Bab 19

59.6K 3.8K 5
                                    

"Ada apaan sih elo sampe dipanggil Pak Presdir ke kantornya? Mau dapet promosi kenaikan jabatan ya?" tanya Hanna saat kami berempat seperti biasa istirahat makan siang di kantin.

Sepertinya acara interogasi bakal dimulai bersama ketiga temanku yang kepo.

"Nggak ada apa-apaan." Aku gak mungkin bilang kalau Leo memanggilku ke kantor karena urusan Della. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan apalagi kenaikan jabatan.

"Mulai maen rahasiaan deh lu sekarang. Terus ada perlu apa eksekutif tertinggi manggillu ke kantornya kalo bukan hal penting?" Hanna terlihat tidak puas dengan jawabanku.

"Nih, pesananlu , Ren. Nasi rames sama kayak gue." Risa datang bersama Aulia sambil membawa dua piring nasi rames. Piring satunya ia berikan padaku. Sedangkan Aulia membawa dua piring nasi gudeg. Satunya lagi tentunya untuk Hanna. "Minumannya nanti dianter sama Pak Bejo."

Untung saja Risa dan Aulia datang  tepat waktu sambil membawa makanan pesanan kami masing-masing, jadi aku terbebas dari pertanyaan Hanna.

"Oh ya, jangan lupa ya. Habis ini kita harus ke lantai 5. Ada meeting sama divisi pemasaran, anak buahnya Pak Amri," kata Risa. "Tadi Bu Elvina udah ngingetin kan?"

"Meeting apaan sih?" tanya Aulia sambil mengibaskan rambut panjangnya. Aku jadi ingat kata-kata Leo yang bilang rambut Aulia itu indah. Rambut Aulia memang indah sih, pantas jadi bintang iklan shampoo.

"Soal pameran properti milik Swara. Apartemen lima tower di daerah setia budi itu loh." Risa menjelaskan.

Swara grup tempatku bekerja ini memang merupakan grup real estate besar di Indonesia. Terintegrasi di seluruh rantai nilai real estate. Mulai dari pembebasan lahan, pengembangan properti, pemasaran dan juga managemen operasional.

Swara juga salah satu pengembang superblock di Indonesia. Pengembang berskala besar dari pusat perbelanjaan ritel, perkantoran, kondominium dan hotel.

Dan meeting kali ini mengenai superblock yang baru saja akan dibangun oleh Swara. Lahan seluas 300.000 ribu meter dan nilai proyek senilai 2,3 triliun.

Tentu saja proyek superblock ini hanya salah satu dari proyek-proyek milik Swara. Karena selain proyek superblock ini, Swara juga memiliki proyek perumahan di Batam dan jalan tol di Sumatra.

Lalu acara makan siang itu diisi dengan obrolan mengenai proyek superblock Swara, yang membuatku lega karena sepertinya Hanna sudah melupakan interogasinya padaku.

Selepas istirahat makan siang, sekitar jam dua, kami pergi ke lantai lima untuk meeting dengan divisi pemasaran.

Yang cukup mengejutkanku ternyata Leo juga menghadiri meeting itu didampingi sekretarisnya, Shella. Ku pikir ini hanya meeting dengan divisi pemasaran. Karena proyek superblock itu sudah berjalan, paling meeting ini membahas promosi dan pemasaran proyek itu yang melibatkan divisi humas dan pemasaran. Tapi rupanya Presdir juga ikut meeting dari awal.

Padahal biasanya bila proyek sudah berjalan, maka Presdir hanya tinggal menerima laporan saja.

Selama meeting yang berlangsung sekitar dua jam, karena meeting hanya tinggal mematangkan semua rencana yang sudah matang, aku bisa merasakan bila berkali-kali tatapan Leo tertuju padaku.

Ia tidak berbicara selama meeting berlangsung, tapi kehadirannya cukup membuat orang gugup dan merasa terintimidasi. Aku yang ditatap berkali-kali dengan tajam oleh Leo, berusaha untuk tidak memperdulikan kehadirannya. Aku juga tidak membalas tatapannya. Aku hanya menganggap dirinya seperti udara yang tidak terlihat.

"Kayaknya gue kepengin ngambil satu unit apartemen di superblock ini deh," kata Risa saat kami sedang berjalan keluar dari tempat meeting. Kembali ke ruangan divisi humas di lantai 8. "Lumayan buat investasi."

"Mau ngambil yang mana?" tanyaku yang berjalan di sebelahnya. Apartemen yang ditawarkan di superblock itu di jual mulai dari harga 800 juta sampai 3 milyar. Dan itu terdiri dari lima tower.

"Yang satu kamar tidur aja. 800 juta. Gue udah liat prospeknya bagus, lokasinya strategis dan fasilitasnya juga lengkap."

"Gue juga kayaknya pengen ngambil deh, yang dua kamar tidur kali ya. Tapi harganya 1,2 milyar. Duit gue buat dp kayaknya gak cukup. Padahal gue naksir banget, gue udah liat maketnya bagus banget. Gak kalah sama apartemen-apartemen harga di atas itu," keluh Aulia.

"Coba lu hubungi Pak Amri atau Pak Faisal dari keuangan. Biasanya buat karyawan Swara ada keringanan loh. Soalnya waktu Monica, temen gue itu ngambil apartemen milik Swara juga dia dapet keringanan. Dan juga gak ada bunga cicilan," ucap Hanna yang asyik dengan ponselnya tapi ternyata menyimak pembicaraan kami. Heran dia gak nabrak dinding atau tong sampah, main hp sambil jalan gitu.

"Beneran? Oke deh kalo begitu. Gue coba." Aulia nampak berseri-seri mendengarnya. "Elu gak ikutan ngambil, Ren?"

"Nggak ah, gue kan masih punya cicilan rumah," kataku.

"Rumah lu tuh jauh, Ren. Dua jam perjalanan. Belum lagi macetnya, betah banget deh lu. Apartemen ini deket dari kantor. Elu bisa menghemat waktu. Lu oper kredit aja rumah lu, terus elu ambil apartemen ini. Mumpung masih single. Belum ada tanggungan," kata Risa.

"Iya, Ren. Kita bertiga bisa jadi tetangga loh. " Aulia nampak bersemangat dengan ide ini. Tapi aku cuma senyum saja tidak berkata apa-apa lagi.

Tidak punya tanggungan?Seandainya saja mereka tahu kalau aku memiliki seorang putri berusia tujuh tahun, bagaimana reaksi mereka?

Lagi pula aku tidak tertarik membeli apartemen, karena bagiku rumah tapak lebih baik dari pada apartemen untuk membesarkan seorang anak. Aku juga tidak mau bertetangga dengan mereka karena aku tidak mau mereka tahu mengenai masa lalu dan kehidupan pribadiku.

SERENADA BIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang