10 - Unrequited

411 33 0
                                    

Pergi ke kantor untuk melihat pekerjaan semua karyawanku sudah menjadi rutinitas sekarang. Tidak setiap hari sih. Paling tidak tiga atau empat hari setiap minggunya. Aku ingin mendekatkan diri dengan mereka. Meskipun ini perusahaan besar dan banyak karyawannya, setidaknya aku harus benar-benar mengenal dan dekat dengan mereka. Aku bahkan selalu bilang, "jika ada yang bisa saya bantu, jangan sungkan untuk bilang."

Soal rumah tangga, aku dan Lyn sudah semakin dekat. Hubungan kami makin terlihat seperti keluarga yang harmonis. Tapi aku masih belum bilang bahwa aku sudah jatuh cinta dengannya. Sosok Fiony belum bisa hilang dari hatiku, meski sudah empat bulan lamanya.

Ngomong-ngomong soal Lyn, ia sepertinya sudah jarang bertemu dengan Reno. Bahkan dia sudah berkali-kali menolak ajakan pria itu untuk bertemu. Padahal waktu itu Lyn sendiri yang senang dengan tawaran cincin dari Reno. Yah meskipun sekarang Lyn belum memberi tau tentang hubungan kami.

Di kantor, ia semakin sering menempel denganku. Di setiap ada kesempatan, ia bisa tiba-tiba memelukku atau menciumku. Kesimpulannya? Dia sudah jatuh cinta denganku. Kalau tidak begitu, mana mungkin dia mau seperti itu kan? Tapi tetap saja kami terus menjaga image di depan karyawan lainnya. Hanya Dey yang bisa melihat kemesraan kami. Mungkin bukan kemesraan kami, sih. Lebih ke arah manjanya seorang Lyn.

Hari ini aku ada rapat dengan para petinggi perusahaan. Tentu saja Lyn ikut. Sebenarnya sudah beberapa kali aku ikut rapat. Perkembangan perusahaan pun selalu aku ikuti.

"Hari ini kita mau bahas soal pengembangan usaha kita. Total sudah ada empat negara cabang. Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Jerman. Kita gak bisa tutup kata soal kerugian yang ada di Jerman. Kemungkinan terburuk, kita akan tutup cabang Jerman kalau seperti ini terus. Kita butuh modal tambahan, tapi gak mungkin kita minta suntikan jauh lebih besar dari biasanya kan?"

Aku mendengar ucapan papi Lyn alias mertuaku dengan seksama. Satu-satunya ide yang terlintas adalah menjual saham perusahaan ke publik. Dari sana kita bisa mendapat modal tambahan dari masyarakat. Toh masyarakat Indonesia sudah kenal dengan perusahaan kami. Tapi aku sedikit ragu. Karena aku belum sempat melihat laporan keuangan perusahaan.

Lyn melihat ke arahku. Sepertinya ia tau aku sedang ragu untuk berbicara. Soalnya kata Lyn, ekspresiku mudah dibaca. Kalau ragu-ragu pasti terlihat.

"Ngomong aja," bisiknya sambil tersenyum.

Seolah mendapat boostingan dari istri, aku memberanikan diri untuk berbicara.

"Menurut saya kita harus menjual sebagian saham ke publik. Dari sana kita bisa mendapat tambahan modal."

"Iya, tapi apa masyarakat mau beli saham kita?" tanya salah satu petingginya.

"Perusahaan kita sudah dikenal baik di Indonesia. Kita setiap semester ada laporan kepuasan pelanggan kan? Semester satu tahun ini, lebih dari 70% pelanggan yang puas. Setidaknya dari 70% itu ada yang mau beli dan tertarik dengan perusahaan kita."

Aku diam sebentar memikirkan kata-kataku selanjutnya.

"Selama kita menjual ke publik bukan untuk jalan keluat melunasi utang perusahaan, saya rasa masyarakat akan tertarik untuk berpartisipasi."

Beberapa di antara mereka saling berbicara bertukar pendapat dengan orang di sebelahnya. Sepertinya ideku ini berhasil menarik perhatian mereka.

"Vano, ide kamu bagus juga. Dalam waktu dekat kita akan adakan rapat dengan para pemegang saham. Jadi kita bisa menentukan lanjutan dari ide kamu ini."

"Siap!"

"Baiklah, rapat kita hari ini sampai disini dulu. Rapat selanjutnya akan diinfokan nanti."

Aku tersenyum lega. Ideku disambut dengan positif. Semuanya berjalan keluar dari ruang rapat. Termasuk aku dan Lyn yang kembali ke ruangan kami. Oh iya sekarang kami memiliki ruangan yang lebih besar.

Fall In Love AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang