"Nirmala ..., aku mau kamu kembali sama aku!"
Apa yang diucapkan Banyu sore tadi terus saja berputar di benak Nirmala. Pria itu terdengar egois. Setelah pergi tanpa meninggalkan kabar, tiba-tiba saja datang dan meminta Nirmala untuk kembali padanya. Apa yang sudah dibuangnya, kini seakan amat berharga.
"Sebenarnya kamu itu menganggap aku sebagai apa?" lirih Nirmala.
"Kenapa kamu harus kembali, ketika aku mulai menata hati yang rapuh ini?"
Wanita itu hanya terbaring di tepi ranjang, tetapi tak ada niatan untuk menutup matanya.
Malam terasa semakin larut, tetapi Sabda tampaknya masih belum pulang. Ke mana perginya pria itu? Kenapa dia tidak memberitahu jika ada lembur atau kegiatan lainnya?
Pikiran Nirmala sekarang justru bercabang. Di sisi lain memikirkan Banyu, dan sisi lainnya justru memikirkan Sabda. Bagaimana kalau suatu saat Banyu kembali ke sini dan bertemu dengan Sabda?
Nirmala merasa tenggorokannya kering, lantas bergerak menuruni ranjang. Biasanya dia akan meminta Lalis menyimpan segelas air di nakas, tetapi hari ini dia lupa. Kedatangan Banyu membuat perasaannya tak karuan. Sakit hati, marah, senang, rindu, semuanya melebur padu menjadi satu.
Dibantu dengan tongkatnya, kini Nirmala berjalan menuju dapur. Ia mengambil gelas dan mengisi airnya dari dispenser. Setelah mengguyur tenggorokannya, langkah Nirmala pun berbalik.
Tepat di ruang tengah, ia mendengar suara pintu terbuka diiringi langkah kaki yang berjalan ke arahnya. Sepertinya itu Sabda.
"Sabda, kamu baru pulang?" tanya Nirmala.
"Iya."
"Ada lembur dadakan, ya?"
"Iya."
"Apa kamu mau makan sekarang? Biar aku siapkan," tawar Nirmala.
"Gak usah, aku cape mau istirahat." Nada suaranya terdengar tak sedap di telinga Nirmala. Mungkin saja pria itu lelah karena pekerjaannya.
"O-oh, iya."
Tak mendengar Sabda berbicara lagi, justru suara pintu kamar yang tertutup yang bisa Nirmala dengar.
Rasa sesak tiba-tiba saja menyeruak memenuhi rongga dadanya. Apa Sabda juga sebenarnya sedang mempermainkan Nirmala? Pagi tadi pria itu bersikap manis dan banyak berbicara, tetapi sekarang justru sebaliknya.
Sungguh malang nasibnya, jika sampai kakak beradik tersebut ternyata memang sepakat untuk mempermainkan perasaan Nirmala. Mungkin saja Nirmala dianggap tak lebih dari sekedar boneka mati.
***
Sudah beberapa hari berlalu, Nirmala merasakan hal lain dari Sabda. Pria itu lebih cuek dari biasanya. Bahkan untuk berbicara pun semakin irit saja.
"Mbak aku mau pergi sebentar, ada urusan," ucap Sabda pada Nirmala yang tengah duduk di sofa seorang diri.
"Iya, hati-ha—" Ucapan Nirmala terhenti ketika mendengar suara pintu yang tertutup.
Mengapa Sabda tidak mau mendengarnya terlebih dahulu? Apa kesalahannya?
Nirmala membuang napas kasar kemudian mematikan televisi. Dia meraih tongkat bantunya kemudian berjalan menuju balkon. Ia pun duduk di sofa sana dan menikmati angin yang menyapu lembut.
Rasa sedih tiba-tiba saja datang mendera. Entah mengapa diabaikan oleh Sabda membuat perasaannya begitu tak tenang. Biasanya pria itu tidak suka pergi malam, tetapi akhir-akhir ini sering. Apa Sabda menemui wanita lain di luar sana?
"Perasaan apa ini? Apa aku berhak buat merasa cemburu?" desahnya sambil memegangi dada.
"Bukankah seharusnya aku bersyukur, kalau ternyata Sabda punya pacar? Kayaknya itu lebih baik, daripada dia terus terikat pernikahan ini sama aku."
Nirmala merasa lebih baik jika Sabda segera mengakhiri hubungan ini. Entah akan bagaimana nantinya jika pacar Sabda tiba-tiba datang dan memergoki Nirmala di sini. Mungkin semuanya akan menjadi rumit sekali.
"Apa aku harus membicarakan hal ini dengan Sabda, ya?"
Di sisi lain, Sabda terlihat duduk sendirian di sebuah kedai kopi. Namun, pria itu tampak kurang menikmati. Dia hanya terdiam dan memainkan cangkir kopinya.
Entah mengapa dia merasa amat kesal dengan kehadiran Banyu tempo hari. Bahkan sampai membuatnya secara tidak langsung marah terhadap Nirmala.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat. Sabda beranjak dari duduknya lalu keluar. Ia sedikit berjalan-jalan di taman yang berada di area kedai tersebut--menikmati sapuan angin malam.
"Sabda!" tegur seseorang membuatnya menoleh.
"Bu Ine?" herannya tatkala mendapati sang manajer.
Wanita itu berjalan lenggak-lenggok mendekati Sabda.
"Kamu lagi apa di sini? Sendirian?" tanyanya langsung.
"Saya lagi cari angin aja. Ibu sendiri?" sahut Sabda.
"Ooh. Kalau saya habis ketemu temen-temen."
"Hmm ... boleh minta bantuan?" pintanya kemudian.
"Bantuan apa, Bu?"
"Bisa tolong bantu buka pintu belakang mobil saya, gak? Soalnya saya agak kesusahan," ucap Ine seraya mengacungkan tangannya yang dipenuhi paper bag.
"Kalau begitu biar saya saja yang bawa belanjaan Ibu," ujar Sabda sembari mengambil alih semua tas belanjaan dari tangan sang pemilik.
Tanpa berkata apa pun lagi pria itu berjalan mendahului. Ine yang merasa mendapat perhatian dari Sabda, tak hentinya menyunggingkan senyuman sambil mengekori.
Setelah sampai di parkiran, Ine langsung membuka mobilnya dan membiarkan Sabda menyimpan semua barang miliknya ke dalam.
"Makasih ya, kamu udah mau bantu saya," ujar Ine disertai senyuman yang mengembang.
"Gapapa, Bu."
Ine hendak berjalan, tetapi kakinya tersandung. Tubuhnya seketika limbung sampai menabrak tubuh Sabda. Pria itu juga refleks menahan tubuh atasannya.
Wajah keduanya kini begitu dekat. Ine bisa merasakan deru napas dari pria idamannya tersebut. Matanya tak lepas memerhatikan wajah Sabda. Dalam keadaan dekat begini, pria itu terlihat semakin memesona. Aroma parfumnya khas. Tatapan tajam, tetapi teduh. Hidungnya bangir, kumisnya tipis, dan ... bibirnya yang tampak menggoda. Pikiran wanita itu seketika berkelana ria.
"Ibu gapapa?" tanya Sabda sambil menegakkan tubuh atasannya tersebut.
"Ah, iya. Saya gapapa," gelagapnya.
"Kalau begitu saya permisi," pamit Sabda sambil melepaskan pegangannya begitu saja.
Sepeninggalan Sabda, wanita itu tak hentinya tersenyum senang. Dia tidak menyangka jika bisa sedekat itu dengan pujaan hatinya. Beruntunglah heels yang ia kenakan tadi sedikit tersangkut.
***
Bantu vomen yaa<3
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabda Untuk Nirmala (OnGoing)
RomanceNirmala Arista harus menerima takdir terburuk dalam hidupnya. Jelang satu bulan pernikahan, dia mengalami kecelakaan dan membuat syaraf matanya tidak lagi bisa berfungsi. Satu minggu menjelang hari H, calon suaminya--Banyu--justru tiba-tiba saja men...