6. Tester?

39 8 0
                                    

"Aku hanya bisa menatap sayu, pada netramu yang balas menatap sendu."
~Sabda Narendra~

***

"Gimana sekarang kakinya? Apa masih sakit?" tanya Sabda yang baru saja kembali memasuki kamarnya.

"Sekarang udah mendingan. Cuma tinggal nyeri bekas pijat," jawab Nirmala.

Sabda mendesah kecil. "Seharusnya Mbak jangan mau ikut Calista!"

"Maaf. Aku gak tau kalau semuanya akan berakhir seperti ini. Calista cuma ngajak jalan-jalan, cari angin," sahut Nirmala pelan.

"Tapi seharusnya kamu gak perlu sampai marahin Calista, bahkan sampai menyuruhnya pergi dari sini. Aku malah merasa gak enak sama dia," sambungnya.

"Mbak gak perlu pikirin soal Calista. Anak itu gak susah buat dibujuk. Lebih baik Mbak pikirkan keselamatan diri sendiri dulu!" cetus Sabda.

Apa segitu tidak bergunanya dia, sampai tak boleh memikirkan orang lain?

"Kalau Mbak mau cari angin, tinggal ke balkon aja. Di sana juga ada sofa buat duduk," jelas Sabda.

Kening Nirmala mengerut membentuk lipatan-lipatan halus. Kenapa Sabda tidak mengatakan hal itu sebelumnya? Lalis juga. Jika saja dia tahu di balkon ada sofa, mungkin akan lebih nyaman duduk di sana daripada terus-terusan di dalam kamar.

"Kalau Mbak mau, biar aku antar sekarang," tawar Sabda.

Sesaat Nirmala hanya terdiam, kemudian mengangguk kecil. Akhirnya dengan perlahan Sabda membawa Nirmala dalam tuntunannya.

"Pelan-pelan!" tegur Sabda ketika mereka hampir sampai. Pria itu membuat tangan Nirmala bertumpu pada pagar pembatas.

Nirmala kembali merasakan angin menerpa wajah, membuat rambutnya juga beriak seirama. Untuk kali ini, tidak ada senyuman yang membingkai wajahnya. Dia terlalu memikirkan Calista. Apa gadis itu akan langsung pulang ke rumahnya atau tidak? Apa malam-malam begini masih bisa menemukan taksi dengan mudah? Pertanyaan-pertanyaan serupa hilir mudik memenuhi benak Nirmala.

Tatapan lurus yang kosong, membuat perhatian Sabda terfokus akan sosok di hadapannya. Dia merasa senang ketika tengah menatap manik mata Nirmala. Wajah teduh itu memiliki daya tarik tersendiri.

Sabda tidak memungkiri jika wanita yang tengah ia kunci dalam netranya itu terlihat sangat cantik. Apalagi ditambah cahaya lampu yang samar-samar menyorot wajahnya.

"Mbak?" tegur Sabda membuat Nirmala lantas memutar tubuh ke arahnya.

"Ada apa? Kamu udah ngantuk? Kalau gitu duluan aja, biar aku nanti tidur di kamarku lagi. Hmm ... Calista 'kan udah gak di sini," cerocos Nirmala.

Pria itu melangkah kecil, membuat jarak keduanya perlahan terkikis. Tangannya kemudian terangkat, menyentuh sisi wajah Nirmala.

Wanita itu mengerjapkan matanya beberapa kali. "A-ada apa di muka aku? Kotoran, ya?"

Nirmala merasa jantungnya berlari dan berhenti di saat yang bersamaan, tatkala merasa napas Sabda menyapu ke sekitaran wajahnya. Apa itu tandanya wajah mereka berdekatan?

Pria itu menelan ludahnya yang terasa mencekat tenggorokan, hingga pada detik selanjutnya sebuah kecupan hangat mendarat pada permukaan bibir Nirmala.

Sontak Nirmala mendorong dada pria itu, membuat mereka kembali berjarak.

"A-apa yang kamu lakukan?" gelagap Nirmala sembari membuang pandangan. Lain halnya dengan Sabda yang masih setia mempertahankan raut wajah datarnya.

"Bukannya aku berhak atas hal itu?"

Nirmala terdiam. Pria itu benar! Suami memang berhak berlaku demikian atas istrinya. Namun, Nirmala takut jika pria itu hanya ingin mempermainkan dirinya. Jika Banyu saja yang jelas-jelas mencintainya bisa berkhianat, lantas bagaimana dengan Sabda sendiri?

Tinggal bersama Sabda, malah membuat ingatannya perihal Banyu terus terbuka. Nirmala belum bisa melupakan pria itu sampai sekarang. Entah karena masih cinta, atau karena rasa bencinya.

"That's not your first, right?!"

Mendengar pertanyaan Sabda barusan, membuat Nirmala seketika membatu. Pertanyaan yang justru terdengar seperti pernyataan. Apa dia pernah melihat Banyu mencium Nirmala?

Kecupan itu ternyata tidak tulus. Apa Sabda hanya sedang menguji dirinya? Sepertinya Nirmala memang tidak bisa mengharapkan pria itu akan mencintainya. Ia tahu jika Sabda memiliki tampang rupawan. Mudah saja bagi pria itu mendapatkan perempuan mana pun yang dia mau. Dan Nirmala ... jelas saja tidak akan masuk ke dalam daftar wanita pilihan Sabda.

"A-aku masuk duluan," pamit Nirmala seraya mengambil langkah-langkah kecil. Tangannya berusaha mencari pegangan pada pintu dan dinding.

Tak menyahut apa pun lagi, tak juga kembali menuntun Nirmala--Sabda hanya terdiam di tempat, membiarkan wanita itu pergi dengan sendirinya.

Sabda melayangkan pukulan kecil pada pagar pembatas yang kini tengah ia cengkram. Seharusnya dia tidak mengatakan hal itu terhadap Nirmala. Mungkin saja wanita itu merasa malu dan marah.

"Brengsek!" umpatnya sambil mengacak rambut gusar.

Sabda menoleh, sudah tak mendapati Nirmala di sana. Wanita itu sudah kembali masuk ke tempat yang semestinya.

Di sisi lain Nirmala tampak berbaring. Untuk malam ini, tidak ada ketenangan bagi dirinya--setelah apa yang baru saja terjadi.

Tangannya terangkat, menyentuh permukaan bibir. Kecupan Sabda masih terasa hangat membekas di sana, bahkan seperti sedang mengolok-ngolok dirinya.

"Memangnya aku berharap apa?"

Sebulir air mata terlihat perlahan menyusuri wajahnya. Sungguh menyedihkan, ketika perasaannya seolah-olah tengah dipermainkan.

Jadi ... apa selama ini kebaikan Sabda itu ternyata hanya sebuah kepalsuan? Jelas saja! Mana mungkin pria itu mudah setuju dengan pernikahan tiba-tibanya--bersama seorang wanita tunanetra.

Dari sekian makhluk di muka bumi, entah mengapa Nirmala merasa dirinya yang paling tak layak bisa mendapatkan cinta.

***
Jangan lupa tinggalkan jejak, masukin RL juga ya<3

Sabda Untuk Nirmala (OnGoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang