Bab 40

56.1K 3K 7
                                    

Akhir pekan ini, Leo mengajakku berlibur ke puncak. Ke villa pribadinya yang terletak di daerah mega mendung. Sebenarnya aku sudah sering menginap di sana. Tapi biasanya bersama keluarga yang lain. Tante Inan dan Tiara.

Tapi kali ini, Leo ngotot untuk pergi berdua saja denganku. Bahkan tanpa membawa Della. Kebetulan hari jum'at tanggal merah. Sabtu-minggu kantor memang libur. Rencananya kami berangkat kamis malam dan kembali ke rumah minggu pagi. Jadi meski nanti terjebak macet di jalan, Leo ada kesempatan untuk istirahat. Untuk memulihkan stamina untuk masuk kantor hari seninnya.

Aku sih setuju saja, tapi sempat heran kenapa Leo ngotot cuma ingin pergi berdua. Tanpa Della, bahkan ia tidak akan membawa supir. Ia mau menyupir sendiri.

"Kamu yakin gak bakal kecapekan nyupir sendiri? Pulang kerja langsung berangkat ke puncak, nyupir sendiri lagi. Apa badan gak bakal remuk?" tanyaku sangsi. Khawatir dengan kondisi badannya. Pagi itu kami cuma sarapan berdua, karena Della sudah berangkat sekolah diantar Pak Amir. Biasanya Della memang berangkat lebih dulu daripada Papanya.

"Kan ada kamu yang bisa nyetir. Kita bisa gantian kan, kalo aku capek," jawabnya santai.

"Oke, aku gak masalah sih. Tapi kenapa ngotot kepingin pergi berdua aja sama aku? Serius kamu gak mau ngajak Della?"

"Mama udah minta Della buat nginep di Tebet selama libur tiga hari. Tiara juga mau ngajak Della jalan-jalan ke Dufan. Pokoknya kamu gak usah khawatir."

"Bukan begitu, cuma aneh aja pergi berduaan tanpa anak."

"Bukannya kita udah sering pergi berdua tanpa Della?" Leo menyingkirkan gelas susunya yang masih separuh. Aku mengernyit. Akhir-akhir ini, Leo sering sekali tidak menghabiskan sarapannya. Bahkan pancake di piringnya masih utuh. Bukan hanya saat sarapan, bahkan saat makan malam. Ia sering tidak menghabiskan makanannya. Bahkan beberapa kali kupergoki ia cuma mengambil sedikit nasi dan lauk bila makan. Tubuhnya pun terlihat agak kurus. Seperti kurang bersemangat.

Apa ia kelelahan? Mungkin pekerjaan di kantor sangat menumpuk hingga ia kehilangan selera makan. Hingga ia terlihat kurus.

"Kamu mau makan apa nanti malam? Biar nanti aku suruh Bi Rum ke pasar buat belanja," kataku melihat ia tidak selera dengan sarapannya. "Gimana kalo krecek? Oh, gudeg juga. Aku masakin gudeg sama krecek ya. Telur bacem juga."

Leo terkekeh saat aku menyebutkan beberapa makanan kesukaannya. Ia berjalan kearahku dan mencium keningku lembut. "Boleh, aku juga lagi kepingin makan gudeg sama krecek."

Aku mengantar Leo sampai ia masuk ke dalam mobil. Bahkan dibalik kemeja dan jas kerjanya, Leo masih terlihat kurus. Entah berapa kilo ia kehilangan berat badan. Mungkin dengan memasakan makanan kesukaannya, nafsu makannya bakal kembali.

Tapi ternyata aku salah!

Bahkan dengan makanan kesukaannya, yang terhidang di depannya. Nafsu makan Leo biasa saja. Ia tidak terlalu banyak makan. Porsi makannya lebih sedikit dari biasanya.

"Apa makanannya kurang enak?" tanyaku saat melihat Leo yang makan sedikit sekali. "Kamu gak bakal kenyang kalau cuma makan segitu."

"Kenyang kok. Masakan mu tetap seenak biasanya. Cuma aku yang kurang nafsu makan, mungkin kecapekan."

"Jangan bekerja terlalu berat, Leo. Kamu punya wakil dan asisten pribadi. Kamu bisa memberikan sebagian dari tanggung jawabmu sama mereka."

"Iya, ngerti kok. Tapi proyek di NTT ini memang cukup menguras waktu dan tenagaku."

"Apa ada masalah sama proyek itu?"

"Nggak ada, kamu jangan khawatir. Aku benar-benar cuma kecapekan. Ku rasa aku memang butuh liburan," ucap Leo lalu menguap tanpa sadar. "Aku capek banget, Ren. Aku mau istirahat dulu."

Dengan begitu Leo menyelesaikan makan malamnya. Dengan lesu menuju kamar. Ini baru jam delapan malam, tapi ia sudah terlihat letih dan tidak bersemangat. Biasanya ia tidur di atas jam 10 malam. Moga-moga saja ia memang cuma kecapekan.

Aku masih menyelesaikan makan malamku dengan Della. Lalu membantunya mengerjakan PR dan membereskan buku-buku pelajaran sekolah buat besok.

Jam sembilan tepat aku baru masuk kamar. Ku lihat Leo sedang tertidur. Cuma lampu kamar yang terletak di samping ranjang yang menyala. Sedang lampu utama dimatikan. Aku tahu ia takut aku bakal kesandung kalau semua lampu dimatikan. Jadi lampu kamar yang bercahaya redup yang masih menyala.

Aku berjalan mendekatinya. Ingin membetulkan selimut yang ia kenakan. Tapi aku melihat keringat di dahinya. Dan ku lihat bajunya juga basah kuyup.

"Astaga, Leo. Kamu demam," seruku panik, melihat pakaiannya yang basah kuyup begitu. Bahkan sarung bantal dan sprei juga basah. Saat aku menyentuh dahinya terasa panas. Pantas saja ia makan begitu sedikit. Ternyata demam.

"Pak Leo kecapekan. Coba untuk istirahat dan jangan diforsir." Dokter Rully, yang merupakan Dokter keluarga kami memberi penjelasan. Ia sudah memeriksa Leo dan meresepkan obat.

"Saya sudah bilang Dok, sama istri saya, tapi istri saya panik kayak saya sakit parah." Leo yang baru selesai diperiksa menatapku seakan mau bilang kalau reaksiku terlalu berlebihan.

"Siapa yang gak panik liat kamu demam begitu? Kamu kan jarang sakit, wajar kalau aku panik." Aku membela diri.

"Kalau Ibu Renjani khawatir itu tandanya beliau sayang sama Bapak." Dokter Rully terkekeh sambil memasukan peralatannya ke dalam tas hitam miliknya. Dokter berkumis tipis yang sudah punya anak dua itu tersenyum jenaka.

"Oh, jelas istri saya sayang sama saya, Dok. Kalau nggak, masa mau menikah sama saya."

"Jangan lupa obatnya diminum, Pak Leo. Tiga kali sehari sesudah makan. Kalau ada apa-apa atau kondisi Bapak belum membaik segera hubungi saya ya, Bu."

"Baik, Dok. Terima kasih ya, Dok."

Sekarang Dokter sudah pergi, pakaian Leo yang basah juga sudah diganti dengan piyama kering. Sprei dan sarung bantal juga diganti dengan yang baru.

"Ayo, minum obat dulu. Terus kamu istirahat. Besok gak usah masuk kantor, ijin sakit sehari gak akan bikin Swara bangkrut." Kataku menuangkan tiga butir obat dengan warna yang berbeda ketelapak tangan lalu memberikannya pada Leo. "Kamu dengar apa kata Dokter Rully. Kamu harus istirahat. Tenaga jangan diporsir."

Leo tidak berkata apa-apa. Segera minum obat dan meminum air yang kusodorkan. Agak heran juga ia tidak membantah. Setelah minum obat, tidak lama ia tertidur. Mungkin pengaruh dari obat yang ia minum.

Aku segera menelpon Shella untuk memberitahu kondisi Leo. Sekaligus memberitahu, kalau Leo tidak bisa masuk besok. Ia mengerti dan akan memberitahu Manager HRD. Dan juga akan memberitahu Pak Steven, wakil Presdir agar menghandle pekerjaan Leo untuk sementara.

Malam itu Leo tidur dengan nyenyak. Saat aku memeriksa kondisinya beberapa jam kemudian, demamnya sudah turun. Aku menarik napas lega. Tapi sepertinya rasa legaku itu terlalu cepat.

Aku tidak pernah menyangka, demam yang dialami Leo adalah awal dari segalanya...

SERENADA BIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang