29

151 12 3
                                    

Api membuka matanya perlahan-lahan. Melihat sekitarnya serba putih. Benda-benda asing yang menjadi hal-hal pertama yang dilihatnya. Matanya berat, sulit untuk menatap sekitar dengan jelas. Matahari menyorotkan sinarnya begitu kuat dari luar jendela. Tangannya menutupi wajahnya. Terus berusaha meyakinkan mata bahwa cahaya matahari masih nyata untuk hidupnya. Beberapa detik pun berlalu, Api juga berhasil memperjelas penglihatannya.

Di sofa pinggir kasur yang ditidurinya, ada seorang wanita berambut lurus bernama Def. Def berdiri setelah melihat Api membuka matanya. Api melihatnya kebingungan, namun wajah itu begitu familier di matanya.

Def memegang tangan Api yang tergeletak lemas di atas kasur. "Apa kamu sudah membaik?" tanyanya lembut.

"Kamu ... siapa?" Api bertanya balik, melihat wajah wanita itu.

Tiba-tiba Def meneteskan air matanya. Seperkian detik sekali satu tetesnya berjatuhan. Api melihatnya iba.

"Apa yang membuatmu menangis? Bukannya aku cuma bertanya siapa kamu?" ucap Api.

"Aku tau. Aku menangis karena aku sedih mendengar kamu menanyakan itu, Api. Sudah jelas-jelas aku Bundamu. Bunda yang merawatmu sejak lahir sampai sekarang...." Def meneruskan tangisannya, dramatis. Tidak terlihat seperti pura-pura.

"Kamu, ibuku?" Mata Api berkaca-kaca. Mengangkat kedua lengannya, berusaha duduk dari posisi terbaringnya, lalu memeluk Def. Entah mengapa, Api juga meneteskan air matanya.

Sambil memeluk balik, Def tersenyum miring dan membalas, "Iya. Aku ibu kandung kamu."

"Kenapa aku bisa begini, Bun? Apa yang aku lakukan sampai aku hilang ingatan?" tanya Api masih berada dalam pelukan.

"Kamu kecelakaan dan pelakunya adalah ayahmu sendiri. Memang, dari dulu dia selalu berusaha membunuh keluarga kita. Padahal, Bunda sudah meminta cerai, tapi ayahmu tetap menolak dan selalu ingin memperalat kita. Ayahmu sengaja membuatmu celaka supaya Bunda nggak hadir di acara fashion show yang akan menaikkan nama Bunda. Dan rencana dia berhasil karena Bunda lebih memilih merawat kamu daripada mengikuti acara itu," kilah Def penuh tipu daya. Tujuannya hanya satu, mencuci otak anaknya.

Api mengepalkan tangannya erat-erat. Melepaskan pelukannya. "Setega itukah ayah?" Sambil menatap Def tajam.

"Iya. Itu sungguhan!"

"Kalau begitu ajak aku bertemu dengan sosok ayah bajingan itu. Biar aku menghajar dia sampai habis karena telah membuat Bundaku sakit hati. Aku, sebagai anak, enggak terima Bundaku satu-satunya, yang menyayangiku, dibuat tersiksa oleh pria bangsat seperti dia!" ujar Api penuh emosional.

Def kembali memeluk Api sembari menangis. "Nggak perlu lakuin hal semacam itu, Api. Biar Bunda saja yang disakiti sama dia, asal jangan kamu. Ayahmu itu kejam. Dia bisa membunuh orang cuma dengan tiga kali pukulan. Karena dia mata-mata hebat negara." Def tersenyum iblis, merasa berhasil menipu anaknya.

Api berwajah datar. "Kalau begitu aku bisa membunuhnya dengan satu pukulan!"

"Kamu baru sembuh, sayang."

"Aku sudah pulih, Bun. Ayo bawa aku ke hadapan dia sekarang juga!"

"Nggak. Bunda menolak. Setidaknya kamu harus di rumah dulu selama satu Minggu. Setelah itu Bunda pasti mempertemukan kamu sama ayahmu," ucap Def mencoba meredakan Api yang terlihatnya sedang panas-panasnya.

Bukannya Def tidak mau mempertahankan anak dan ayah, justru Def menginginkannya. Karena menurutnya ia telah berhasil mencuci otak Api. Dengan begitu, Def bisa menyaksikan Api menghajar Ard sampai habis. Dan ia juga tahu kalau Ard tidak akan berani memukul anak kesayangannya.

"Ya udah kalau itu mau Bunda. Api cuma nggak mau siapa pun menyakiti Bunda."

"Iya sayang, Bunda ngerti. Cuma jangan sekarang. Semua ada waktunya. Apalagi, sekarang Bunda harus terbang ke Spanyol buat kerjasama dengan perusahaan teman Bunda. Mungkin, pulang dari sana, Bunda ajak kamu ketemu ayah kamu, yah?" kilah Def. Padahal, ia sedang sibuk-sibuknya. Tahu kabar dari dokter kalau Api akan sadar sebentar lagi, Def mengambil waktu kosong agar bisa memulai dramanya.

"Terus mau berangkat sekarang?" tanya Api.

"Iya. Tapi kamu di rumah aja, ya. Jangan ke mana-mana. Tetap di kamar kalau bisa." Def membujuknya. Karena ia takut, Maria dan Garma akan memberitahu tentang semuanya mengenai siapa Api.

"Iya, Bun."

Def mencium kening Api. Itu, adalah hal pertama yang ia dapatkan dari ibu kandungnya, meski Def hanya melakukannya sebagai sandiwara untuk meraih hati anaknya, agar kemudian Api menuruti apa yang dikatakannya. Begitulah kira-kira kelicikan seorang Syellna Def Merra.

Def melangkah keluar dar kamar Api. Menuju tempat Maria dan Garma menghabiskan waktunya dengan menjahit gaun-gaun mewah untuk Def jual. Def memperlakukan mertuanya seperti itu agar Maria dan Garma berguna untuknya. Sekejam itulah sifat seorang Syellna Def Merra.

"Kalian! Kalau kalian berani-beraninya mempengaruhi anak saya, saya tidak akan segan-segan untuk membuat kalian mati berdiri!" ancam Def saat baru saja masuk ke ruang kerja.

"Apa? Anak? Bayi yang kamu bilang meninggal itu, maksudmu?" Sontak Garma terkejut. Sebab, Def bilang kalau bayinya meninggal saat baru saja keluar dari perutnya. Padahal, Def menyuruh dokter itu untuk membawa bayi itu pada seseorang yang membutuhkan. Seseorang yang membeli bayi itu adalah orang Indonesia. Sepasang suami-istri yang pernah merawat Api kecil dengan tulus.

Def langsung menggertak pintu dengan keras sambil menunjuk dua orang tua yang terlihat sudah renta dan lelah itu.

"Pak? Apakah yang dia maksud itu anak dari Ard? Berarti, dia cucu kita? Aku mau lihat anak itu, Pak. Aku mau lihat cucu pertama kita!" Maria dengan perasaan yang entah sedih atau senang, bergegas menggeser kursinya, berdiri dan hendak membuka pintu. Namun, Garma menahan lengannya.

"Setidaknya tunggu sebentar. Setelah dia pergi dari rumah ini, kita temui anak itu. Kalau dia mirip sama Ard, sudah pasti dia cucu kita," ucap Garma menenangkan Maria.

Maria memahami perkataanya. Mencoba meredakan nafsunya, dan duduk kembali ke tempatnya menjahit. Tapi perasaannya masih tertuju pada penasaran dan penasaran. "Aku yakin itu cucu kita. Karena sejak bayi itu dilahirkan, aku merasa ada yang janggal. Dari dulu aku selalu mempertanyakan pada diri sendiri, pada Bapak juga pernah, soal ke mana jasad anak itu dibawa pergi? Dan kenapa Def tenang-tenang saja saat anak yang dikandungnya sangat lama meninggal?"

"Betul, Bu. Tapi kita harus sabar. Meminimalisir kecurigaan. Kalau sampai salah sangka, kita sendiri yang akan malu. Pasalnya, Def tidak bilang itu anak Ard, dia hanya bilang anaknya. Mungkin anaknya dengan lelaki lain."

"Terus kenapa dia takut kita mempengaruhi anak yang dia maksud? Kalau itu anak dari lelaki lain, dia nggak perlu sebegitunya. Pakai memberi tahu kita segala."

"Hm... Benar juga, ya? Mungkin...."

"Semua jelas, Pak. Aku yakin, anak yang dia maksud itu adalah cucu kita. Dan aku yakin, wajahnya amat sangat mirip dengan Ard. Keyakinan ini membara secara tiba-tiba di benakku, entah kenapa. Mungkin, perasaan antara nenek dan cucu."

"Iya, Bu, iya. Sabar. Sebentar lagi. Jangan dulu egois. Tunggu sebentar, ya?"

Maria mengangguk, menuruti larangan suaminya. Sambil berharap di ruangan yang sempit itu (yang tadinya gudang), agar waktu dengan cepat berputar. Rasa penasarannya sudah tumbuh seribu kepala.

Bermenit-menit kemudian, setelah didengar sudah tidak ada suara apa pun di luar, Maria dan Garma membuka pintu. Garma mengecek sekitar perlahan, hasilnya, aman.

SCRIBBLESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang