"Selamat sore, Sabda ...?" sapa wanita yang merupakan seorang manajer keuangan--atasan Sabda.
Pria itu bekerja di sebuah kantor pemasaran, sebagai staf keuangan. Karena nilai-nilainya bagus, maka tidak terlalu sulit baginya untuk langsung mendapat pekerjaan.
"Sore, Bu," jawabnya ramah sambil menatap sekilas.
"Kok kamu belum pulang?"
Wanita itu bertumpu tangan di samping layar komputer--memerhatikan Sabda yang masih sibuk mengetik.
"Saya tanggung kerjaan, sebentar lagi juga selesai. Ibu belum pulang?"
"Belum. Hari ini saya ada kerja lembur. Kebetulan mau istirahat dulu."
Sabda hanya balas ber-oh ria.
Wanita dua puluh delapan tahun itu melirik ke arah tangan kanan Sabda--yang di mana terdapat sebuah cincin melingkari jari manisnya. Mendengar rumor yang beredar, pria itu katanya sudah menikah. Namun, dia tidak percaya begitu saja dan mau membuktikannya sendiri.
Bibirnya merasa gatal dan ingin bertanya langsung kepada yang bersangkutan. Namun, dia takut jika semua itu benar.
"Boleh saya temani?" ucapnya pada akhirnya.
"Saya sudah selesai, Bu."
Pria itu lekas mematikan komputer lalu membereskan meja kerjanya.
"Kalau begitu saya pulang duluan, permisi," pamit Sabda kemudian melenggang pergi meninggalkan atasannya tersebut.
Tak lupa juga dia melemparkan senyuman tipis, yang dibalas senyuman mengembang dari atasannya.
Sepeninggalan Sabda, wanita itu kini mengerucutkan bibirnya kesal. Di usianya yang hendak berkepala tiga, dia masih saja tetap terlihat segar dan trendi. Namun, entah kenapa wanita itu masih belum menemukan pasangan juga sampai sekarang.
"Mana mungkin Sabda udah nikah? Itu palingan cincin hiasan aja," gumamnya meyakinkan.
Mengingat Sabda itu tipikal pria yang sulit didekati, sepertinya tidak mungkin kalau tiba-tiba saja dia sudah menikah.
Sifat Sabda yang terkesan cuek tapi perhatian, membuat sang manajer merasa tergila-gila kepadanya. Wanita itu tidak peduli kalau Sabda berusia jauh lebih muda daripada dirinya. Toh, sekarang saja banyak wanita dewasa menikahi pria muda.
***
Nirmala tersenyum ketika Lalis menjelaskan adegan film yang tengah mereka tonton. Sebuah film romantis yang tentu saja menjadi tontonan wajib kaum wanita.
Karena film tersebut berbahasa China, jadi Nirmala hanya bisa mendengar apa yang Lalis ceritakan.
"Iih, greget!" seru Lalis membuat Nirmala menautkan kedua alisnya.
"Apa yang terjadi, Lis?"
"Itu Mbak, si rajanya padahal udah cinta sama selir, tapi dia malah berlaku kasar dan gak mau mengaku," jelas Lalis.
"Duh, emang kalau cerita yang gitu-gitu bikin kesel banget," timpal Nirmala.
"Kalau bisa, Lalis kasih tau aja tuh si selir tentang perasaan raja yang sebenarnya!" Wanita itu terdengar amat kesal.
"Kok kamu marah-marah begitu, Lis?" tanya Nirmala disertai kekehan geli.
"Maaf Mbak, habisnya bikin naik darah sih itu rajanya," cengir Lalis.
"Oh iya, Mbak haus gak?" tanya Lalis kemudian.
"Iya nih, agak seret tenggorokan gara-gara ngomel terus," kekeh Nirmala membuat Lalis juga tertawa kecil.
"Mbak mau dibikinkan apa? Es jeruk?"
"Boleh. Sekalian bikin buatmu juga," titahnya.
"Oke, ditunggu sebentar ya Nona Putri ...!" ucap Lalis kemudian beranjak ke dapur.
Apartemen ini memang tidak terlalu luas. Hanya ada satu ruang utama, dua kamar tidur, dapur, kamar mandi, dan balkon kecil tentu saja.
Nirmala merasa sofa sebelahnya kembali bergerak. Cepat sekali Lalis membuatkan minuman.
Suara tamparan dari film membuat Nirmala penasaran. Samar-samar ia mendengar suara selir yang marah-marah.
"Siapa itu yang ditampar, Lis? Apa raja yang ditampar selir? Karena apa?" tanyanya tak berbuah jawaban.
"Lis, kenapa kamu gak jawab?"
Nirmala menolehkan kepalanya, berusaha berbicara kepada Lalis yang hanya terdiam.
"Lis, kamu di sini 'kan? Kenapa kamu gak jawab pertanyaanku? Kenapa itu ditampar?" cerocosnya lagi.
"Karena sebuah ciuman." Suara itu membuat Nirmala menelan ludahnya susah payah.
"Sabda ...? Kamu udah pulang?" tanyanya pelan. Saking fokusnya terhadap film, dia sampai tak mendengar suara pintu apartemen yang terbuka.
"Iya ...." Netra pria itu tak lepas memerhatikan bibir ranum Nirmala. Kalau saja Nirmala melihatnya, dia pasti sudah malu sekali.
"Eh, Mas Sabda sudah pulang?" tanya Lalis membuat pria itu tersadar dari lamunan.
"Mau Lalis buatin kopi?" tawarnya kemudian.
"Gak usah, saya lagi gak mau minum kopi."
"Mas Sabda, Lalis boleh pulang sekarang?"
"Loh, kenapa buru-buru banget, Lis?" tanya Nirmala.
"Itu, ibunya Lalis minta diantar ke klinik. Mumpung sekarang masih sore, belum susah kendaraan," sahut Lalis.
"Ibu kamu sakit? Kenapa gak bilang dari tadi? Padahal gapapa kalau aku ditinggal sendirian," kata Nirmala.
"Ya Lalis gak enak Mbak," kekehnya canggung.
"Mas Sabda sama Mbak Nirma mau makan sekarang atau enggak? Biar Lalis panaskan dulu makanannya," sambungnya.
"Saya nanti aja," jawab Nirmala.
"Saya juga belum lapar. Gapapa biar nanti saya yang hangatkan," timpal Sabda.
"Ya udah, kamu boleh pulang sekarang," ucapnya kemudian.
Lalis mengangguk dan segera berpamitan pulang.
"Aku mau mandi dulu," gumam Sabda.
"I-iya."
Entah mengapa mendengar kalimat itu, semburat merah kini menghiasi wajah Nirmala. Dia merasa malu sendiri atas perkataan Sabda barusan.
Sabda memerhatikan air muka wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya. Sedetik kemudian, kedua sudut bibirnya sedikit tertarik melengkung ke atas.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak<3

KAMU SEDANG MEMBACA
Sabda Untuk Nirmala (OnGoing)
Любовные романыNirmala Arista harus menerima takdir terburuk dalam hidupnya. Jelang satu bulan pernikahan, dia mengalami kecelakaan dan membuat syaraf matanya tidak lagi bisa berfungsi. Satu minggu menjelang hari H, calon suaminya--Banyu--justru tiba-tiba saja men...