urusan sama Langit. Malem aja, kita ngopi di rumah gue," balas Api menutup pintu mobilnya.

"Ada urusan apa dia sama Langit?" tanya Reiga pada Nasa tanpa berdosa.

"Kok, elu nanya sama gue, sih?" balas Nasa kebingungan.

"Elu kan biasanya sok tau, Nas."

"Beli nasi di Perancis. Nasinya digoreng biar tambah lemak. Hey kau wahai iblis, kau kira saya emak-emak?"

"Gue pulang lah. Males ngomong sama anak Betawi," ucap Reiga. "Apa-apa dibikin pantun," tuturnya meninggalkan Nasa.

"Itu budaya, Centong!" suara Nasa melengking.

•••

Sena, Yuna, dan Gea sedang berada dalam mobil angkutan umum. Sena duduk sendiri di bangku kiri, menghadap kepada Yuna dan Gea yang duduk bersebelahan.

"Yuna. Aku belum tahu pasti kenapa aku tetiba bisa masuk SMA. Karena baru kemarin aku merasa masih pakai seragam SMP. Api bilang, aku lupa ingatan. Tapi aku heran, kenapa aku enggak lupa Mama." Senandung bicara Sena seolah ingin dipahami. Menunduk, menatap Yuna dan Gea, lalu diam.

"Gue juga masih bingung, Sen. Sama perubahan lo yang sekarang. Serius, deh. Agak gimana gitu gue denger lo bilang aku-kamu. Karena Sena yang gue kenal itu sosok cewek yang berkharisma. Bukan cewek yang begini. Polos, kalem, sopan, pendiam. Tapi enggak buruk juga, sih. Justeru lebih baik." Gea menjawab sambil menatap tatapan Sena. Sena juga tampak mengamati dua temannya.

Yuna mengalihkan pandangannya, menatap langit cerah di luar jendela. "Semuanya udah terjadi. Kita enggak mungkin bisa mengulangi waktu. Cukup sabar aja. Kita coba lagi pelan-pelan, nanti juga sejalan. Lagian kita masih mau berteman sama lo kok, Sen."

Sena terlihat sedih. Air matanya terbendung, menciptakan mata menjadi berkaca-kaca. "Entah kenapa, aku sedih. Sedih karena aku lupain temen sebaik kalian. Tapi aku bakal berusaha, kok. Kalian jangan kecewa." Suara Sena tersedu-sedu. Mengangkat wajahnya, mengusap air yang menggenang di pelupuk matanya, sambil terisak. "Buat Gea. Mungkin aku nggak bakal kembali jadi Sena yang kamu kenal itu. Tapi aku bisa menjadi Sena yang pribadinya lebih bikin kamu tenang. Kalau Sena yang kamu tau adalah pemarah dan pembenci, Sena yang sekarang adalah kebalikannya. Aku akan berusaha buat nggak menjadi pribadi yang membosankan buat siapa pun," tutur Sena, ia masih memalingkan wajahnya.

Tangan Gea mendarat di wajah Sena. "Nggak perlu dipaksa, Sen. Gue bakal suka sama arah mana pun yang lo pilih. Cuma, dari dulu ucapan gue emang selalu sembrono. Lo yang dulu udah biasa sama gue yang ceplas-ceplos. Maafin gue. Gue salah." Gea membuat Sena menatapnya. Dalam beberapa detik, Sena tetap meniliknya. Wajah Gea yang imut, pipi cabi, mata sipit, dan hidung mancung itu mesti dikenali oleh Sena lebih dalam lagi.

Otak Sena berputar sangat hebat. Perasaan menuntutnya untuk mengingat. Setidaknya mendekati ingatan di umur tujuh belas tahun. Namun, semakin dipaksa, malah semakin sulit mengingat orang-orang yang dikenalinya sejak baru berumur enam belas tahun. Sena hanya mengingat Juli, Serli, Riska, Dalia, dan Tiana. Teman sebayanya di SMP yang belum ia temui lagi. Mungkin Sena lupa, bahwa kehidupannya telah berjalan selama dua tahun dan telah banyak perubahan di hidupnya selama ini.

Angkutan umum berhenti, melihat Taman Halo yang indah, lamunan Sena terurai pecah. Di sana sepi, tidak seperti hari libur yang banyak pengunjung. Hanya ada beberapa pedagang minuman acak yang duduk sambil mengipasi wajahnya dengan sobekan kardus.

Semenit kemudian saat baru saja hendak melangkah, segerombolan orang datang dari arah barat, menuju ke tempat Sena berdiri. Sena, Yuna, dan Gea bengong melihat begitu banyak lelaki yang muncul secara tiba-tiba. Mereka semua memakai helm, lalu berhenti di depan Sena. Jaraknya sekitar lima meter dari tempat mereka menghentikan motornya. Di balik kerumunan itu, ada mobil juga di baris belakang. Enam orang turun, berlari kencang menuju Sena. Yuna dan Gea melarikan diri dengan panik, sedangkan Sena hanya diam, tak tahu mesti berbuat apa. Akhirnya Sena dibekap dan dibius sampai ia tak sadarkan diri. Kemudian dimasukkan ke dalam mobil dan dibawa pergi entah ke mana. Yuna dan Gea pun berhasil ditangkap. Namun, tatkala keduanya sadar, mereka berada di depan rumahnya masing-masing.

"Se-Sena?" sebut Gea saat baru sadar. Melihat sekelilingnya, begitu familier. Dirinya kira tubuhnya akan dibawa ke ruang gelap bawah tanah dan disekap sampai orang tuanya menebus, tapi ternyata ia diletakkan di gedung kumuh yang tak jauh dari rumahnya.

Begitu pun dengan Yuna. Yuna pelan-pelan membuka matanya, ternyata sudah malam. Ia berdiri, berjalan gontai, mencari keberadaan dua temannya. Yuna baru menyadari bahwa dirinya berada tepat di belakang tembok pembatas kompleks perumahannya.

"Siapa mereka?" Yuna berpikir keras sambil berjalan menuju rumahnya. Memutari pembatas tembok, sampai di gerbang depan. Yuna bertanya pada satpam di sana, "Pak. Ada yang melihat segerombolan orang datang kemari lewat jalur warga di belakang tidak?"

"Perasaan saya nggak lihat ada iring-iringan lewat sini ataupun belakang. Memangnya kenapa?" tanya satpam membetulkan sabuk dan topinya.

Yuna hanya menggelengkan kepalanya. Ia berjalan lagi, melewati dua satpam. Tatapannya kosong, pikirannya berkeliaran. Tidak ada hal lain yang dipikirkannya selain keselamatan dua temannya dan satu yang terutama, siapa mereka? Apa tujuan mereka? Yuna kebingungan, karena berpikir terlalu keras, saat sampai di kamar, Yuna langsung merebahkan tubuhnya. Berharap hal ini hanya mimpi buruk baginya. Karena mau bagaimanapun, ia amat sangat menyayangi kedua temannya itu.

SCRIBBLESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang