8. Mengapa Harus Kembali?

41 7 1
                                    

"Yang sudah terlepas pergi, mengapa ingin digenggam kembali?"

~Nirmala Arista~

***

Nirmala tengah duduk mendengarkan televisi berbicara. Dia hanya bisa berusaha menajamkan pendengaran atas apa yang tengah disiarkan. Hanya sebuah berita mengenai perampokan, tidak ada yang seru.

"Assalamualaikum?" salam Lalis yang baru saja pulang dari pasar.

"Waalaikumsalam," sahut Nirmala seraya mematikan televisi.

"Ini mau langsung dimasak sekarang aja, Mbak?"

"Jam berapa sekarang?"

"Udah mau jam empat, Mbak."

"Masak aja, sebentar lagi Sabda juga pulang."

"Kalau gitu Lalis bawa ke dapur." Dia pun segera membawa semua belanjaannya ke dapur.

Nirmala pun turut mengekori dan duduk di salah satu kursi meja makan.

"Mana sayurannya biar aku bantu potong," tawar Nirmala.

"Ini, Mbak." Lalis segera menyimpan sayuran dan peralatan yang Nirmala butuhkan. Awalnya dia ingin sekali melarang, tetapi tak mau membuat Nirmala merasa tersinggung seperti tempo hari.

Dengan hati-hati Nirmala mulai memotong kentang dan wortel. Pandangan Lalis pun tak lepas memerhatikannya. Namun, bersyukurlah ternyata Nirmala bisa melakukan tugasnya dengan baik.

Sebagai seorang 'istri', tentu saja Nirmala tidak bisa terus bergantung kepada seorang asisten rumah tangga seperti Lalis. Dia juga tidak mau jika harus selalu menjadi beban bagi Sabda. Kalau pun tidak bisa pergi ke mana-mana, setidaknya dia bisa untuk sekedar membereskan rumah atau memasak.

Lalis kembali pada aktifitasnya.

"Kamu lagi motong apa, Lis? Kok berisik gitu?" tanya Nirmala.

"Lalis lagi motong ayam."

"Loh, emangnya gak dipotong dari pasar?"

"Cuma dipotong jadi empat bagian, Mbak. Tadi Lalis udah pesan buat dipotong agak kecilan, tapi abangnya kurang denger deh kayaknya," jelasnya.

"Oooh, gitu ya."

"Nanti ayamnya mau dimasak opor atau sayur bening aja, Mbak?" tanya Lalis yang kini tengah membasuh ayamnya.

"Dibikin sayur bening aja, takutnya Sabda gak terlalu suka yang berkuah santan," sahut Nirmala.

Mendengar penuturan Nirmala, Lalis menyunggingkan senyuman. "Sekarang Mbak Nirma mulai perhatian sama Mas Sabda. Kayaknya udah mulai tau apa aja kesukaan dan yang gak disukai sama Mas Sabda."

"Aku 'kan cuma jaga-jaga aja. Banyak orang yang gak terlalu suka makan makanan berlemak gitu. Jangan mikir yang aneh-aneh," desah Nirmala.

"Iya Mbak, iya ...," sahut Lalis masih dengan sisa tawa gelinya.

Tidak butuh waktu lama bagi mereka menyelesaikan acara masaknya, karena tidak begitu banyak juga menu makanan yang dibuat.

Suara bel terdengar, membuat Lalis sontak bergegas ke depan. Terdengar samar-samar seseorang bicara kepada Lalis, membuat Nirmala tak bisa membendung rasa keingin tahuannya.

"Jadi Sabda belum pulang?" tanya orang itu.

"Belum, kayaknya Mas Sabda pulang telat hari ini," sahut Lalis.

"Lis, siapa?" tegur Nirmala yang baru saja keluar dari area dapur.

"Anu ...."

"Kok kamu diem? Udah balik ya, orangnya?" tanya Nirmala lagi seraya berjalan menghampiri pintu.

Pria yang tengah berdiri di ambang pintu tampak menatap lekat ke arah Nirmala. Seperti ada rindu yang tertahankan, seperti ada rasa kehilangan.

"Lis ...?" tegur Nirmala yang lagi-lagi tak berbuah jawaban.

Tangannya terus berusaha mencari keberadaan Lalis, hingga langkahnya kemudian terhenti--kala jemarinya menyentuh dada seseorang.

Apakah itu Sabda? Tapi dia merasa jika itu bukanlah Sabda. Tak mungkin jika sang pemilik rumah harus memencet bel terlebih dahulu, bukan?

Ketika tersadar, Nirmala bergegas menarik kembali tangannya. Namun, pria itu justru menahan tangan Nirmala.

"S-siapa kamu? Lepasin saya! Lalis ...!" teriaknya sambil berusaha melepaskan genggaman tersebut.

"Nirmala ...?"

Satu kata yang membuat Nirmala tertegun. Ia merasa detak jantungnya hilang seketika. Suara itu, adalah suara yang selama ini berputar manis di benaknya. Suara itu, adalah suara yang selalu menjadi titik rindu dalam hatinya.

"M-mas Banyu?" Nirmala terdengar lirih.

Pada detik selanjutnya pria itu menarik Nirmala ke dalam dekapannya. Suasana seketika hening. Lalis yang berada di sana hanya bisa terdiam kemudian memilih untuk kembali ke belakang.

Nirmala merasa seluruh tubuhnya lemah tak berdaya, bahkan air mata melolos begitu saja. Tidak menolak, tidak juga membalas. Wanita itu hanya berpasrah atas apa yang tengah Banyu lakukan saat ini. Entah mengapa, rasa marah yang menyeruak tiba-tiba menguap begitu saja.

***

Sabda menepikan motornya di sebuah pelataran toko kue. Karena merasa tak enak hati dengan Nirmala, pria itu memilih untuk membelikan sebuah kue bolu. Ya ... selama ini dia merasa belum pernah membelikan sesuatu terhadap wanita itu.

Pilihannya jatuh kepada brownies cake dan cheese cake. Walaupun dia tidak tahu kue seperti apa yang Nirmala suka, tetapi setidaknya dia bisa membawakan sesuatu saat pulang.

Usai mengambil pesanannya, Sabda pun segera melesatkan motornya pulang.

Dengan senyuman tipis membingkai wajahnya, pria itu berjalan menuju ruang apartemennya. Namun, melihat pintu itu terbuka, langkah Sabda memelan.

Tepat di depan pintu, tubuhnya mematung. Dia merasa tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya kini. Nirmala tengah menerima pelukan dari pria lain, yang dia tahu jika itu merupakan kakaknya sendiri. Walaupun dalam keadaan membelakangi, jelas Sabda bisa mengenali perawakan Banyu.

Netranya menatap lurus. Melihat raut wajah Nirmala, jelas saja ada rindu dan cinta yang masih terpancar di sana. Seolah-olah sampai kapan pun, cinta Nirmala hanya untuk Banyu seorang.

"Maafin aku, aku menyesal ...," ucap Banyu di tengah pelukannya.

Sabda yang merasa sedikit kecewa lantas berbalik arah. Entah ke mana pria itu kini pergi.

Nirmala yang baru tersadar, lantas mendorong tubuh Banyu kuat-kuat.

"Kenapa kamu harus kembali, Mas?" tanya Nirmala dengan suaranya yang bergetar.

"Aku mencari Sabda. Apa sekarang ... kalian ...." Banyu tak kuasa meneruskan pertanyaan yang sedari tadi berkeliaran di benaknya.

"Iya. Aku sekarang sudah menjadi istrinya Sabda ... adikmu!"

Pernyataan Nirmala tersebut membuat hati Banyu seketika hancur. Dia tidak menyangka jika wanita yang begitu dicintainya justru kini menjadi adik iparnya.

"Enggak. Semua ini gak mungkin terjadi," lirih Banyu berusaha menyangkal kenyataannya.

"Lebih baik sekarang kamu pulang. Aku gak mau Sabda liat kamu di sini!" ujar Nirmala penuh dengan penekanan.

"Nirmala ..., aku mau kamu kembali sama aku!" pinta Banyu membuat wanita itu membatu.


***
Mohon dukungannya, vomen+rekomen.. da baik:')

Sabda Untuk Nirmala (OnGoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang