35. Same Old Soul

1.9K 403 5
                                    

"You're still working on that case?" Halina Kusuma sedang menyesap tehnya saat ia tidak sengaja melihat layar komputer rekan kerjanya.

Ileana sontak menoleh, melepas kacamata yang telah melekat sejak pagi. "Yep."

"Lo tahu Pak Ganindra nggak akan menyetujuinya."

"I know. Dan siapa yang bilang gue akan mempublikasikannya di bawah nama Ileana Gustav?" Ileana tersenyum simpul, menekan tombol pada keyboard di depannya setelah pertimbangan panjang.

"Lo tahu risikonya, kan? Ini menyangkut nama besar, Na."

"Kalau bukan gue, siapa lagi yang akan membuka mata, Lin? Dia berhak mendapat keadilan," jawab Ileana sembari membuang napas berat. Ia melirik arloji di tangan. "I gotta go. See you tomorrow, Lin."

"Hati-hati, Na."

Ileana meraih blazer dan tas jinjingnya, berjalan cepat meninggalkan gedung kantor yang terletak di bilangan pusat Jakarta itu. Ia membawa mobilnya menembus hiruk pikuk jalan raya. Tujuannya adalah salah satu rumah sakit jiwa di pinggir kota.

"Selamat datang, Mbak Ileana."

"Halo, Jihan." Ileana menyapa sopan. "How is she?"

Ringisan serta gelengan kepala Jihan mau tak mau sedikit memupuskan harapan dalam diri Ileana. Namun ia tidak mau menyerah. Saat ini, Ileana adalah satu-satunya harapan bagi perempuan tersebut.

Ditemani Jihan, Ileana berakhir di depan pintu ruangan yang selama tiga bulan belakangan ini menjadi destinasinya setiap pulang kerja. Mengukir senyum senatural mungkin, Ileana menapakkan kaki ke dalam. Punggung Tania menjadi hal pertama yang ia temui.

"Hai, Tania," sapa Ileana lembut, beranjak mendekati perempuan kurus berambut panjang hitam legam itu. "Apa kabar?"

Seperti hari-hari sebelumnya, Tania tidak memberi balasan. Pandangannya menyorot lurus ke depan, kosong tanpa sedikit pun gairah kehidupan. Ileana mengambil tempat di sebelah Tania, ikut melihat ke arah jendela yang menjadi objek observasi perempuan malang itu.

"Aku tahu, kamu pasti nggak berhenti mengutuki dunia." Ileana melanjutkan ucapannya sekalipun komunikasi yang berlangsung hanyalah satu arah. "But I can promise you one thing. Aku akan membuat bajingan itu membayar. Whatever it takes."

Ileana tahu dunia yang ia tinggali bukanlah tempat teraman untuk wanita sepertinya. Tania hanyalah satu dari sekian banyak korban bocornya moral manusia. Menjadi korban pemerkosaan di usia yang sangat muda meninggalkan trauma luar biasa bagi perempuan itu. Yang membuat Ileana semakin berang adalah fakta bahwa pelaku-pelaku itu masih memiliki kebebasan untuk beraktivitas secara normal hanya karena terlahir dengan harta dan status.

"Jangan menyerah, ya? Kita berjuang bersama-sama." Ileana menyentuh punggung tangan Tania, mengusapnya lembut. "Kamu hebat bisa bertahan hingga hari ini. I'm proud of you, Tania."

Ileana mengenal Tania lewat salah satu teman kuliahnya, Anneliese. Ann sendiri merupakan seorang pengacara yang berfokus kepada hak-hak wanita dan korban kekerasan seksual seperti Tania. Tiga bulan lalu, Ann menghubunginya, meminta bantuan Ileana sebagai jurnalis untuk mempublikasikan kasus yang menimpa Tania kepada publik. Namun tentu saja, ide itu ditolak mentah-mentah oleh Ganindra. Too dangerous, he said.

Tentu saja Ileana tidak berhenti di sana. Ia terus membujuk Ganindra, merendahkan segala harga diri untuk memohon-mohon, tapi pria itu memiliki kepala sekeras batu. Ileana telah mencoba cara lain seperti mengirim pesan anonim ke perusahaan media lain, tapi nampaknya tidak ada pihak yang benar-benar peduli.

On the Land of SorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang