Bab 44

46.4K 2.6K 28
                                    

Aulia mau nikah! Surat undangan itu kuterima lewat tiki. Dengan berbinar-binar aku membuka surat undangan itu, seakan aku sendiri yang mau nikah.

Dan nama calon suaminya tercantum disurat undangan mewah itu. Dr. dr. Dodi soetomo. Sp. JP. Calon suami Aulia dokter spesialis jantung? Ah, bukan cuma itu. Ada jabatannya juga. Direktur rumah sakit XX.

"Akhirnya... tercapai juga cita-cita Aulia buat jadi nyonya direktur."

"Undangan dari siapa sih?" tanya Leo yang sedang memainkan ponselnya di dekatku. Kami baru saja sarapan. Hari minggu ini gak kemana-mana. Leo juga gak ada janji main golf sama rekan-rekan high classnya itu. Della sedang diajak berenang sama Tiara.

Padahal di rumah juga ada kolam renang. Tapi dasar Tiara, dia malah ngajakin Della berenang ke water park.

"Lebih enak berenang rame-rame. Lebih seru. Berenang sendirian di rumah nggak ada seninya."

Baru tahu berenang ada seninya. Tapi itu cuma alasannya dia aja sih. Sebenarnya kepengin jalan-jalan doang, bareng pacar barunya si Mail. Ya, nama pacar barunya Ismail Sanjaya. Tiara manggilnya Mile. Tapi Leo manggilnya Mail, sesuai nama aslinya. Insinyur pertambangan.

Orangnya lumayan ganteng. Hitam manis, tinggi dan berotot. Tipenya Tiara yang gak suka cowok berkulit putih. Takut saingan sama dia katanya, kalo kulit cowoknya lebih putih dari dia. Masa kulit ceweknya hitam, tapi kulit cowoknya putih? Ih gak banget.

Aku yang dengar cuma geleng-geleng kepala. Tiara memang suka aneh-aneh. Lagipula kulitnya gak hitam, tapi kuning langsat. Dan Mail atau Mile ya, juga gak hitam. Tapi kecoklatan. Tipikal kulit-kulit orang Indonesia lah.

Lagipula bingung, kenapa harus insecure sih punya kulit hitam?Kulit hitam itu kan eksotis. Tapi mungkin sudah terpengaruh stereotip, kalau kulit putih itu lebih cantik dari kulit hitam. Standar kecantikan perempuan kan gitu. Langsing, putih, rambut panjang dan kulit mulus. Ribet memang jadi perempuan.

"Aulia."

"Oh, teman kamu dulu yang di divisi humas ya?"

"Iya. Kamu terima surat undangan dia juga gak? Masa aku dapet surat undangan sendiri. Renjani dan suami. Kalo kamu udah dapet, kenapa dia ngirimin aku surat undangan lagi ya?"

Leo angkat bahu. "Aku gak terima. Shella gak ngasih apa-apa."

Apa Aulia memang gak mengundang Leo? Aku ingat, dulu kalau ada teman kantor yang nikah. Mereka juga gak ngundang eksekutif selevel Presdir. Paling cuma rekan-rekan satu divisi dan antar divisi. Juga atasan masing-masing selevel manager. Heran juga, kenapa para petinggi elit Perusahaan gak pernah diundang ya? Apa mereka segan?Takut kalau yang diundang gak bakal dateng? Padahal lumayan kan uang kondangannya.

"Nggak selevel lah kalo kita ngundang elit perusahaan. Apalagi sekelas Presdir. Takut makanannya beda selera sama kita." Jadi ingat omongan Hanna waktu kita iseng ngomongin soal rencana nikah dan siapa saja yang mau diundang. Kalau nanti kita nikah.

"Iya, apalagi nikahannya belum tentu di gedung. Kalo di rumah dan kita ngundang petinggi elit itu, apa mereka mau dateng?" Risa ikut nyamber. "Mending ngundang orang yang wajar-wajar ajalah, Ren. Sayang undangannya."

Dan ucapan mereka memang terbukti, waktu ada anak divisi pemasaran yang nikah. Dia gak ngundang Presdir. Petinggi perusahaan yang dateng cuma Pak Tobing, atasannya. Dan beberapa petinggi sekelas manager divisi.

"Leo, kamu pernah gak nerima undangan pernikahan dari anak buah kamu di Swara? Dari salah satu anak divisi misalnya?"

"Pernah." Tanpa diduga Leo mengangguk. "Tapi aku gak bisa dateng. Kebetulan barengan sama jadwal main golf sama Pak Bahir. Itu loh, pemilik grup A. Beliau ada proyek, dan cuma bisa ketemuan hari itu juga."

Tetap ya. Bisnis nomor satu. Staf receh kayak kita mah cuma dianggap remahan kerupuk. Pantas jarang ada yang ngundang Presdir. Yang diundang juga gak dateng. Sibuk ngurusin bisnis. Padahal tanpa staf kayak kita, perusahaan mana bisa jalan?

Bahkan staf pemasaran di lapangan kerjanya lebih berat lagi. Mati-matian nawarin properti ke customer. Berusaha menjual unit apartemen, ruko atau rumah kecalon pembeli. Namun terkadang namanya saja nggak diingat. Miris.

"Aulia keren, berhasil menggaet direktur rumah sakit. Dokter spesialis jantung lagi." Aku kembali membaca nama yang tertera disurat undangan. Resepsi pernikahan dan juga ijab kabul diadakan di gedung Smesco. Kenapa Aulia gak ngundang Leo ya? Pernikahannya kan di gedung. Smesco convention hall. Paket pernikahannya saja bisa menelan biaya ratusan juta. Bukan pernikahan biasa-biasa saja menurutku.

"Suamimu ini Presdir loh, Ren. Sekagum itu dengar teman dapet calon suami direktur." Leo terlihat tidak senang melihat binar-binar kekaguman di mataku. Ia meletakkan ponselnya dan meraih undangan itu. Lalu membacanya. "Oh, Pak Dodi Soetomo. Direktur rumah sakit XX."

"Kamu kenal?"

"Pernah maih golf bareng. Ah, kayaknya aku juga terima undangan dari beliau deh, tapi masih di kantor. Lupa gak bawa pulang."

Ternyata kenalan Leo memang gak kaleng-kaleng ya.

"Pak Dodi ini duda, Ren. Usianya sudah kepala empat. Anaknya dua, sudah remaja. Istrinya sudah meninggal." Leo kembali menjelaskan. "Usia teman kamu ini seusia kan sama kamu?Lumayan juga ya jarak usianya sama Pak Dodi."

Aulia dapet duda? Aku baru tahu. Tapi gak apa-apa sih. Kalau sudah jodoh, mau dibilang apa? Duda atau bujangan sama saja. Lagipula Pak Dodi sudah mapan, Aulia nggak akan kelaparan nikah sama dia. Ih, kenapa aku jadi matre begini sih?

"Aulia itu yang mana orangnya?"

"Kamu gak tahu? Yang dulu kamu bilang punya rambut panjang dan indah. Ingat?"

Leo menggeleng. "Itu sih ciri-ciri umum. Rambut kamu sendiri panjang dan indah."

"Kamu tahu gak, dulu Aulia ini pengagum rahasia kamu loh. Dia kepengin nikah sama kamu biar jadi nyonya Presdir."

"Oh ya?" Leo menaikan sebelah alisnya. "Cantik?"

"Cantik. Putih, rambut panjang. Sampai histeris sendiri kalau liat kamu. Sayang kamunya sendiri gak tahu. Suka gak peduli sih sama anak buah. Padahal banyak yang cantik."

"Bukan gak peduli. Kalau setiap ngeliat cewek cantik mata aku jelalatan, apa kamu gak bakal cemburu? Lagipula cantik itu relatif. Cantik menurut pria lain, belum tentu cantik menurutku."

"Terus yang cantik itu kayak apa menurutmu?"

"Kayak kamu."

"Aku..?"

"He-eh. Bagiku, kamu satu-satunya perempuan yang paling cantik di dunia."

Shit! Damagenya Leo memang gak ketulungan kalau lagi ngegombal begitu!

SERENADA BIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang