7. Takut Membuka Hati

49 7 0
                                    

"Jangan membuat anganku terbang, lalu engkau hempas ke jurang terdalam!"
~Nirmala Arista~

***

Pagi hari yang terasa canggung melebihi biasanya. Sabda hanya bisa menyantap sarapannya dalam diam, begitu juga dengan Nirmala. Keduanya duduk saling berhadapan dalam hening.

Lalis pun tak berani memecah keheningan yang tercipta. Dia merasakan atmosfer yang berbeda saat ini. Terlampau dingin. Hanya suara denting piring yang tengah Lalis bereskan lah yang terdengar.

"Lis?" tegur Nirmala membuatnya terkesiap.

"Iya, Mbak? Perlu sesuatu?"

"Enggak. Nanti tolong pindahin barang-barang aku ke kamar semula, ya! Calista 'kan udah gak di sini," titah Nirmala dengan suara rendah.

"Iya, Mbak."

Setelah selesai, Lalis pergi untuk menyapu ruang tengah.

Tatapan Sabda terarah pada Nirmala yang terlihat pelan menyantap sepotong roti bakar cokelat. Wanita itu seperti tengah memikirkan sesuatu. Apa dia masih marah dengan Sabda?

"Mbak?" tegur Sabda membuat Nirmala sedikit terhenyak.

"Ada apa?"

"Apa Mbak masih marah sama aku?" tanya Sabda tanpa basa-basi.

Nirmala sedikit tertegun dibuatnya. Dia tidak menyangka jika pria itu akan bertanya demikian.

"Enggak," sahutnya hampir tak terdengar.

Sabda mengembuskan napas panjang. "Aku minta maaf. Bukan maksud aku mau buat Mbak marah."

"Iya, gapapa. Kayaknya kita gak perlu membahas hal itu lagi," pungkas Nirmala.

Tidak perlu katanya? Padahal Sabda ingin membahas hal tersebut lebih jauh lagi.

"Oke," desahnya pasrah.

"Aku mau berangkat. Mbak bisa antar aku ke depan?" pinta Sabda setelah selesai dengan sarapannya.

"Bisa."

Nirmala beranjak dari duduknya, dibantu dengan Sabda yang kini menggenggam lembut pergelangan tangannya. Sebenarnya Nirmala merasa sedikit risih karena harus dituntun. Toh, dia sudah bisa berjalan sendiri di dalam apartemen ini. Namun, dia juga tidak bisa menolak perlakuan Sabda.

"Mbak Nirma mau ke mana?" tanya Lalis.

"Nganter Sabda, ke depan," jawabnya singkat. Lalis hanya ber-oh pelan dan kembali pada pekerjaannya.

"Hari ini aku ada meeting tambahan, jadi kayaknya bakalan pulang terlambat. Apa perlu aku minta Lalis buat nemenin Mbak sampe aku pulang?" cerocos Sabda. Biasanya dia tidak suka banyak bicara. Namun, sekarang justru mengoceh panjang lebar.

"Gapapa, aku gak akan pergi ke mana-mana. Aku bisa sendirian di sini," jawab Nirmala pelan. Entahlah, dia masih merasa kesal dengan perkataan Sabda kemarin malam.

"Kalau gitu, aku pamit."

"Iya."

Dengan perasaan berat pria itu melangkah keluar. Ada sesuatu yang membuat pikirannya terganggu. Apa mungkin Nirmala tidak mau menerima permintaan maafnya?

"Mbak ...?" Pria itu kembali memutar tubuhnya ke arah Nirmala.

"Kenapa? Apa ada yang ketinggalan?"

"Maaf," gumam Sabda.

Nirmala sedikit menautkan kedua alisnya. "Untuk apa lagi? Aku 'kan udah bilang gapapa."

"Untuk ini," jawab Sabda seraya mencium kening Nirmala untuk beberapa saat.

Sontak hal tersebut membuat wanita itu membeku. Dadanya terasa berdesir aneh. Kali ini tubuhnya tidak menolak. Nirmala hanya terdiam sampai Sabda kembali menarik wajahnya.

Lalis yang tak sengaja menyaksikan kejadian tersebut terlihat membolakan matanya tak percaya. Dia tidak menyangka jika Sabda akan mencium kening Nirmala--di hadapannya.

Kenapa pria itu mengulangi hal yang sama? Padahal dia tahu jika yang membuat Nirmala semalam marah itu karena sebuah ciuman.

"Aku pergi dulu," ucap Sabda membuat Nirmala seketika tersadar dari lamunannya.

"I-iya."

Kini pria itu benar-benar pergi. Lain halnya Nirmala yang masih membatu di ambang pintu. Perasaannya tidak bisa dideskripsikan. Apa itu artinya Sabda mulai mencintai Nirmala?

"Ya ampun ... manis banget sih Mas Sabda," cicit Lalis tak sadar.

"K-kamu liat apa yang barusan terjadi?" tanya Nirmala membuat Lalis sontak membekap mulutnya. Jika melihat hal seperti itu, mulutnya memang tidak bisa dikondisikan.

"M-maaf, tapi Lalis emang gak sengaja liat. Kan Mbak juga tau kalau Lalis lagi beresin ruang tengah," belanya. Salahkan saja Sabda yang tidak melihat kondisi terlebih dahulu.

Mendengar penuturan Lalis membuat wajahnya terasa panas.

"Katanya kalau ciuman di kening itu menandakan kasih sayang. Jadi ... Mas Sabda kayaknya memang sayang sama Mbak Nirma," jelas Lalis kemudian.

Nirmala masih terdiam, enggan menanggapi ucapan Lalis.

"Mas Banyu juga pernah melakukan itu ...," lirihnya setelah beberapa saat terdiam. "Dan dia memilih buat ninggalin aku."

"T-tapi 'kan beda, Mbak!" kata Lalis coba menenangkan Nirmala.

Nirmala tersenyum getir. "Apa bedanya? Laki-laki bisa mencium perempuan mana saja, tanpa harus berdasarkan cinta atau kasih sayang."

Lagi pula, Sabda juga tidak mengatakan kalau dia mencintai Nirmala.

Lalis berjalan menghampiri Nirmala. "Mas Sabda itu orangnya baik. Ya ... walaupun kadang-kadang ngeselin dan cuek. Tapi selama Lalis kerja di sini, Mas Sabda emang baik banget."

"Baik itu terlalu luas buat menggambarkan watak seseorang, Lis. Sabda menikahi aku cuma karena rasa iba. Orang tuanya yang membuat dia harus terpaksa menerima pernikahan ini."

"Itu juga termasuk baik."

"Aku gak tau, sampai kapan dia mau bertahan dengan hubungan ini," lirihnya kemudian.

"Mbak Nirma gak boleh ngomong begitu. Mungkin aja Mas Sabda memang lagi coba membuka hatinya buat Mbak," jelas Lalis coba memberi pengertian.

"Aku gak pantas buat laki-laki mana pun, apalagi Sabda!"

"Tuh 'kan ... Lalis jadi sedih. Gara-gara Mbak Nirma, sih!" kesalnya seraya menyeka air mata.

Mendengar suara Lalis yang seperti anak kecil, lantas membuat Nirmala tertawa pelan. "Kenapa malah kamu yang nangis? Aku aja enggak," ejeknya.

"Ya Mbak Nirma sih, ngomongnya begitu!"

"Pokoknya Lalis doain hubungan Mbak Nirma sama Mas Sabda bisa langgeng, sampai tua ... sampai maut memisahkan, bisa ketemu di surga juga nantinya."

Senyum Nirmala perlahan pudar. Dia tidak terlalu berharap dengan doa yang Lalis panjatkan. Nirmala terlalu sadar diri.


***
Seperti biasa, gak akan bosan minta vote dsn krisar:'))

Sabda Untuk Nirmala (OnGoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang