37. Once Upon a Darkness

1.7K 322 11
                                    

Theo memperhatikan cuplikan di depannya lamat-lamat. Sesosok bertubuh ramping dengan jubah serba hitam berdiri cukup lama di depan pintu apartemen temannya, Ileana. Orang tersebut tidak melakukan apa pun, hingga akhirnya memutuskan untuk berbalik dan melangkah menjauh.

Mengusap kening sejenak, Theo kembali beralih kepada sekuriti yang bertugas. "Saya ingin pengamanan diperketat. Walaupun hari ini tidak terjadi apa pun, bukan tidak mungkin orang tadi kembali dan membahayakan nyawa teman saya."

"Baik, Pak."

Setelah mengirim pesan kepada Ileana, mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Theo baru kembali ke ruangannya sendiri. Di tangan Augie, ia yakin Ileana akan aman.

» ⌘ «

Jam baru menunjukkan pukul empat subuh saat ponsel Ileana berdering tanpa jeda. Dengan mata sayu dan kesadaran yang baru hinggap setengah, ia menjawab panggilan tersebut.

"Halo?" sapanya serak. Suara panik Jihan di seberang sana menyahut. Setelah mencoba memproses setiap kata yang meluncur secara gugup dan tidak jelas, Ileana segera bangkit dari posisinya. "Aku akan segera ke sana."

Tidak ada waktu untuk sekadar mencuci muka. Ileana meraih jaket entah milik siapa yang tergantung di balik pintu, memakainya secara asal dan berlari keluar bak orang kesetanan.

"Hey, what's wrong?" Rupanya Augie masih terjaga, keluar dari ruang kerja dengan kacamata bertengger di atas hidung. "Something happened?"

"I have to go somewhere."

"Ke mana?"

Ileana menelan ludah kasar, "Rumah sakit."

Menilai ekspresi dan gerak-gerik Ileana, Augie tahu ia tidak memiliki waktu untuk bertanya lebih lanjut. "I'll take you there."

Selama perjalanan, Ileana lebih banyak diam, sibuk mengupasi kulit di sisi ibu jarinya. Apa pun itu, Augie tahu sesuatu yang buruk sedang berlangsung. Tiba di depan bangunan rumah sakit, Ileana tidak membuang lebih banyak waktu, membuka pintu mobil dan berlari ke arah resepsionis.

"Atas nama Tania Setiabudi." Suara Ileana bergetar samar. Raut yang ditampilkan petugas resepsionis sama sekali tidak membantu. "Di mana dia? Jawab saya!" gertak Ileana dengan kedua mata memanas.

"Mbak Ileana!" Jihan muncul dari arah lain, langsung memeluk Ileana erat. "Mbak, Tania, Mbak .." isaknya kuat.

"Bagaimana semuanya bisa terjadi?" tanya Ileana lirih.

"Nona Ileana Gustav?" Perhatian Ileana beralih kepada seorang pria berusia kisaran tiga puluh tahun—seumuran Djavion. "Nama saya Eugene. Eugene Matthias. Saya adalah detektif yang ditugaskan untuk menangani kasus ini."

Masih setengah tidak percaya, Ileana menjabat tangan Eugene. "Apa .. kenapa .." Ia kesulitan merangkai kata. "Siapa yang melakukan ini?"

"Kantor pusat bersikukuh menjadikannya kasus bunuh diri karena minimnya bukti," jelas Eugene tak berbasa-basi. "Dan karena itu saya membutuhkan bantuan Anda."

"Apa .." Ileana mencoba menetralkan napas, meredam sesak di dada, "Apa yang bisa saya lakukan?"

"Menjadi umpan bagi pelaku yang sebenarnya."

"Objection." Suara itu sudah lebih dulu menginterupsi sebelum Ileana sempat melempar balas. "Anda sadar permintaan itu sangatlah konyol dan berbahaya?" Augie berujar dengan nada tidak suka yang tidak ia berusaha sembunyikan. "Di sini, jelas-jelas teman saya juga berada dalam posisi terancam."

"Augie."

"Look what just happened, Ileana. Kamu tidak bodoh untuk masuk ke dalam perangkap secara sukarela." Augie merangkul bahu Ileana posesif, jelas sekali menunjukkan kesinisian terhadap detektif yang baru ditemuinya.

On the Land of SorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang