38. All Too Well

1.6K 356 31
                                    

Mengunyah dalam diam, Ileana baru mengangkat wajah saat suara dehaman Eugene terdengar. Saat ini, keduanya tengah makan siang bersama di sebuah restoran Italia yang Ileana tahu mematok harga cukup fantastis. Apa semua detektif memiliki banyak uang? pikirnya.

"Saya tahu Anda masih dilanda kesedihan besar, tapi—"

"Ask anything you want. Saya akan menjawab sebisa saya." Ileana meraih serbet untuk mengusap pinggir bibirnya.

Eugene masih terlihat skeptis, tapi kemudian mengangguk setuju. "Apa benar Anda yang menulis artikel tersebut? Padang Matahari adalah nama pena Anda?"

"Betul," balas Ileana kalem.

"Setelah mengunggah artikel tersebut, apa Anda sempat mengalami kejanggalan dalam bentuk apa pun?"

"Seseorang datang menyerang sewaktu saya berada di rumah teman saya."

Salah satu alis Eugene terangkat. "Apa teman Anda ada bersama Anda saat kejadian itu berlangsung?"

"Pemilik rumah? Tidak. Teman dari pemilik rumah? Ya."

"Bisa Anda panggil orang itu ke sini?"

Ileana memejamkan mata sejenak, membuang napas pendek. "No need to bother." Pandangannya beralih ke sudut lain, di mana Djavion sedang menikmati hidangan makan siangnya bersama pria yang ia kenali sebagai sosiopat gila bermama Endaru Hestamma. "He's right there."

Dan karena itu, ketiganya—ya, tanpa Daru—berakhir duduk bersama ditemani atmosfer yang menurut Ileana sangat-sangat tidak menyenangkan. Entah hanya perasaan Ileana atau memang betul adanya, tapi Eugene Matthias nampaknya selalu mendapatkan reaksi sinis dari orang di sekitarnya. Augie sewaktu di rumah sakit, lalu tadi Theo yang mengantarnya, dan kini Djavion.

"Dan di mana orang itu sekarang?" Eugene bertanya begitu cerita dari bibir Djavion selesai. Dinilai dari rautnya, detektif itu masih terlihat skeptis.

"Melarikan diri, tentu saja." Cara Djavion yang mengatakannya dengan begitu santai nyaris membuat Ileana ikutan tertipu. "Bagaimanapun, saya adalah pebisnis, bukannya petinju handal."

"Kenapa kalian tidak memanggil polisi malam itu?"

Ileana menoleh ke samping, menemukan rahang Djavion kian mengeras. "How should I put it? Saya sendiri memiliki pengalaman buruk dengan petugas aparat di negeri ini, Detektif. Anggaplah sebagai prasangka, tapi saya tidak akan pernah memercayai mereka lagi. Lagipula, orang tersebut langsung melarikan diri sewaktu mendapat serangan balik dari saya. Tidak ada yang terluka, jadi saya tidak merasa perlu menambah ketegangan dengan memanggil polisi." Lagi-lagi mulus.

Ileana tahu yang seharusnya ia lakukan saat ini adalah bersikap kooperatif, tapi mengatakan terang-terangan kalau Djavion turun tangan secara personal untuk mengurus si penyerang, masalahnya hanya akan menjadi semakin rumit.

"Baik. Cukup untuk hari ini. Jika terjadi sesuatu lagi, mohon segera hubungi saya."

Ileana sudah akan menyusul langkah Eugene, tapi Djavion tidak pernah membuat segalanya mudah. "Saya belum selesai. Duduk," ujar pria itu.

"I have no energy left, Sir." Ileana menjawab datar.

"Fine. Kita bisa bicara nanti." Djavion ikut berdiri. "Saya akan mengantarmu pulang." Bukan pertanyaan. Djavion nampaknya sudah terlalu terbiasa melontarkan pernyataan yang sukar diganggu-gugat.

Ileana sudah akan menolak tegas, tapi perutnya yang sejak awal sudah mengirim signal tidak enak mendadak bergejolak hebat. Dan sungguh, memuntahkan isi perut di depan Djavion Lucretius tidak pernah ada di daftar rencananya.

On the Land of SorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang