19. Breaking Down

3.1K 676 107
                                    

Nik meneguk ludah kasar begitu berita dari salah seorang bawahannya mencapai kata terakhir. Tubuhnya limbung, tapi ia berhasil menggapai tumpuan.

"Tidak ada yang selamat?"

"Nampaknya begitu, Jenderal. Tim penyelamat belum berhasil menemukan tubuh Kaisar dan Pangeran Lucas."

"Pastikan berita ini tidak tersebar sebelum saya memberikan perintah resmi." Nik mengumpulkan kewarasan yang sempat tercecer, bergerak mengenakan seragam di saat matahari bahkan belum menampakkan diri.

Dengan perasaan berkecamuk, Nik memacu kuda cepat menuju kamp militer. Situasi saat ini sangat rentan. Sedikit saja lengah, seluruh senjata tersembunyi akan langsung terarah pada Enderville yang kini kehilangan pemimpin. Seluruh pasukan serentak memberi gestur hormat dengan ketegangan mendominasi.

Untuk saat ini, yang dapat Nik lakukan hanyalah menunggu kabar serta menenangkan situasi. Kesekian kalinya, Nik memanjaatkan doa. Agar ayah dan saudaranya selamat dari kapal pesiar yang dinyatakan tenggelam subuh tadi.

Detik bertransformasi menjadi hari dan hujan lebat menjadi pertanda duka Nik—duka Enderville. Berpakaian serba hitam, seluruh tentara Enderville ditugaskan mengibarkan bendera kekaisaran di sepanjang jalan, mengenang kaisar terhebat dan putra bungsunya.

Menyelesaikan segala tugasnya sebagai tangan kanan kaisar, Nik baru dapat kembali pada saat tengah malam. Ia menjatuhkan diri di atas kasur, bergeming hingga debar jantungnya terdengar memenuhi ruangan. Lambat laun, isakan pria itu mengalun. Kedua telapak tangannya terkepal kuat hingga taraf menyakiti. Dadanya terasa luar biasa sesak.

"Nik." Suara itu menarik Nik kembali ke realita. Nik menoleh cepat, menemukan Tanna-nya di ambang jendela. Seperti biasa, menyelinap. Mengingat malam ini tidak ada tentara yang berjaga, tentu saja hal itu sangat mudah dilakukan. Tanna bergerak mendekat dengan langkah konstan, berhenti di hadapan Nik. "Turut berduka cita."

Dalam setiap momen menyedihkan di hidup Nik, ia tidak pernah menyangka—atau berharap—bahwa Altanna Eustashe akan menjadi saksinya. "Pergi, Little Mice."

Bukannya pergi, Tanna malah berjongkok di depan pria itu, meraih telapak tangan Nik untuk digenggam lembut. "Kau tidak sendiri, Nik."

"Lagi, kau melakukan itu—memberiku harapan." Nik terkekeh miris. "Kau berkata akan melepasku, selamanya berpaling. Bukankah kita telah mengucapkan salam perpisahan, Nona?"

"Kau akan kembali ke Enderville dalam waktu dekat. Entah kemarin atau hari ini, salam perpisahan akan terdengar sama." Tanna membalas. "Beristirahatlah. Kau sudah melakukannya dengan baik hari ini, Nik."

Nik menahan pergelangan tangan Tanna. "Kau akan pergi begitu saja? Secepat ini?"

"Tidak ada yang bisa kulakukan untukmu, Nik."

"Salah." Nik berdiri, lagi dan lagi membawa tubuh ringkih itu ke dalam pelukan. "You smell like home, Little Mice." Karena seumur hidup Nik, tidak pernah ada tempat yang benar-benar dapat disebut rumah. "Jangan pergi. Aku .. membutuhkanmu."

Tanna balas merengkuh punggung Nik, seolah menyalurkan kehangatannya lewat tepukan ringan di sana. "This too shall pass, Nik. Kau akan melewatinya, dengan atau tanpaku."

"Mereka adalah keluargaku, Tanna." Ada yang berdesir dalam tubuh Tanna. Ini kali pertama Nik memanggil namanya. Kepahitan terdengar jelas dari suara pria itu. "Aku selalu menanggap diriku hebat, tapi nyatanya saat dihadapkan dengan maut, aku sama sekali tidak berdaya."

Tanna sangat mengerti itu. Ia telah menghadapinya lebih dari sekali. "Nik, memento mori. Kau tidak bisa mengontrol segalanya, sehebat apa pun dirimu, dan itu sama sekali tidak salah."

On the Land of SorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang