Bab 33

54.6K 3.3K 38
                                    

"Kamu ngapain?" seruku saat aku melihat Leo yang sedang tiduran di atas ranjang kamarku. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi dan cuma terbalut bathrobe kaget setengah mati melihat Leo yang tiba-tiba saja berada di kamar.

"Bukankah ini kamar pengantin kita?" Leo perlahan bangkit. Ia sudah melepas baju adat Jawanya yang tadi kami kenakan saat acara resepsi di gedung. Dan hanya mengenakan kemeja dan celana panjang hitam. Ia menatapku tajam, tanpa sadar aku mencengkram kerah leher bathrobe yang aku kenakan. Karena aku tidak mengenakan apa-apa lagi dibalik bathrobe.

"Ya, lalu?"

"Itu artinya ini juga kamarku."

Aku tercengang. Ya, dua jam yang lalu kami baru saja mengadakan resepsi pernikahan di Balai Sudirman dengan 1000 undangan. Dan saat resepsi selesai  aku dan Leo juga Della kembali ke rumah Leo di pondok indah. Tapi Tante Inan dan Tiara kembali ke Tebet.

Akhirnya aku menikah dengan Leo. Terkadang aku tak percaya bagaimana akhirnya aku bisa menerima lamaran pernikahan itu. Bagaimana akhirnya kami berdua bersanding di pelaminan.

Apa karena kegigihan Leo membujukku? Atau mengatas namakan bakti pada orangtua?Atau juga karena keinginanku memberikan status pada Della?

Entahlah, apapun itu toh pada akhirnya kami bersama. Disahkan dengan ijab kabul dan di umumkan ke khalayak dengan resepsi pernikahan dan segala prosesinya yang melelahkan.

Aku tidak berani membayangkan berapa dana yang digelontorkan Leo untuk membuat resepsi pernikahan semegah itu. Karena dari yang aku dengar saja sewa gedungnya saja senilai 400 juta. Dan katering terkenal di Jakarta. Belum lagi souvenir pernikahan yang sangat mewah, membuatku bertanya-tanya seberapa kaya sebenarnya Leo?

Dan aku juga tidak mengerti bagaimana cara Leo meyakinkan Della untuk menerimanya. Karena seingatku, selama ini interaksi antara Leo dan Della tidak terlalu sering. Tapi saat malam itu Della memelukku dan bertanya tentang Leo, aku sadar anak perempuanku jauh lebih cerdas dari yang aku kira.

"Apa Om Leo itu ayahku?" tanya Della menatapku dengan mata bulatnya.

Melihat tatapan polosnya aku tahu aku tidak bisa lagi mengucapkan kebohongan untuk ku karang.

"Ya," kataku dengan susah payah. "Om Leo itu ayahmu."

"Jadi papa Della belum tiada?Papa tidak meninggal dalam kecelakaan pesawat?"

Aku menggeleng. "Ya. Papa Della masih hidup."

Aku yang telah mempersiapkan hati dan diriku untuk menerima segala kekecewaan Della tersentak saat tangan mungil dan halus Della menyentuh pipiku.

"Tidak apa-apa. Om.. papa sudah cerita semuanya.. itu bukan salah mamah, kata papa semua itu salah papa. Dan papa juga bilang, papa berharap mama memaafkan semua kesalahan papa..."

Apa sebenarnya yang dikatakan Leo pada Della? Dan bagaimana anak seusia Della memiliki pengertian yang begitu besar pada kedua orangtuanya?

"Della... kamu gak marah sama mama? Selama ini mama udah bohong sama Della..."

Della menggeleng. "Kata papa itu bukan salah mama. Mama terpaksa berbohong untuk Della, tapi Della gak marah. Mama, mama jangan marah sama papa ya? Mama mau kan maafin papa?"

Aku diam tidak tahu harus berkata apa. Sepertinya Leo memang telah berhasil meyakinkan Della. Pengaruh kata-katanya mungkin lebih besar dari yang aku bayangkan.

"Mama?"

"Ya, mama udah maafin papa kok, Del."

"Jadi mama setuju nikah sama papa?"

                ***************

"Kamu udah selesai mandinya?" tanya Leo acuh tak acuh.

"Kamu ngapain disini?" tanyaku lagi. "Kalau kamu mau mandi, kamu bisa pakai kamar lain kan?Rumah sebesar ini pasti banyak kamar kosong yang bisa dipakai."

"Aku kan sudah bilang kalau ini juga kamarku. Kenapa aku harus mandi di kamar lain?"

"Jangan bercanda, Leo. Maksudmu.. kita bakal sekamar?Tidur disatu kamar yang sama?"

"Apa perlu dijelasin lagi? Karena sekarang aku udah nikah, udah punya istri, apa aku masih harus tidur sendirian? Lalu fungsinya kamu sebagai istri apa?"

Leo dan mulut kurang ajarnya. Rasanya ingin kuremas mulutnya itu, meski apa yang dia katakan itu benar.

"Tapi kamu gak pernah bilang kalau kita bakal tidur sekamar dan..."

"Usiamu berapa sampai harus dikasih tahu dulu? Kamu tahu kan kalau suami istri itu dimana-mana tidur sekamar, berbagi ranjang yang sama dan juga melakukan kewajiban suami istri."

Kewajiban suami istri? pipiku memerah. Apa itu artinya...

"Have sex?" bisikku lirih, pelan tapi tidak cukup pelan untuk telinga Leo yang tajam.

"Kamu tahu sekarang." Leo menatapku puas. "Ingat, Ren. Kita ini sudah sah di mata hukum dan agama. Kamu sudah halal sebagai istriku. Jadi tidak ada alasan buat kamu mengelak kewajiban yang harus dilakukan seorang istri pada suaminya."

"Tapi kamu kan gak cinta sama aku, gimana kamu bisa melakukan itu?" tanyaku dengan bodohnya. Dan langsung ingin memukul mulutku saat melihat tatapan Leo yang memandangku seakan aku ini orang paling dungu semuka bumi.

"Kamu meragukan kejantananku?"

"Bu.. bukan itu! Maksudku tanpa cinta... apa kau bisa..."

"Bisa. Sangat bisa. Sayang, yang dibutuhkan untuk sex bukan cinta, tapi benda yang ada di selangkanganku. Oke?"

Seribu sialan untuk Leo.

SERENADA BIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang