Ini pasti hari sialku, pikirku saat aku bertemu dengan Leo di lift. Dua hari cuti dan dua hari libur resmi kantor, seninnya aku sudah harus masuk kerja lagi dan bertemu Leo.
Sebenarnya kemungkinan kecil bagi staf biasa seperti aku bertemu Presdir sesering ini. Apalagi para petinggi sekelas Direktur keatas punya lift sendiri yang tidak bercampur dengan karyawan lain. Tapi kenapa aku malah bertemu Leo di lift karyawan?
Dia juga sedang antri di depan lift bersama karyawan lainnya. Tapi sepertinya tidak ada karyawan lain yang berani antri dekat-dekat dengan Leo. Auranya memang luar biasa, tapi memang siapa yang berani ikut berdesakan berebut lift bersama Presdir? Ada rasa segan diantara kami.
Aku melirik lift eksekutif yang letaknya memang di samping lift karyawan yang jumlahnya tiga itu. Ada tanda dalam perbaikan di depan lift. Pantas saja Leo harus antri lift bersama karyawan lain.
Untuk ukuran grup Swara yang jumlah karyawannya lebih dari lima ribu orang, jumlah lift yang cuma tiga dan satu khusus eksekutif itu memang kurang. Kami jadi harus berangkat pagi-pagi sekali untuk rebutan lift. Mengesalkan memang.
Tapi untunglah pagi ini jumlah karyawan yang antri lift tidak terlalu banyak. Mungkin karena sudah hampir jam delapan kurang lima menit, sudah hampir masuk jam kantor. Yang antri disini rata-rata karyawan yang telat seperti aku.
Karena tubuhku relatif mungil aku menyelinap diantara tubuh orang-orang yang antri lift. Aku tidak ingin Leo melihatku jadi aku menyembunyikan diriku sebisa mungkin.
Tapi dasar matanya yang tajam atau tubuhnya yang kelewat jangkung, matanya melihatku yang langsung pura-pura tidak melihatnya. Ia nampak menyipitkan matanya tidak suka dan ada sinar mengerikan disana.
Aku berdiri di belakang mas-mas kemeja merah. Antri disebelah lift yang akan di naiki Leo, tidak ada orang lain yang ikut antri bersama Leo. Mungkin mereka sama takut dan segannya sepertiku kalau harus satu lift dengan Pak Presdir. Hanya alasanku tentu saja berbeda.
Lift kami berdua berbarengan terbuka, tapi belum sempat aku melangkahkan kaki masuk ke dalam lift, seseorang sudah menarik tanganku agar ikut masuk ke lift yang lain.
Tentu saja aku tahu siapa orang yang sudah menarikku itu. Otomatis beberapa orang yang belum masuk lift melihat kearah kami dengan heran. Aku malu dan pura-pura tidak melihat tatapan mereka, sementara Leo sendiri tidak peduli. Tetap dengan wajah pokernya dan cepat menutup pintu lift sementara tangannya masih memegang tanganku.
"Lepasin." Aku menyentakan tangan Leo kesal. Mengusap pergelangan tanganku dengan cemberut. "Sakit tahu."
"Telat?" Leo sama sekali tidak peduli pada keluhanku. Sebenarnya kapan dia pernah peduli padaku? Ah, pernah. Saat kami masih kecil dan dia belum tahu mengenai perjodohan itu.
"Ban mobilnya bocor," kataku. "Bapak sendiri juga telat."
"Baru ketemu Pak Singgih. Beliau harus mengejar penerbangan ke eropa."
Pak Singgih Presiden Komisaris di Swara.
"Gimana cutinya?"
"Lumayan." Aku melihat cuma kami berdua yang ada di lift ini. Yang lain pada takut ternyata satu lift sama Presdir.
"Kalau cuma untuk menghindari saya kamu gak perlu cuti. Apalagi pakai pura-pura gak liat segala." Leo mengejekku. Sepertinya dia tahu kalau tadi aku memang pura-pura tidak melihatnya. "Kalau gak merasa salah, gak akan takut kayak gitu."
"Maksudnya?" aku menatapnya tajam.
"Kamu tahu apa yang saya maksud," ucapnya sinis.
"Maksud kamu soal Della?Memang kapan saya minta kamu ngakuin Della sebagai anak kamu? Della itu anak saya, saya gak butuh pengakuan kamu." Aku tak kalah sinisnya. Apa pagi-pagi begini dia mau ngajak tarung?
"Tapi karir saya bakal hancur kalau ada orang kantor yang tahu saya punya anak di luar nikah!"
"Apa kamu pikir karir saya juga gak akan hancur? Apa kamu pikir Della juga gak akan hancur hatinya kalau tahu dia cuma anak yang gak diinginkan ayah kandungnya? Bisa gak kamu gak egois sekali saja? Jangan memandang semuanya dari sudut pandang kamu doang. Pikirkan juga gimana Della dan masa depannya. Meski aku gak sudi sih kamu ikutan mikirin masa depan Della juga."
Leo nampak tak bisa berkata-kata.
"Kamu gak perlu takut dengan karir kamu, aku juga gak akan membocorkan hal ini. Jangan khawatir bakal ada yang tahu. Rahasia ini bakal aku simpan sampai mati."
"Kamu pegang kata-kata kamu!"
"Kalau kamu masih khawatir juga, aku siap mengundurkan diri.
Aku akan cari pekerjaan lain jadi kita gak perlu ketemu lagi. Kamu cuma perlu kasih waktu ke aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENADA BIRU (End)
General FictionDelapan tahun yang lalu Leo dijodohkan dengan Renjani,anak dari teman ibunya.Sebuah perjodohan yang tidak diinginkan Leo.Marah oleh perjodohan itu,ia pergi dari rumah,meninggalkan keluarga dan kota kelahirannya.Bertahun-tahun kemudian mereka kembali...