Bab 28

56.1K 3.4K 8
                                    

Bulan ini ada amal tahunan yang diadakan setiap tahunnya oleh grup Swara. Kali ini kami akan menyalurkan donasi untuk para korban banjir di Jawa Tengah.

Amal tahunan ini memang merupakan agenda rutin dari perusahaan. Selain murni untuk berdonasi juga untuk membentuk image bagus bagi perusahaan.

Ini merupakan salah satu bagian dari tugas divisi humas kami. Biasanya kegiatan amal tahunan ini akan dipublikasikan di website perusahaan. Dan juga dipublikasikan di media cetak dan elektronik.

Banyak perusahaan-perusahaan besar yang melakukan hal ini. Karena ini merupakan salah satu cara membangun image yang baik bagi perusahaan.

Semakin baik image suatu perusahaan di mata masyarakat maka semakin kuat posisinya di pasar saham. Tapi tentu saja acara amal tahunan ini hanya salah satu cara dalam membangun image yang baik. Karena setiap perusahaan besar seperti Swara pasti memiliki agendanya masing-masing dalam membangun image baik yang dikelola oleh bagian humas perusahaan.

Acara donasi akan dilangsungkan di hotel berbintang di Semarang. Donasi kali ini senilai 1,4 milyar rupiah untuk para korban banjir yang penerimaannya akan di wakilkan gubernur Jawa Tengah dan Presdir grup Swara, Leo Dewangga.

Awalnya donasi akan di wakilkan salah satu Direktur Swara, tapi saat detik terakhir malah Leo yang akan mewakilkan memberikan sumbangan itu.

Kali ini dari bagian humas yang ikut adalah aku dan Bu Elvina. Sedangkan dari bagian eksekutif selain Leo juga ada manager lapangan dan dua orang dari bagian keuangan.

Kami berlima duduk di kelas ekonomi. Sedangkan Leo di kelas satu. Total rombongan yang ikut ke Semarang ada enam orang.

Meski penerbangan dari Jakarta ke Semarang hanya sekitar satu jam lebih beberapa menit, tapi rasanya seperti berjam-jam. Apalagi aku satu pesawat dengan Leo meski beda kelas tempat duduk.

Selama hampir sebulan ini aku berhasil menghindari Leo di kantor. Karena aku tidak ingin terlibat pembicaraan lagi dengan Leo. Apalagi soal pernikahan. Tapi tidak disangka dalam acara donasi ini malah satu pesawat dengan Leo. Apa nasibku sesial itu?

"Permisi, Ibu Renjani?" tiba-tiba seorang pramugari cantik menyapaku. Aku yang sedang asyik membolak balik majalah mengenai maskapai penerbangan ini mengangkat wajahku bingung.

"Ya?"

"Mari ibu ikut saya." katanya dengan ramah.

Aku yang tidak mengerti apa-apa dengan bingung mengikuti pramugari itu. Ternyata dia membawaku ke ruang kelas satu!
Dan dia membawaku ketempat Leo!

"Maaf pak Leo, ini ibu Renjani."

"Ehm.." Leo cuma mengangguk.

"Ibu silakan duduk. Tolong dipasang sabuk pengamannya karena kita akan segera lepas landas." Pramugari itu menunjuk kursi disebelah Leo.

"Tapi mbak, saya penumpang kelas ekonomi bukan kelas satu." protesku segera.

"Oh, itu sudah diurus oleh Pak Leo ibu. Ibu silakan duduk."

Dengan bingung aku duduk. "Ini apa-apaan sih? Kenapa aku jadi di kelas satu?" desisku sambil menatap Leo tajam.

"Pasang seatbelt kamu." Leo mengulurkan tangannya dan memasangkan seatbelt sebelum aku sempat berkata apa-apa lagi. "Semua sudah diurus."

"Tapi Bu Elvina, Pak Seno sama yang lain di kelas ekonomi. Masa aku di kelas satu sama kamu?Nanti apa kata yang lain?" kataku kesal. Dua orang yang kusebutkan itu adalah sekelas manager yang jabatannya lebih tinggi dari aku. Mereka saja di kelas ekonomi masa kan aku duduk di kelas satu.

Tapi sepertinya Leo tidak mendengarkanku sama sekali. "Mungkin mereka mengira kalau kita berdua punya hubungan pribadi."

"Jangan main-main, Leo. Aku gak mau jadi bahan gosip di kantor. Apa kamu juga gak takut digosipkan macam-macam sama aku?"

"Nggak. Aku malah berharap mereka bakal bergosip tentang kita. Dengan begitu kamu bakal gak punya pilihan lain selain mau nikah sama aku."

"Siapa yang mau nikah sama kamu?" aku mendelik sebal. "Aku mau balik.."

"Duduk, Ren. Duduk manis atau aku bakal cium kamu detik ini juga kalau kamu nekat pergi!"

Kelas satu ini memang tidak sepenuh kelas ekonomi. Hanya ada beberapa penumpang saja di kelas satu. Tapi kalau Leo serius dengan ancamannya dan aku yakin dia serius, tidak menutup kemungkinan akan ada orang yang memergoki dia menciumku.

Maka dengan cemberut aku terpaksa duduk manis di sampingnya. Leo terlihat puas dengan sikapku. Terlihat dari senyum tipis di bibirnya. Aku mengatupkan bibir menahan jengkel. Tanpa sadar mengepalkan tangan.

Kalau dia juga tidak peduli dengan reputasinya di kantor dengan tindakannya yang impulsif seperti ini, jadi apa peduliku? Yang akan terjadi biarlah terjadi..

SERENADA BIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang