Bab 22

59.2K 3.6K 9
                                    

Acara makan siang antara aku dengan Aditya berjalan mulus berkat campur tangan ketiga teman kepoku. Awalnya Aditya ingin mengajakku makan di luar. Di restauran yang ada di dekat gedung Swara.

Tapi karena aku menolak, jadilah kami makan siang di kantin. Meski teman-temanku bilang aku bodoh, masa kencan makan siang di kantin. Namun aku tidak peduli. Lagi pula kami tidak berkencan, apanya yang kencan makan siang?

Kami duduk di meja yang terpisah dari teman-temanku karena dengan kejamnya mereka mengusirku yang ingin duduk bersama mereka seperti biasa. Bahkan dengan sengaja mereka memilih tempat duduk yang jauh dari mejaku dan Aditya.

"Nanti malam kamu lembur lagi?" tanya Aditya yang tahu kalau divisi humas akhir-akhir ini memang sedang disibukan dengan segudang pekerjaan karena proyek superblock itu.

Sebagai arsitek yang bekerja dibawah naungan divisi engineering, Aditya juga sibuk. Dia bertanggung jawab dalam pembangunan proyek superblock itu. Mengenai pemilihan material bangunan sampai proses pembangunan yang semua berada di bawah pengawasannya.

Bekerja di grup Swara sebagai arsitek memang tidak cuma berkutat dalam rancangan bangunan, tapi juga mengawasi pembangunan proyek yang berada dalam tanggung jawabnya. Pantas gajinya gede, pikirku. Tanggung jawabnya juga gak main-main.

"Belum tahu." Aku angkat bahu.

"Kalau kamu lembur nanti malam pulang bareng, mau? Aku antar sampai rumah."

"Sepertinya gak perlu. Tadi orang bengkel telpon. Mobil udah jadi, tinggal ambil. Mungkin nanti sore kalau gak lembur, aku mampir ke bengkel buat ambil mobil."

"Sayang sekali ya, cepat sekali orang bengkelnya telpon. Jadi hilang kesempatanku buat ngantar kamu." Aditya nampak kecewa, anehnya sepertinya kecewanya itu tidak pura-pura.

Aku cuma tertawa kecil. "Dua hari loh di bengkel. Kata siapa cepat?Cuma ganti kanvas rem aja. Mas Adit doain biar mobil aku agak lamaan ya di bengkel?"

"Kalo iya gimana? Soalnya aku masih kepengin ngantar dan jemput kamu setiap hari. Apalagi rumah kita kan searah." Sambil bicara dia menatapku lama. "Kalau kapan-kapan aku main ke rumah kamu, boleh? Biarpun aku gak antar jemput kamu lagi. Atau gimana kalau setiap hari kamu aku jemput aja, gak usah bawa mobil. Jadi kita bisa pulang bareng. Jadi kamu gak perlu capek-capek nyetir mobil."

Kenapa tawaran yang diajukan Aditya mirip seperti sepasang kekasih yang kerja satu kantor terus pergi dan berangkat kerja selalu bareng ya?

"Gak usah, mas. Aku gak mau ngerepotin." Tolakku cepat. Antar jemput setiap hari? Aku justru tidak ingin ia datang ke rumahku terus-terusan. Kemungkinan ia bertemu Della bakal lebih besar kalau dia terus-terusan nongol di rumahku.

"Aku gak merasa direpotin kok, Ren. Aku malah senang kalau kamu..."

"Mas, kita berdua tidak memiliki hubungan apa-apa. Kalau aku diantar jemput setiap hari sama mas Adit, apa kata orang nanti?Mereka bakal mengira aku perempuan nggak-nggak. Lagi pula aku terbiasa mandiri kok, Mas Adit gak usah khawatir."

Mendengar kata-kataku wajah Aditya terlihat agak pahit. Tapi aku tidak peduli. Aku bukannya tidak tahu apa maksud dari ucapan dan sikapnya kepadaku. Aku juga bukan perempuan bodoh yang tidak peka. Yang tidak mengerti bila ada pria yang tertarik padaku atau mencoba pedekate.

Tapi aku harus melindungi Della. Aku tidak ingin ia dicemooh jika ada orang yang tahu kalau dia anak di luar nikah. Apalagi aku juga belum terlalu mengenal Aditya. Jika memang benar dia tertarik padaku dan ujung-ujungnya serius dengan hubungan kami nanti. Apa dia mau menerima Della?

Apa tanggapannya jika ia tahu mengenai masa laluku yang tidak bisa dibilang bersih? Apa ia mau menerima perempuan yang sudah bekas orang lain?

Salah satu alasan selama ini aku takut untuk dekat dengan seseorang atau menjalin hubungan dengan seorang pria. Karena aku takut mereka tidak akan bisa menerima diriku apa adanya. Menerima masa laluku. Menerima Della dalam kehidupan mereka.

Yang terjadi saat ini dan kelahiran Della, ku akui semua adalah kesalahanku. Salahku yang tidak bisa menolak perbuatan Leo padaku. Salahku yang tidak berani memperjuangkan nasibku. Harusnya aku memaksa Leo menikahiku, tapi yang kulakukan hanya diam. Aku benci diriku yang begitu lemah. Benci diriku yang tidak bisa menghadapi kebencian Leo.

Mengapa aku begitu lemah?Mengapa demi Della aku tidak mau berjuang? Mengapa aku hanya pasrah saja saat Leo tidak mau mengakui Della sebagai darah dagingnya sendiri?Bukankah jika aku mau memaksa Leo untuk menikahiku, Tante Inan dan juga Tiara akan mendukungku?

Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku membenci diriku sendiri.

SERENADA BIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang