30

127 17 0
                                    

Garma membuka pintu kamar Api perlahan-lahan. Melihat Api yang sedang terduduk di meja makan dalam kamar, meminum dan memakan hidangan. Garma hanya melihat tubuh bagian belakang Api. Belum memastikan apakah wajahnya mirip Ard atau tidak.

"Ada tidak, Pak?" tanya Maria.

"Ada. Tapi tubuhnya tinggi, nggak kayak Ard yang pendek. Tubuhnya kelihatan kuat, sama kayak Ard. Tapi coba kita datangi," balas Garma membuka penuh pintunya.

Garma dan Maria masuk. Api mendongak menoleh, melihat dua wajah keriput yang menguntitnya. Seketika Maria melotot, terkejut oleh wajah Api yang hampir sama persis seperti sosok Ard.

"A-Ard?!" Garma pun terlihat kikuk. Karena sudah bertahun-tahun ia tak melihat wajah anaknya. Sebab, selama ini Garma terus dikurung dalam satu sangkar yang besar namun terasa begitu sempit. Begitu pula dengan Maria. Saat melihat wajah Api, Maria pingsan.

"Bu? Bu?" Garma mencoba kembali menyadarkan Maria yang tergeletak.

Api menghampirinya, Garma sedang fokus menyadarkan Maria. Secara tidak disadari, Api sudah duduk di samping Garma. Wajah orang tua itu menoleh perlahan, menguatkan mental untuk menatap Api.

"Siapa kalian?" tanya Api pada Garma.

"Itu pertanyaan kami. Siapa kamu?" Garma bertanya balik. Meletakkan tubuh Maria perlahan, membiarkannya sadar sendiri. Sementara Garma dan Api mengobrol.

"Aku Api Gahara."

Garma melongo. Benaknya mengingat sesuatu. Sepertinya ia pernah mendengar nama itu. Setelah beberapa detik, akhirnya ia menemukan ingatannya. Seseorang tanpa nama pengirim mengirimkan surat yang berisikan nama "Api Gahara" dan kalimat "Telah lahir" kepada Garma. Sayangnya, surat itu dirampas oleh Def dan dibakar di depannya. Hingga Garma dan Maria melupakan isi dari surat itu.

Garma berdiri, Api pun juga. Garma menatap wajah anak itu dalam-dalam. Lalu, memeluknya.

"Saya bapak kandung Ard, ayahmu. Dan saya Kakek kamu, Api Gahara." Mengucapkan kalimat itu, Garma menangis dalam pelukan.

"Ka-Kakek? Sejak kapan? Aku belum pernah mendengar sekalipun soal kakek dari siapa pun. Dan, Ayah? Apakah nama ayahku Ard?"

Garma melepas pelukan. Menatap Api. "Saya yakin kamu anak Ard. Wajah kalian hampir serupa, yang buat saya percaya kamu cucu saya. Tapi, kenapa kamu bertanya soal ayahmu? Apakah kamu lupa?"

"Kata Bunda, aku kecelakaan dan hilang ingatan. Dan kecelakaan itu dibuat oleh ayahku sendiri. Bunda yang bilang itu. Yang membuat aku membenci ayahku sendiri," jawab Api.

"Def, sialan!" gumam Garma. "Sejak kapan Ard menjadi sosok ayah yang jahat? Def sudah mencuci otak anak ini. Alasan dia melarang saya mempengaruhinya adalah karena Def tidak mau anaknya ini mengetahui kebenaran yang ada dalam keluarga ini. Malang sekali nasibmu, Api Gahara. Saya akan membantumu!" tuturnya dalam hati.

"Semua itu bohong, Nak. Ayahmu, Kama Ardhana, adalah ayah yang menyayangi orang tuanya dan anaknya, yaitu kamu. Dia bekerja sebagai mata-mata negara, dipaksa oleh Def supaya memberikannya uang terus-menerus. Ayahmu telah menjadi budaknya Def. Begitu juga dengan kami yang telah menjadi sandera selama bertahun-tahun di rumah ini tanpa keluar rumah sekali pun semenjak kami masuk rumah ini. Bahkan untuk melihat matahari dari halaman rumah pun kami dijaga ketat. Karena ada puluhan penjaga di rumah ini untuk menjaga kami berdua agar tidak kabur. Melakukan berbagai macam cara pun hasilnya nihil. Dan kamu harus tau, Def adalah ibu sekaligus anak terkejam yang ada di dunia ini. Dia juga meminta orang tuanya untuk bekerja untuk dia, tunduk padanya. Tapi ayahmu, saya yakin, sedang mencari cara supaya kita terbebas dari sini, dari kurungan seorang Def!"

"Kalau Bunda sekejam itu, kenapa kalian atau ayah yang menjadi seorang mata-mata hebat, tidak membunuh Def? Itu akan lebih mudah, kan?" tanya Api.

"Memang, dengan membunuh Def, kita semua akan terbebas, termasuk orang tua kandungnya Def sendiri. Tapi yang jadi masalah, Presiden Amerika Serikat adalah kekasihnya. Bagi seseorang yang berhasil membunuh Def, pasti akan mendapatkan hukuman mati juga. Saya, melarang keras Ard untuk membunuh Def agar dia tetap hidup. Begitupun Ard yang melarang keras saya dan nenekmu—" wajahnya berpaling kepada Maria. "Untuk tidak membunuh Def. Dia tidak mau orang tua yang disayanginya dihukum mati."

Api terdiam. Sebagai anak Def, seorang ibu yang licik, Api juga berencana untuk membuat sesuatu yang lebih licik.

"Kakek yakin sama penjelasan itu?" tanya Api menatap Garma.

"Ya, kakek yakin. Karena itu kenyataannya! Jangan mudah percaya sama omongan sosok Def, dia itu manusia licik yang diciptakan Tuhan dari kotoran babi. Jadi, kamu sebagai keturunan Ard, harus bisa berpikir agar kita semua yang berada dalam cengkeraman Def bisa terbebas."

Api menjadi semakin percaya pada Garma. Api memeluknya, Garma pun juga. Sambil berpelukan, Garma menangis. Alangkah sedihnya ia tidak bisa merawat cucunya sendiri. Alangkah menyesalnya ia menyetujui pernikahan Ard dengan Def. Ia merasa bodoh ketika memeluk cucunya. Merasa bodoh karena merasa tidak becus membina sebuah keluarga.

Setelah mereka berpelukan, Maria terbangun. Kedua lelaki di sana menatapnya. Dengan kuat Maria membangunkan tubuhnya sendiri, namun tidak bisa. Api membantunya berdiri. Maria langsung memeluknya erat-erat. Sambil menangis, Maria terus mengutuk diri sendiri. Kata "maaf" selalu terucap di bibirnya.

Keluarga yang telah lama terpisah itu pun bersatu. Maria menyeduh teh, senyumnya tak pernah lepas pada wajah Api.

"Dulu, ayahmu suka sekali sama teh buatan nenek. Tapi sayangnya dia itu jarang pulang," ucap Maria sambil meletakkan cangkir teh untuk Garma, Api, dan dirinya.

"Dulu ayah jarang pulang?" tanya Api menggenggam cangkir itu dengan kedua tangannya.

"Iya. Sekalinya pulang, nenek suruh ke sekolah karena ayahmu dapat teguran. Dia itu pintar, sebenarnya. Cuma dia suka bolos, berantem, segala macem pokoknya yang aneh-aneh. Dan, yang jelas, dia itu jarang pulang. Dia minta rumah sendiri, terus rumahnya diisi sama anak-anak geng motornya itu," beber Maria.

Api menikmati teh dan percakapannya.

"Sudah, Bu. Nggak perlu diceritakan masa lalu Ard yang buruk. Coba ceritakan yang baik-baik," kata Garma sambil meneguk kopi.

"Orang nggak ada baiknya dia itu," bantah Maria melotot.

Garma tersenyum, tersedak, batuk-batuk. "Benar juga, sih."

Api tertawa. "Nakal seperti apa sih yang ayah lakukan?" tanya Api.

"Ya, begitu. Banyak intinya. Nenek sama kakek, puluhan kali bolak-balik Polsek cuma buat bawa pulang ayahmu yang selalu bikin onar. Terus setelah dibebasin, malah menghilang. Entah ke mana," lanjut Maria memakan rotinya.

Sambil mengunyah, ia terus berbicara: "Pernah satu kali dia curhat soal pasangannya. Bukan Def. Dia bilang kalau dia mau menikah. Padahal masih kelas sepuluh, baru masuk sekolah! Katanya, baru kenal satu hari, terus langsung jatuh cinta. Hahaha.... Emang ada-ada saja itu anak."

Garma hanya menggelengkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh istrinya itu benar semua.

"Tapi, mau bagaimanapun, dia itu anak yang baik. Dia khawatir sama orang tuanya yang sakit. Dia peduli sama kawan-kawannya. Sikap dia emang cuek sama siapa pun, tapi dia punya hati yang berwarna. Ayahmu itu, panutannya para remaja seumurannya dulu," ucap Garma.

Api senang melihat Garma dan Maria bercerita tentang ayahnya. Beruntung sekali Ayah, mempunyai sosok orang tua yang menyayanginya. Sedangkan aku? Aku punya orang tua yang bahkan tidak pernah menerima pelukan. Jadi, sampai kapan konflik keluarga ini berhenti? Apakah aku harus membebaskan Kakek-Nenek dan Ayah dengan cara membunuh ibu kandungku sendiri, agar mereka bertiga berkumpul kembali seperti sediakala? Atau aku mesti bunuh diri, agar aku sendiri terbebas dari kutukan takdir yang menyakitkan ini?

Ada senyum yang tercipta bahagia di depan orang tua ayahnya saat cemburu membakar hati Api. Maria dan Garma lupa, bahwa cucunya, Api, tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

SCRIBBLESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang