33. The Way it Was

1.7K 429 49
                                    

"Bisa berhenti melirik ke sana?!" delik Ileana tak santai, mencomot kentang goreng yang dibawa oleh Misella.

Misella terkekeh, kembali menatap sahabatnya yang masih dibalut baju khas rumah sakit. "Ini gila, Na. Sejak kapan teman gue debut jadi anak presiden?"

Dalam hati, Ileana meringis malu. Ya, ia akui, ia cukup tersanjung dengan perhatian yang diberikan Djavion, tapi Ileana merasa bahwa pria itu sungguh berlebihan. Menempatkan dua bodyguard di depan pintu ruang inapnya jelas akan mengundang atensi semua pihak.

"Sejak kapan hubungan kalian seintens itu?" Misella masih belum menyerah untuk mengorek informasi dari sahabatnya. Dude, ini menyangkut Djavion. Djavion Lucretius! "Tell me, apa dia memeluk lo erat saat—"

"Cut it off!" demgus Ileana sebal. "Kami nggak punya hubungan apa-apa, oke? Dia merasa bersalah atas kejadian yang menimpa gue, makanya dia bersikap berlebihan seperti ini. That's it." Misella masih tersenyum seperti orang tolol, mengundang gelengan kepala Ileana. "Mana Theo? What a cruel guy. Bisa-bisanya dia nggak datang di saat temannya sendiri nyaris mati?" tanya Ileana.

"You know how busy he is." Misella menjawab santai sembari beselancar di internet dengan ponselnya. Pekerjaan Theo sebagai seorang sutradara memakan banyak sekali waktu milik pria itu. "Holy shit!"

"Kenapa?"

Mata bulat Misella bergerak memantul dari layar ponsel kepada sang sahabat—terus begitu hingga Ileana merasa kesal. Ileana merebut benda pipih itu dari genggaman Misella, lalu dibuat paham akan reaksi histeris wanita itu.

"Yuella Naraja ..?"

Ileana tersenyum miris, "Sempurna, kan?"

"They're getting married soon," kata Misella lagi, seolah Ileana mendadak kehilangan kemampuan untuk membaca. "Primadona nomor satu Indonesia bersanding dengan The Djavion Lucretius? Dunia udah mau kiamat .."

Ileana tidak membalas, membiarkan sebagian dirinya yang tidak teraba oleh siapa pun hancur tanpa sisa di dalam sana.

» ⌘ «

Menghabiskan berjam-jam hanya untuk memandangi langit-langit ruangan jelas bukan sesuatu yang mengenakkan. Ileana melirik ke arah celah jendela yang tidak tertutup tirai, masih menemukan punggung tegap pengawal suruhan Djavion. She feels trapped. Kenapa juga Djavion harus bersikap seperti ini jika memang hubungan keduanya tidak lebih dari sekadar dua orang asing yang tidak sengaja bersinggungan?

Ileana bangkit dari posisinya, meringis begitu merasakan ngilu pada bagian perut. Ia berniat ke kamar mandi, menjadikan ujung nakas sebagai tumpuan, tapi lagi-lagi hal tidak berjalan sesuai keinginannya. Ileana tidak sengaja menyenggol gelas berbahan kaca, menyebabkan benda rapuh itu hancur berkeping di atas permukaan lantai. Ia refleks menutup telinga dengan kedua tangan, memejamkan mata.

Daun pintu dibuka secara kasar, mengalihkan atensi Ileana. Dan sungguh, pemandangan dimana Djavion Lucretius bergerak cepat dengan pandangan menguncinya telak tidak pernah Ileana prediksi sebelumnya.

"Don't move!" seru pria itu saat Ileana nyaris mengambil langkah mundur. "Stay right there," ujar Djavion dengan suara rendah.

Yang Ileana tahu, momen selanjutnya ia telah berada dalam gendongan Djavion. Pria itu meletakkannya secara hati-hati di atas kasur. God, Ileana dapat mencium aroma yang menguar dari tubuh Lucretius itu. Dan wajahnya .. lihatlah rahang yang terpahat sempurna itu. Dengan serentet reputasi buruk yang tersemat di nama belakangnya, bagaimana bisa Djavion memperlakukannya selembut ini?

On the Land of SorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang