Setelah pulang dari pemakaman, Sunghoon menjadi tidak bersemangat. Padahal seharusnya ia menyemangati Adeline yang tengah bersedih disana namun dirinya justru memilih pulang dengan yang lain karna matahari perlahan turun menjadi senja.Sunghoon menatap dirinya yang lain dari kaca yang tingginya hampir sama dengan nya, menatap pantulan wajah dirinya yang berbeda.
"Gue harus apa?" Tanya Sunghoon mulai putus asa.
Sedangkan pantulan dirinya di kaca menatap Sunghoon dengan wajah datar dan angkuh, dia adalah Solon.
"Udah jelas kan? Jauhin dia, kita memang gak pantes untuk mencintai seseorang karna pekerjaan ini Hoon"
"Mungkin saat nya kita balik kesana"
"Terus kuliah nya? Lo sendiri bukannya suka sama hukum sekarang" ucap Sunghoon mengingat percakapan dua orang dalam satu tubuh itu.
Solon tertawa miris "Lucu, gue pembunuh tapi pengin belajar tentang hukum." Helaan nafas menjeda kalimat Solon. "Kita bisa urus itu belakangan tapi setidaknya kita jaga jarak dulu dari Adeline" ucap Solon menyimpulkan.
"Disini kita yang berbahaya buat Adeline, Hoon. Jangan egois"
Benar kata Solon, dirinya dan Solon bisa saja membahayakan Adeline karna identitas dan pekerjaanya. Tangan Sunghoon mengambil ponsel di saku celananya, tangannya bergerak sendiri seolah tau Sunghoon harus apa, hingga jarinya berhenti di nomer denial milik Daisy.
Nomor yang tidak pernah dihubunginya bertahun tahun semenjak mendalami bisnis gelap ini, entah nomor itu masih aktif atau sudah mati tetapi Sunghoon menekan nya lalu menempelkan ponselnya ke telinga.
Hingga beberapa detik akhirnya panggilan Sunghoon terangkat.
"Haloo~ dengan Daisy, si teman terbaik. Yang perlu bantuan Sunghoon atau Solon sekarang?" Ucap Daisy seolah tau apa yang sedang terjadi oleh pria dengan dua kepribadian itu.
Rupanya nomor itu masih aktif, seketika Sunghoon tersenyum kecil mendengar suara perempuan yang lebih muda darinya yang sudah lama tak didengarnya.
"Kali ini Sunghoon"
"Wooaw? Sunghoon? Terus si tempramental Solon sekarang lagi baik?"
"Daisy serius, Sunghoon lagi butuh lo!" Seru Solon mengambil alih seenak nya.
"Hahaha oke sorry! Mau ketemu langsung atau lewat telfon cukup?"
"Ketemu aja daisy"
"Oke! Tapi aku yang nentuin lokasi nya ya!"
Adeline berjalan dengan lesu ke kamar kos nya, sudah 5 hari setelah berduka Adeline kini harus kembali kuliah sebelum tertinggal makin banyak materi. Pesan yang ia kirimkan pada Solon belum dibalas bahkan terbaca, Adeline mengabari lelaki itu bahwa dirinya akan pulang hari ini.
Setelah sampai, perempuan itu tertidur di kasur miliknya. Bayangan ayahnya masih terbayang bayang dalam benaknya, hingga membuat dirinya dilanda resah. Permasalahan seorang anak dan ayah yang berbeda pendapat mengakibatkan anak itu harus pergi meninggalkan rumah yang dulunya terasa hangat.
Jika karna bukan penghormatan terakhir nya untuk ayahnya, ia tak sudi menginap di rumah yang diurus oleh perempuan asing yang menggantikan posisi ibunya seminggu setelah meninggal. Benar benar seperti sudah direncanakan, ia sungguh marah dengan ayahnya hingga memilih keluar dari rumah meninggalkan semuanya.
"Maaf ayah" kalimat itu, yang terus di ucapkan berulang kali hingga ratusan terucap dari mulutnya dengan rasa penyesalan.
Semarah apapun Adeline, dia adalah ayahnya, orang tuanya sendiri.
Adeline terus memikirkan penyesalan yang terjadi di sama lampu, ucapan kasar dan hinaan pada ayahnya yang kini justru meninggal, pikiran itu perlahan membuatnya tidur karna terlalu lelah.
"Mama, papa maafin Adel yang nakal ini" bahkan hendak tidur saja masih diselimuti rasa bersalah.
Setelah 2 jam tertidur, mata Adeline terbuka dengan perlahan melihat pemandangan dari samping kiri kasurnya yaitu jendela yang tertutup gorden abu abu dan beberapa tanaman dibawahnya.
Adeline bangun dari tidurnya, kemudian berjalan membuka gorden dan jendela membiarkan udara baru masuk kedalam kamarnya. Ia pergi ke dapur melihat isi kulkas, beberapa makanannya busuk karna ia tinggal jadi buru buru Adeline membuangnya dengan plastik sebelum makin bau.
Karna tidak ada makanan lain Adeline akan membeli mie instan di minimarket setelah membuang sampah, untuk pergi melewati gerbang Adeline juga akan melewati parkiran kos yang berada disamping kanannya.
Namun langkah itu harus terhenti saat melihat seorang yang ia cintai malah jalan berduaan dengan perempuan imut sambil merangkul tangan solon, hal itu hanya ditanggapi Solon dengan senyuman hingga senyuman itu harus pudar saat melihat kedepan yaitu Adeline yang tengah membeku dengan perasaan sakit tak karuan melihat mereka berjalan berduaan sambil bergandengan.
Ditambah saat Solon hanya berjalan melewatinya tanpa menyapa dirinya, rasa sakit itu muncul berkali-kali lipat. Air mata Adeline kembali keluar tanpa suara, niat nya akan membeli makan harus tertunda dan memilih berlari ke kamar Dania setelah Solon dan perempuan itu sudah ada dilantai kos Solon.
Dengan tak sabaran Adeline mengetuk pintu kamar Dania, sambil menahan tangis yang kembali keluar dengan alasan berbeda dari sebelumnya. Dirinya terus berpikir, kesalahan apa yang telah dilakukan nya hingga tuhan memberikan hukuman seperti ini.
"Adeline?! Lo kenapa??" Tanya Dania sangat panik setelah membuka pintu.
"Solon Dan— Hiks... Solon sama cewe ke kamar kos diaa.." tangis Adeline makin kencang kemudian ambruk, dengan sergap Dania langsung memeluk Adeline.
"Brengsek"
Dania menghela nafas panjang. "Sekarang masuk dulu, gak enak dikira orang ada apa." Pinta Dania sambil memapah Adeline untuk masuk dan mendudukkan temannya dikasur.
"Cerita sama gue, awal mula kisahnya"
Adeline menceritakan semuanya pada Dania, dari ia membuang sampah lalu hendak pergi ke minimarket dan kejadian itu pun terjadi. Dania mengumpat pelan, padahal yang ia lihat Solon seperti mencintai Adeline, jadi ini maksudnya hanya pura pura atau apa?.
"Adeline, gimanapun masalah nya kayanya gak bener kalo kita gak denger penjelasan dari orangnya langsung, jadi alangkah baiknya lo tanya langsung ke dia"
Adeline menatap sahabatnya yang nampak kebingungan karna masalahnya, namun saran Dania memang ada benarnya tapi ia juga bingung. Masih ingat ketika Solon mengabaikannya dan meninggalkan nya begitu saja karna perempuan disampingnya?.
Selama ini Solon tidak pernah seperti itu dengannya, Adeline yakin Solon telah berubah karena perempuan disampingnya.
"Tapi perempuan itu, bikin Solon berubah Dania. Dia bikin Solon seolah gak kenal aku pas ketemuan bahkan gak nyapa, padahal biasanya gak gituu" Adeline kembali menangis, Dania berdecak kesal.
"Perlu gue pukul kah tu orang?" Tanya Dania yang sudah mulai kesal, hingga meremat tangannya yang menggenggam.
"Jangan, jangan lukain diri sendiri"
"Tapi lo sampe nangis kaya gitu Adeline" sungut Dania.
"Jangan, Dania... Jangan"
Solon beruntung, pemenang karate tingkat nasional itu menahan diri untuk tidak memukulinya karena permintaan temannya.
"Udah jangan nangis, ayo makan" ucap Dania sambil memeluk Adeline dan mengelus punggung nya agar tangis Adeline berhenti.
To be continued
🦋 © crxdia
KAMU SEDANG MEMBACA
Solon the assassin [3]
RandomCinta, adalah perasaan yang sulit dijelaskan dan mampu mengacaukan hubungan Sunghoon si pembunuh bayaran dengan Adeline si mahasiswi kedokteran. Sebenarnya ada apa dibalik hancurnya hubungan dua orang itu?